Ada pula pangkat jenderal berbintang lima di kemiliteran AS. Sebutannya "General of The Army". Â Maksudnya "The Army" di sini adalah "Armed Forces", "Angkatan Bersenjata", bukan hanya "Angkatan Darat". Hanya ada lima orang jenderal berbintang lima dalam sejarah militer AS sejak merdekanya pada 1776 hingga sekarang. Mereka adalah George C. Marshall, Douglas MacArthur, Dwight D. Eisenhower, Omar Bradley, dan Henry H. Arnold. Semuanya berasal dari matra darat, kecuali Henry yang dari udara.
Untuk diketahui, di AS angkatan bersenjatanya terdiri dari 6 matra: darat, laut, udara, korps marinir, Â penjaga pantai, dan angkasa luar. Ada lagi badan berseragam federal, selain ke-6 matra tadi, ditambah korps administrasi atmosfir dan lautan nasional, serta korps kesehatan umum. Sehingga total ada 8 matra. Semua matra tersebut dikepalai jenderal berbintang 4. Namun, jenderal berbintang 4 tidak hanya ada 4 orang saja, melainkan 45 orang.Â
Itu karena AS punya pasukan di seantero dunia. Para komandan dan kepala pasukan di luar negara, semuanya berbintang 4. Komposisinya 14 di angkatan darat, 3 di korps marinir, 8 di angkatan laut, 14 di angkatan udara, 3 di angkasa luar, 2 di penjaga pantai, serta 1 di korps kesehatan umum.
Di Indonesia, pangkat tertinggi juga berbintang lima. TNI menyebut pangkat berbintang lima dengan "Jenderal Besar". Mabes TNI di era Orde Baru menganugerahkannya kepada tiga orang yang dianggap berjasa besar pada perayaan HUT ke-52 ABRI Â pada 5 Oktober 1997. Mereka adalah Jenderal (Purn.) Sudirman yang merupakan Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) pertama. APRI adalah nama militer Indonesia sebelum berganti nama menjadi ABRI.Â
Kemudian ada Jenderal (Purn.) Abdul Harris Nasution. Ia adalah Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan / Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam / KASAB) pada kabinet terakhir Sukarno, Dwikora III. Saat "Peristiwa 1965", ia memihak Suharto dan kemudian dijadikan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang mengangkat Suharto sebagai Pejabat Presiden pada 1966. Padahal, saat itu Sukarno masih jadi Presiden RI hingga 1967. Nama terakhir adalah Suharto sendiri, sebagai Panglima Tertinggi ABRI alias Presiden RI terlama.
Kompas.id sempat keliru datanya saat menuliskan soal "Jenderal Besar" ini. Saya menuliskan komentar, tapi tidak dimuat. Akan tetapi kemudian ada ralat. Sayangnya, masih ada "sisa" dari kesalahan itu pada "highlight"-nya. Untunglah saya sempat merekam tangkapan layarnya seperti saya tampilkan di sini.
Sebenarnya, di masa Orde Lama, Sukarno juga menyandang pangkat bintang lima. Dan itu pasti sah di zamannya. Apalagi di masa itu Indonesia tengah banyak berkonflik. Termasuk mengobarkan Trikora untuk membebaskan Irian Jaya -sekarang Papua, Belanda menyebutnya Dutch/Nederlands Nieuw Guinea- dari penjajahan Belanda dan Dwikora dalam rangka Konfrontasi Malaysia. Sukarno yang telah diangkat sebagai Presiden Seumur Hidup, juga menjabat sebagai Pemimpin Besar Revolusi, Panglima Tertinggi ABRI, dan juga Panglima Tertinggi Komando Operasi Tinggi (KOTI). Ia kerap tampil dengan PDU berbintang lima lengkap dengan pita harian tanda jasa dan beberapa brevet kehormatannya.
Sesuai Aturan
Pemberian pangkat kehormatan di masa pemerintahan mana pun, apa pun jenisnya, sudah pasti sesuai aturan. Di masa kini, dasar utamanya adalah UU No. 20/1999 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. TNI atau Polri tidak mungkin menabrak aturan demi kepentingan seseorang.Â
Dan hal itu termasuk pula pemberian pangkat kehormatan kepada Prabowo Subianto tadi pagi. Untuk keperluan tersebut, diterbitkan Keputusan Presiden RI No. 13/TNI/2024 tertanggal 21 Februari 2024, tentang Penganugerahan Pangkat Secara Istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan.