Berhentinya Soeharto sebagai Presiden R.I. pun tidak diwarnai dengan pemenjaraan dirinya serta perampasan aset miliknya. Satu hal yang lazim terjadi dalam proses perebutan kekuasaan secara paksa. Sehingga, bisa dibilang banyak individu yang merasa "berhutang budi" pada rezim Orde Baru masih bebas berkegiatan.Â
Bahkan, dibandingkan saat Soeharto merebut kekuasaan dari Soekarno, situasinya sangat berbeda. Ketika itu, bukan saja Soekarno "dipenjarakan", para pendukungnya juga dikejar-kejar. Jadi, korban "Peristiwa 1965" bukan saja para "Pahlawan Revolusi" di sisi protagonis, melainkan juga "antek P.K.I." sebagai antagonis. Masih ditambah para "Soekarnois" yang di-antagoniskan.
"Peristiwa 1965" merupakan sejarah kelam bangsa Indonesia. Sayang sekali, banyak pelakunya sudah wafat. Dan dokumentasi resmi juga banyak yang tidak terang. Bahkan Supersemar yang dijadikan alasan dan landasan bagi Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Soekarno, hingga kini tak diketahui keberadaan artefak aslinya.
Karena banyaknya "selubung misteri" atas "Peristiwa 1965", tak heran hingga kini narasi "bahaya laten komunisme" masih kerap didengungkan. Dalam konteks situasi sekarang ini, sebenarnya patut dipertanyakan klaim tersebut. Karena faktanya, P.K.I. sebagai partai politik berbadan hukum tak pernah kembali berdiri sejak dilarang oleh Soeharto pada 1966.Â
Lantas, siapa atau pihak mana yang masih berkali-kali mengungkit Kembali isyu tersebut? Apa motifnya? Bukankah kalau persoalan "mengingat" saja, setiap tahun negara masih memperingatinya dengan upacara resmi? Bahkan Presiden Jokowi yang justru kerap difitnah sebagai P.K.I., juga masih hadir di Lubang Buaya untuk menghormati para "Pahlawan Revolusi" yang gugur.
Afghanistan, Taliban, dan Indonesia
Sebagai negara, Indonesia menganut politik bebas-aktif. Itu berarti, kita tidak berpihak pada negara mana pun. Karena sikap ini dianut awalnya di masa Perang Dingin, ketika itu berarti Indonesia tidak masuk Blok Barat maupun Blok Timur. Bahkan negara kita termasuk 1 dari 5 pendiri Gerakan Non Blok dengan Soekarno sebagai pencetusnya. Konferensi Asia Afrika (K.A.A.) di Bandung tahun 1955 merupakan tonggak monumental bagi G.N.B.
Posisi itu membuat Indonesia bersahabat dengan semua negara. Termasuk Afghanistan tentunya. Sehingga di saat terjadinya peralihan kekuasaan di negara Asia Tengah itu, kita tetap menjalin hubungan baik.
Dalam konteks Taliban, saat mereka berkuasa 20 tahun lalu, delegasinya juga pernah berkunjung ke Indonesia. Dan perwakilan Indonesia juga beberapa kali berkunjung ke sana. Kunjungan terbaru dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada Agustus 2021 lalu.
Afghanistan penting bagi Indonesia bukan karena sumber daya alamnya. Dimana berkah Tuhan itu menjadi rebutan bagi negara-negara besar. Melainkan -sayangnya- karena sisi negatifnya: radikalisme dan terorisme.
Pasca Tragedi 11 September 2001 yang disusul dengan invasi Amerika Serikat ke Afghanistan, para anggota "legiun asing" di Afghanistan banyak yang pulang ke Indonesia. Mereka yang pernah bertempur bersama Mujahidin kenyataannya banyak menjadi "guru" bagi para teroris. Bahkan, mereka sendiri juga ada yang menjadi teroris. Faktanya, semua bom yang meledak di tempat umum di Indonesia pasca 2001, pelakunya adalah "alumni Afghan".