Pasca Uni Sovyet bubar pada 1992, Rusia perlahan menurun kekuatannya. Salah satu sebabnya karena alat utama sistem persenjataan (alutsista)-nya harus dibagikan kepada negara-negara bekas federasinya. Apalagi satu per satu negara bekas "Pakta Warsawa" bergabung dengan NATO (North Atlantic Treaty Organization). Kita tahu NATO dipimpin oleh AS. Di masa "Perang Dingin", AS dan sekutunya disebut "Blok Barat", sedangkan Uni Sovyet dan sekutunya disebut "Blok Timur". Perlu diingat, kedua aliansi inilah yang memenangkan Perang Dunia II melawan aliansi "Poros" / "Axis" Jerman-Jepang-Italia.
Meskipun menurun kekuatannya, Rusia tetap berbahaya karena memiliki senjata nuklir. Demikian pula jumlah alutsista-nya masih banyak sekali. Termasuk di sini jumlah anggota angkatan bersenjatanya.
Maka, ketika Rusia menyerbu Ukraina pada 24 Februari 2022, banyak yang terkejut. Di masa lalu, perang semacam itu bisa dengan mudah dimenangkan Rusia. Akan tetapi, Ukraina yang sedang dalam proses melamar sebagai anggota NATO sudah dibantu oleh negara-negara Barat. Meski tidak mengirimkan pasukan secara resmi, mereka melatih dan mengirimkan aneka persenjataan. Termasuk alutsista berat seperti tank dan pesawat tempur pun dihibahkan. Belum terhitung operasi gelap seperti pengiriman tentara bayaran yang sangat rahasia. Akibatnya, Rusia kerepotan. Selain mampu menahan dan memukul balik, pada 6 Agustus 2024 Â tentara Ukraina menyerang Kursk Oblast, sebuah wilayah di bagian Barat Rusia yang berbatasan langsung dengan Ukraina.Â
Ini adalah untuk pertama kalinya tanah kedaulatan Rusia diinvasi negara lain sejak Perang Dunia II. Rusia tidak tinggal diam, serangan balasan telah dilancarkan berkali-kali. Pada 24 September 2024 dilaporkan Rusia telah berhasil merebut kembali sebagian wilayah Kursk yang diinvasi oleh Ukraina. Perang saat ini tampaknya masih belum masuk ke "skala penuh", karena Rusia tampaknya belum mengerahkan segenap kemampuannya. Bila ini terjadi, bisa dipastikan NATO dipimpin AS juga akan berperang habis-habisan. Perlu dicatat, Rusia adalah negara yang berada di dua benua: Eropa dan Asia.
Sedangkan di Asia, China atau Republik Rakyat China (RRC) -maaf saya mempertahankan kata "China" dan bukan "Tiongkok" sesuai ejaan dalam bahasa Inggris dan bahasa aslinya- menguat secara ekonomi. Kekuatannya sudah menyaingi AS, bahkan dalam beberapa sigi dan parameter tertentu sudah melampaui. Demikian pula dengan kekuatan Tentara Pembebasan Rakyat atau People Liberation Army (PLA) milik RRC juga meningkat pesat. Kekuatannya sudah nomor 3 di bawah AS dan Rusia menurut "Global Fire Power" ("GFP").Â
Seperti banyak negara maju lainnya, RRC juga mampu memproduksi berbagai alutsista di dalam negeri. Selain itu, ia juga punya jumlah tentara yang sangat banyak. Jumlah tentara aktifnya sebanyak 2,185 juta prajurit. Itu masih ditambah 1,17 juta komponen cadangan, dan 660 ribu para-militer. Jumlah keseluruhan pasukan RRC adalah sekitar 4 juta orang. Bila dibandingkan, jumlah itu lebih banyak daripada AS yang memiliki sekitar 2 juta orang pasukan dan Rusia yang 2,4 juta orang. Komposisi itu sudah termasuk komponen cadangan dan para-militer.
Kekuatan militer Rusia dan China akan sangat berbahaya bagi dunia bila digerakkan dalam "perang total" atau perang dalam "skala penuh". Perang yang terjadi di Ukraina akibat serangan Rusia sebenarnya "belum apa-apa", karena Rusia tampak masih menahan diri. Sementara China juga masih berhitung untuk menyerang Taiwan. Baik Rusia maupun China ibarat "raksasa yang tidur". Bila keduanya memutuskan melakukan "perang total" dalam "skala penuh", jelas akan menjadi malapetaka bagi dunia. Akan ada dampak langsung bagi Indonesia. Apalagi sebagian wilayah Rusia terletak di Asia, dan China memang berada di Asia.
Potensi Konflik Di AsiaÂ
Ada tiga "titik didih" di Asia. Pertama, di Laut China Selatan. Kedua, di Korea. Ketiga, di Taiwan.
Laut China Selatan (LCS) menjadi sumber konflik antara Republik Rakyat China (RRC) atau People Republic of China (PRC) dengan sejumlah negara di ASEAN. Hal itu dikarenakan RRC dalam peta yang dikeluarkan pada 1 Desember 1947 mengklaim wilayah laut di Selatan daratan negaranya dengan istilah "nine dash line" (9 garis terputus). Wilayah itu merentang jauh hingga melingkupi kepulauan Spratly di Filipina, laut di sebelah Utara Sabah dan Sarawak di Malaysia, hingga "menyenggol" laut di Kepulauan Natuna di Indonesia. Pada tahun 2016, pengadilan arbitrase internasional di bawah UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) menyatakan RRC tidak berhak atas wilayah "nine dash line" itu.Â