Setelah DPR RI periode 2009 - 2014 'ketok palu' per 26 September 2014 (dini hari) tentang RUU Pilkada via DPRD, gaduh politik negeri ini terjadi dengan segenap kedangkalan para 'kalangan menengah' dan ditambah hiruk-pikuk analisa 'tendensius' para manusia yang mengaku seorang pakar.
Saya mencoba mencerna, melihat dan menganalisa siapa-siapa yang berbicara lantang tentang hal tersebut, dan inilah hebatnya peran media juga 'bumbu asing' pun meramaikan situasi di negeri ini, di mana,
1. Tim Cyber 'hitam' baik luar negeri dan domestik mencoba mengirim opini tentang hal ini dan untuk konteks ini, kita bisa lihat situasi di Twitter, FB dan Path.
Saat ini 'trending-topic' adalah kicauan dengan 'hashtag'‪#‎ShameOnYouSBY‬, yang 'kebetulan saat ini telah diganti dengan 'hashtag' ‪#‎ShamedByYou‬
2. Media Massa, baik elektronik, cetak dan online yang kita ketahui di pilpres 2014 lalu sebagai 'partisan pendukung' "Ratu Petruk" sangat jelas, mereka mulai bermain di air keruh dan ini pun seperti ditelan mentah-mentah oleh para‪#‎bagong‬ dan pencinta jalan 'dangkal'.
Analisa 'tendensius dan dangkal' para pakar diberitakan berulang dengan 'header' berbeda namun terlihat jelas dengan 'content' yang itu-itu saja. Tidakkah ini jelas untuk kalian wahai kawan-kawan ku tercinta? :) :) :)
3. 'Campur-tangan asing' menggelegar. Lihatlah, siapa yang menabuh genderang penyemangat 'konflik' antara kita sendiri? Lihatlah sahabatku, monggo anda-anda sekalian tengok www.nytimes.com, www.online.wsj.com,www.newswits.com dan lainnya. Gemuruh tabuhan opini mereka cenderung 'mencampuri' urusan dalam negeri kita dan tak lupa tujuannya adalah 'meniup bara api' yang memang sudah 'setengah' membara menjadi api yang berkobar dan mendidihkan situasi sosial, kultural dan politik tanah air tumpah darah kita, "Indonesia."
Hal-hal yang marak terkait hal tersebut akan coba saya jawab dengan perspektif sosial dan budaya,
1. Mereka bilang jika Pilkada via DPRD itu kembali ke masa orde baru, dan mereka beragumentasi, tidaklah bisa menyelesaikan masalah masa kini dengan cara-cara kuno, "cara Orde Baru."
Saya akan menjawab ini,
Pada masa Orde Baru, seluruh rakyat Indonesia sudah mengenal jargon, "Piye, seh enak jamanku tho?" Dan jika saya tanya orang dengan umur 50-an ke atas dan berasal dari kalangan akar rumput, maka 100% mereka menjawab, 'setuju' dengan jargon itu.
Dan saya pun bisa menarik kesimpulan kenapa mereka setuju dengan hal tersebut,
1. Harga pangan terjangkau
2. Harga papan terjangkau
3. Pendidikan murah
4. Kapitalisasi air tidak terjadi.
5. Kapitalisasi 'kesehatan' hampir tidak terjadi
6. Eksploitasi alam oleh asing sangat minimal sekali.
7. "The Bad Guy" tidak bisa hidup bebas seperti sekarang ini.
Seperti, "tidaklah akan ada kelompok 'timur' bisa menjamur seperti sekarang di jaman Orde Baru."
Dan yang tidak kalah penting, kalangan yang protes dan teriak pada saat ini adalah produk orde baru, mereka yang bisa sekolah murah, kuliah murah dan segala fasilitas dari point 1 sampai dengan 7 yang memang nyata 'eksis' dan dirasakan oleh semua kalangan masyarakat yang kebetulan hidup pada masa itu.
Lalu, argumen "tidaklah bisa menyelesaikan masalah masa kini dengan cara-cara kuno" sama dengan mengubur, melupakan dan tidak menganggap sejarah itu sangat penting, dan ini berakibat kita seperti keledai yang (sudah) jatuh pada tempat dan lubang yang sama dan bahkan tanpa kita tahu telah terjatuh pada area di situ-situ saja.
2. Mereka pun bilang jika Pilkada via DPRP itu telah membunuh demokrasi rakyat Indonesia. Mereka berpendapat jika DPRD menentukan pemimpin daerah, maka selanjutnya tidak akan muncul orang-orang yang penuh kompetensi dari luar partai.
Saya akan coba menjawab dengan,
1. Ini sudah su'udzon bukan? Lagi, bukankah kalian semua yang memilih para DPRD yang nanti akan mewakili anda di berbagai daerah? Bagaimana bisa anda tidak percaya dengan wakil anda sendiri?
2. Pula, sudah tidak jamannya lagi orang tidak berkualitas hadir menjadi pemimpin daerah, utamanya di muka bumi Indonesia, kalaupun ada, banyak media untuk dapat mem-bully mereka baik secara personal maupun secara objektif. Dan itu akan 'berpengaruh' dengan perspektif para anggota DPRD dalam memilih pemimpinnya untuk kebaikan daerahnya masing-masing. Apakah ini tidak cukup? Lihat poin berikutnya,
3. Demokrasi Sudah Mati, Memang Hidupnya Kapan?
Point ini di tulis dan dijabarkan dengan cukup baik oleh "Baskoro Endrawan" yang bisa anda nikmati di sini.
Dan akhirnya, anda-anda juga yang memilih dan menentukan kualitas hidup anda yang juga akan (sedikit-banyak) berpengaruh pada negeri ini, "apakah anda akan selalu membuka mata, hati dan akal anda dalam setiap hadirnya sebuah konteks atau hanya akan seperti seorang 'Bagong' yang selalu ‘teriak-teriak’ tanpa substansi dan objektif dalam merespons setiap konteks." Monggo konco, monggo..
‪#‎BukanBagong‬ ‪#‎BukanPialaOskar‬ ‪#‎CumaGareng‬ ‪#‎AktornyaBukanSBY‬
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H