Mohon tunggu...
Bhayu M.H. Ketum NuN
Bhayu M.H. Ketum NuN Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bhayu M.H. sebagai Ketua Umum M.P. N.u.N.

Netizen untuk Negeri atau disingkat N.u.N. adalah komunitas lintas-agama, lintas budaya, lintas suku bangsa yang didirikan pada 4 Desember 2016. Niat kami adalah ikut berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Fokus perjuangan kami adalah melawan intoleransi dan separatisme. Di account ini, Bhayu M.H. bertindak selaku Ketua Umum Musyawarah Pendiri (M.P.) dari N.u.N. Sekaligus merangkap sebagai Koordinator Utama Badan Pengelola Harian (Kortama B.P.H.). Pembuatan account ini adalah untuk membedakan antara Bhayu M.H. sebagai pribadi -yang mana accountnya sudah lebih dulu ada di Kompasiana- dengan sebagai Ketum N.u.N. Apalagi sejak Kemenkumham resmi mensahkan N.u.N. sebagai badan hukum perkumpulan pada 31 Mei 2021, maka setiap pernyataan Bhayu M.H. sebagai Ketum M.P. merangkap Kortama B.P.H. N.u.N. terbuka bagi publik serta dapat dikutip oleh media massa. Maka, diperlukan pembedaan tersebut sebagai bentuk kehati-hatian.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

'65, 56 Tahun Kemudian

1 Oktober 2021   21:00 Diperbarui: 2 Oktober 2021   10:15 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar film yang disiarkan TV One semalam. (Foto: Bhayu M.H.)

Semalam, saya menonton tayangan film "Pengkhianatan G 30 S/PKI" di TV One. Sayangnya ketika episode di film memasuki pagi hari 1 Oktober 1965, saya mengantuk dan tertidur. Baru terbangun kembali saat film hampir memasuki akhir. Tak apa, toh saya sudah berkali-kali tuntas menyaksikannya sejak kecil.

Film ini penulisan naskahnya dipimpin oleh satu tim ahli dikomandani Prof. Dr. Raden Pandji Nugroho Notosusanto. Beliau sejarawan yang atas jasanya "menulis ulang sejarah bangsa sesuai selera Orde Baru", di kemudian hari diberikan pangkat militer kehormatan: Brigadir Jenderal (Tituler). Sutradaranya pun bukan "kacangan", salah satu sutradara terbaik yang pernah dimiliki Indonesia: Arifin C. Noer. Demikian pula para pemainnya. Tak kurang ada Umar Kayam, Amoroso Katamsi, dan Ade Irawan. Beberapa pemain terus bergelut di dunia peran. Sementara yang lain hanya sesekali saja. Salah satu yang unik adalah Amoroso Katamsi yang seorang dokter, berkali-kali memerankan Soeharto karena kemiripannya.

Nah, ternyata, istri saya banyak tidak tahu mengenai film ini dan sejarah 1965. Saya maklum, karena keluarganya termasuk "Abubakar": Atas Budi Baik Golkar". Jadi, agitasi dan propaganda rezim yang sebenarnya sangat kejam itu merasuk dalam ke otaknya.

Koleksi buku Bhayu M.H. terkait
Koleksi buku Bhayu M.H. terkait "Peristiwa 1965" (Foto: Bhayu M.H.)
Ini tentu berbeda dengan saya. Ayah saya Soekarnois. Bahkan nyaris menjadi "korban Soeharto" (silahkan baca tulisan saya 6 tahun lalu: http://bit.ly/MengobatiLuka 1965). Sejak S.D. saya sudah membaca banyak buku. Antara lain biografi yang ditulis oleh Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965) dan Sewindu Dekat Bung Karno (1988) oleh Bambang Widjanarko. Sejak itu, selain buku-buku milik ayah saya, saya pun mulai mengkoleksi buku bertemakan Soekarno, Soeharto, dan Peristiwa 1965. Hingga kini saya memiliki lebih dari 200 buku bertemakan 3 hal tersebut, seperti saya tampilkan sebagian dalam foto di atas. Bahkan ada beberapa manuskrip dan salinan dokumen yang di masa Orde Baru dilarang beredar. Sebutlah di antaranya apa yang dikenal sebagai "Cornell Paper", yang judul resminya adalah A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia (1971).

Semua itu tentu saja membuat wawasan saya jauh lebih luas daripada istri saya. Maka, dengan niat mengedukasi istri saya, izinkan saya menuliskan sekedar catatan kecil ini. Semoga juga bisa bermanfaat bagi masyarakat luas.

Sejarah Resmi versus Narasi Tandingan

Narasi sejarah resmi yang dianut Indonesia sejak Orde Baru berkuasa merujuk pada 6 jilid buku Sejarah Nasional Indonesia (1975). Di kalangan akademis terutama sejarawan, buku ini kerap disebut "buku babon", dikarenakan selain sebagai rujukan, juga tebalnya.

S.N.I. itu dtulis oleh satu tim penulis, yang diketuai oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto. Ya, dia orang yang sama dengan ketua tim penulis naskah film yang telah disebutkan di atas. Sejak buku itu diterbitkan, narasi sejarah selainnya dianggap "haram".

Orde Baru tidak main-main dalam menegakkan narasi ini. Di awal Orde Baru, Soeharto membentuk organ militer ekstra yudisial yang sangat perkasa dan "super power". Namanya "Kopkamtib".1) Di bawahnya ada organ lagi bernama "Laksus"2). Dua badan saling terkait itu diberi hak apa pun untuk merasuk jauh ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Tak ada pertunjukan seni yang dapat diadakan, buku atau media massa yang dapat diterbitkan, tanpa surat izin dari Laksus Kopkamtib. Sebagai sebuah lembaga territorial, ia memiliki cabang hingga ke daerah-daerah.

Sebagai akibat dari "penegakan hukum" itu, rakyat menjadi ketakutan. Saat itu, ibaratnya "dinding pun bertelinga". Narasi-narasi yang berlawanan dengan sejarah resmi dilarang. Bahkan, sekedar membahas Bung Karno saja sulit. Berbagai buku dan penerbitan yang dianggap memuji Soekarno dihalangi. Sementara yang mempertanyakan "Peristiwa 1965" atau peran Soeharto dilarang. Apalagi yang sampai mengkritisi Orde Baru, jelas tidak akan bisa beredar di Indonesia, apalagi yang dari luar negeri.

Hal itu kelak terus berlangsung setidaknya hingga medio 1990-an. Meskipun ada beberapa kali letupan seperti G.A.K.3) atau Malari4), tapi itu tak berarti banyak. Rezim tetap berdiri tegak. Barulah sejak meletusnya Kudatuli5), Orde Baru mulai "goyah".

Bahkan sebenarnya, narasi resmi itu tetap bertahan meskipun Soeharto sudah berhenti sebagai Presiden sejak 1998 dan kemudian wafat pada 2008. Sejak beberapa waktu lalu, malah narasi-narasi glorifikasi atas diri Soeharto mulai kembali didengungkan pengikut setianya.

Sebenarnya, jelas ada efek positif dari reformasi 1998, yaitu dibukanya keran kebebasan dan demokrasi. Dengan begitu, masuklah berbagai literatur yang berisikan berbagai narasi alternatif selain versi resmi rezim Orde Baru. Ada yang lebih mirip "curhat" seperti Aku Bangga Jadi Anak PKI (2002) oleh Ribka Tjiptaning Proletariyanti. Namun, justru banyak yang serius karena berlandaskan penelitian ilmiah dan akademis. Untuk sekedar menyebutkan, ada dua buku yang pernah direkomendasikan sejarawan Dr. Asvi Warman Adam. Pertama adalah Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto oleh John Roosa (2008). Kedua berjudul Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966 (2018) oleh Geoffrey Robinson.

Sejarah Harus Ditulis Ulang 

Dalam beberapa kesempatan, Asvi Warman Adam menyerukan bahwasanya sejarah harus ditulis ulang. Terutama sekali seputar peristiwa 1965. Ia pernah mengatakan: "Sejarah yang selama ini dipergunakan sebagai alat penindas perlu diubah menjadi medium pembebasan".6) Sayangnya, upayanya yang juga dilakukan oleh sejumlah pihak lain belum membuahkan hasil. Penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia yang sudah dimulai sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri misalnya, hingga kini belum selesai.

Bagaimanapun, narasi alternatif atas sejarah resmi Orde Baru harus terus disuarakan. Masalahnya, narasi resmi yang masih dianut oleh negara itu seringkali dijadikan justifikasi bagi sebagian masyarakat untuk bertindak sesuai seleranya sendiri. Misalnya saja menghakimi orang lain dan mencapnya sebagai "PKI" apabila pendapatnya bertentangan dengan dirinya.

Pengikut Orde Baru sejatinya masih banyak. Hal itu tercermin dari Pemilu 2014 dan 2019, terutama sekali Pilpres. Kemenangan Jokowi di dua Pemilu itu tipis-tipis saja. Bisa dibilang, pendukung lawannya kebanyakan adalah pengikut Orde Baru. Karena kita semua tahu, bahwa Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto dahulu pernah menjadi menantu Soeharto.

Meski secara eksplisit mereka menolak kembalinya Orde Baru, namun di hati kecilnya masih tertanam semacam rasa hutang budi. Penolakan itu antara lain mengemuka dari gagalnya Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto menjadi Ketua Umum DPP Golkar dalam Munaslub 2016. Tercermin juga dari kecilnya perolehan suara partai politik yang didukung kakaknya Siti Hardiyanti dalam Pemilu 2004 dan 2009.

Akan tetapi, dukungan terhadap Orde Baru muncul dalam berbagai kesempatan. Terutama sekali melalui nilai-nilainya. Pernyataan mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo yang mempersoalkan keberadaan patung Soeharto dalam kanal Youtube Karni Ilyas menunjukkan hal itu. Ia menyatakan, "Di mana-mana patung Bung Karno ada, bahkan nama Soekarno-Hatta jalan ada, Pak Harto mantan presiden ada jasanya juga, mana sih ada patung? Hanya patung kecil seperti itu pun musnah."7)

Selain pernyataan seorang mantan petinggi negara seperti itu, di masyarakat masih terjadi intimidasi dan persekusi di mana-mana. Bahkan, dalam penyelenggaraan webinar organisasi yang saya pimpin saja, kami pun menerima intimidasi.

Ironisnya, intimidasi saat ini dilakukan oleh pihak yang sebagian besar menentang atau minimal tidak sehaluan dengan pemerintah yang sah. Mereka bahkan tega menuduh Presiden Joko Widodo sebagai PKI. Padahal, di tahun 1965, beliau masih berusia 3 tahun!

Saya juga mengamati, mulai terbit sejumlah buku yang mengglorifikasi Soeharto. Demikian pula ada beberapa situs internet mengunggah nostalgia tentang hebatnya "The Smiling General". Kampanye di media sosial juga mulai marak. Intinya, para pendukung Soeharto hendak mengatakan: "Piye, isih kepenak jamanku tho?"

Agitasi dan propaganda semacam ini memang terus dilawan oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah sendiri. Akan tetapi agak terasa kurang "menggigit" karena para Social Justice Warrior (S.J.W.) yang banyak bercokol di berbagai L.S.M. baik asli dalam negeri maupun afiliasi luar negeri, mendukung setengah hati. Karena memang masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai. Sejumlah isyu yang dituntut S.J.W. masih belum tuntas, termasuk orang hilang.

Namun, menurut hemat saya, pangkal dari semua ini adalah gelapnya selubung misteri "Peristiwa 1965". Karena dari sanalah bermula berkuasanya sebuah rezim otoriter yang dipimpin seorang diktator yang koruptor. Andaikata sejarah bisa ditulis ulang, akar kekerasan yang menghantui bangsa ini bisa dicabut.

Kehormatan Bagi Yang Berhak

Itu adalah judul buku yang ditulis oleh Manai Sophiaan, tokoh PNI8) ayahanda aktor Sophan Sophiaan. Judul lengkapnya Kehormatan Bagi Yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI (1994). Sub judul buku itu merupakan sebuah bantahan atas narasi sejarah resmi Orde Baru. Saya teringat sewaktu S.D., ada pelajaran P.S.P.B.9) yang sekarang sudah dihapuskan. Di sanalah terutama ditekankan tuduhan bahwasanya "Bung Karno terlibat G-30-S/PKI"

Saya yang waktu itu masih berusia di bawah 10 tahun saja sudah mampu berpikir logis, bahwasanya tesis itu sangat tidak logis. Coba pikir, bila G-30-S/PKI disebut kudeta, tentu ada tujuannya. Kudeta adalah upaya merebut kekuasaan dari pemerintah yang sah. Saat itu, pemerintah yang sah dipimpin oleh Soekarno atau Bung Karno sebagai Presiden. Apalagi ia baru saja diangkat sebagai "Presiden Seumur Hidup" melalui Tap M.P.R.S. No. III/MPRS/1963. Padahal, menurut A.M. Hanafi dalam bukunya A.M. Hanafi Menggugat: Kudeta Jenderal Suharto dari Gestapu Ke Supersemar (1998), ide pengangkatan itu muncul dari "Angkatan '45" dan "sayap kanan dari TNI".

Nah, kembali ke soal "Bung Karno terlibat G-30-S/PKI" tadi, menurut hemat saya justru tesis itu sangat tidak logis. Pertanyaan sederhana: "Jadi, Bung Karno terlibat kudeta kepada diri sendiri? Buat apa?" 

Presiden Soekarno menangis di depan makam A. Yani. (Foto: Sekretariat Negara)
Presiden Soekarno menangis di depan makam A. Yani. (Foto: Sekretariat Negara)
Kalau pun "game theory" dipakai juga tidak masuk. Karena konyol bila Soekarno mempertaruhkan negara, jabatan bahkan lehernya sendiri untuk sebuah permainan kekuasaan. Lagipula, berbagai dokumen dan kesaksian sejarah justru menunjukkan bahwa Soekarno kebingungan sendiri pada situasi saat itu. Misalnya ada kisah beliau terbirit-birit lari ke helikopter saat di Istana Bogor. Atau fakta bahwa Soekarno sebenarnya mengeluarkan Surat Perintah baru pada 13 Maret 1966, yang intinya mencabut Supersemar. Tapi, surat itu tidak pernah keluar dan beredar karena ditahan oleh para perwira yang mendukung Soeharto. Fakta juga bahwa Letjen TNI Achmad Jani saat hidup justru sering disebut-sebut oleh Soekarno sebagai penggantinya. Semua tentara dan sebagian besar rakyat Indonesia saat itu juga tahu. Dan terlihat jelas betapa terpukulnya Soekarno yang menangis di depan makam A. Yani. Logikanya, sangat tidak mungkin seorang presiden memerintahkan pihak lain membunuh "anak emas"-nya sendiri.

Maka, penulisan ulang sejarah dengan mengedepankan semua fakta yang mungkin didapat sangatlah perlu. Suara para korban, termasuk para eksil yang tertahan tak bisa pulang di luar negeri juga perlu didengar. Demikian pula para korban imbas dari epilog "Peristiwa 1965". Tentu bukan hanya anggota PKI, keluarganya, serta anggota berbagai onderbouw-nya yang perlu didengarkan. Tapi juga para Soekarnois yang dalam berbagai kesempatan di-PKI-kan. Termasuk juga para eks tapol dan napol yang banyak di antaranya dipenjarakan tanpa proses pengadilan.

Sebagai sekedar urun rembug, judul buku Manai Sophiaan itu saya kira penting dijadikan landasan moral. Kehormatan bagi yang berhak. Letakkan posisi semua pelaku sejarah pada tempat semestinya. Para perwira yang gugur dalam "Peristiwa 1965" harus tetap dihormati. Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati di tanggal hari ini harus tetap diperingati. Bahkan, jasa-jasa Soeharto kepada bangsa dalam membangun negara ini sesudah 1965 juga patut dihargai.

Kini sudah tahun 2021. 56 tahun sudah berlalu sejak '65. Sudah lama peristiwa berdarah itu berlangsung. Namun, sejarah masih mencatat banyak hal yang tidak pada tempatnya.

Nama baik Soekarno harus dibersihkan. Demikian pula sejumlah orang lain yang menjadi "pelengkap penderita" seperti Marsekal Udara Oemar Dhani. Pelajaran sejarah harus ditulis ulang. Bahkan sebenarnya perlu dibuat film baru sebagai narasi alternatif bagi film propaganda Orde Baru seperti Pengkhianatan G30S/PKI (1984) atau Penumpasan Sisa-sisa PKI di Blitar Selatan (1987).

Berikanlah kehormatan bagi yang berhak. Pahlawan dijelaskan sebagai pahlawan tanpa glorifikasi. Pengkhianat dan pemberontak pun tetap, hanya dijelaskan berapa prosentase keterlibatannya. Demikian pula mereka yang menggelapkan sejarah pun dibuat terang-benderang. Agar bangsa ini bisa tegak mengangkat dagu menatap masa depan gemilang.

Catatan: 

1) Kopkamtib: Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban

2) Laksus: Pelaksana Khusus

3) G.A.K.: Gerakan Anti Kebodohan

4) Malari: Malapetaka Lima Belas Januari

5) Kudatuli: Kerusuhan Dua puluh Tujuh Juli

6) https://lipi.go.id/asvi-warman-adam-meluruskan-sejarah-/643

7) https://news.detik.com/berita/d-5747772/gatot-nurmantyo-kembali-menyoal-patung-soeharto

8) PNI: Partai Nasional Indonesia

9) P.S.P.B.: Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun