Kembali ke paragraf awal tulisan ini, situasi Indonesia yang bak "bara dalam sekam" membuat kehidupan bermasyarakat menjadi tidak nyaman. Suasana saling-curiga meruyak, bahkan dalam lingkup terkecil: keluarga. Golongan masyarakat yang menganggap bahwa P.K.I. adalah musuh utama negara dan Taliban adalah pahlawan, bisa jadi adalah pihak yang sama. Mengherankannya, pemerintah yang sah justru jadi "tertuduh" dalam hal ini. Pemerintah dianggap "P.K.I." sekaligus "musuh Islam" oleh golongan tersebut.
Padahal, di balik pemerintah justru berdiri mayoritas rakyat Indonesia seperti tercermin dari hasil Pemilu. Dan itu termasuk pula berbagai organisasi keagamaan. Lantas, kenapa para ulama di sisi pemerintah dengan jumlah massa pengikut yang besar justru seperti kalah suara dengan pihak yang menganggap pemerintah sebagai semacam "thogut"?Â
Tak heran, anggota masyarakat yang berdiri di posisi tersebut menganggap diri "masyarakat kelas satu". Tingkah-laku mereka kerap mengancam pihak lain, termasuk di media sosial. Salah satu contohnya saya unggah di sini, dimana dalam W.A. mereka mencoba mengintimidasi atas penyelenggaraan diskusi nanti.
Situasi Indonesia Saat Ini
Sebenarnya, di luar isyu P.K.I. yang biasanya muncul di bulan September-Oktober setiap tahun, dan isyu Taliban yang mengemuka sejak Agustus 2021 lalu, Indonesia saat ini dihadapkan pada berbagai hal nyata. Kita semua tahu yang tampak bagi semua orang adalah pandemi Covid-19 yang masih menghantui. Namun, ada juga yang tak tampak.
Apa itu?
Itu adalah masalah keamanan dan pertahanan.
Masalah keamanan, Indonesia dhadapkan pada situasi masyarakat yang masih tersegregasi. Rasa tidak suka dan kecurigaan masih merajalela. Perundungan dan perisakan masih saja terjadi. Belum lagi ujaran kebencian, kabar bohong, fitnah, hoax, dan pencemaran nama baik. Konflik horizontal juga masih mengancam, bahkan beberapa kali terjadi letupan. Sebutlah satu contoh di antaranya pembakaran masjid Ahmadiyah di Kalimantan Barat awal September lalu.
Selain itu, tentu saja ada ancaman separatisme. Kelompok Separatis Teroris yang ingin memaksakan kemerdekaan Papua lepas dari N.K.R.I. terus beraksi. Penyelenggaraan P.O.N. yang rencananya akan diadakan pada 2 hingga 15 Oktober 2021 dibayangi oleh aksi-aksi kekerasan dan teror mereka. Persoalan Papua ini merupakan masalah di bidang keamanan dan pertahanan sekaligus.
Dalam bidang pertahanan, Indonesia menghadapi ancaman konflik di Laut China Selatan atau kita menyebutnya Laut Natuna Utara. Ada beberapa efek negatif dari posisi kita sebagai negara penganut azas bebas-aktif. Satu di antaranya adalah kita tidak menjalin pakta pertahanan dengan negara lain. Di ASEAN, Indonesia adalah satu-satunya negara yang tidak punya kerjasama ini. Â Dan itu sebenarnya "ngeri-ngeri sedap". Apalagi baru-baru ini Australia menjalin kaukus kerjasama militer baru dengan Amerika Serikat dan Inggris bertajuk "Aukus". Apabila terjadi konflik militer terbuka, posisi geografis Indonesia yang berada di persilangan tentu akan sangat riskan.
Oleh karena itulah, kita musti memastikan bahwa negara yang kita cintai ini selalu aman dan tentram. Dalam konteks ini, termasuk pula pada ancaman isyu-isyu sensitif seperti P.K.I. dan Taliban. Karena bila dibiarkan tanpa dipadamkan, bisa jadi akan memecah-belah persatuan bangsa kita. Kita tidak mau itu terjadi, bukan?