Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Curahan Kegelisahan Mantan Wartawan

23 Februari 2024   11:55 Diperbarui: 23 Februari 2024   11:59 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Spanduk berdiri Unconference Ruang 6 dalam KMN HPN 2024. (Foto: Bhayu M.H.)

Saya paham maksudnya, dan di sini saya coba menerangkannya. Misalnya dalam Pemilu, suatu media bersikap netral atas seluruh Partai Politik (Parpol) yang mengikutinya. Berarti, ia tidak memihak salah satunya termasuk dalam memberitakan. Semua diberitakan dalam proporsi yang sama. Sedangkan independen, kebijakan pemberitaan redaksi tidak terikat dengan sokongan pendanaan yang diterimanya. Satu Parpol bisa memasang iklan di media massa tersebut misalnya, namun itu tidak menghalangi redaksi untuk memuat berita yang mengkritik Parpol tersebut, bila dirasa perlu.

Dalam praktiknya, saya merasakan hal itu sulit dilakukan. Pemilik suatu media massa praktis akan bisa mengontrol kebijakan redaksinya. Arahan darinya akan sulit dibantah. Karena bila itu dilakukan, pewarta sebagai pegawainya akan dengan mudah dipecat.


"Wartawan Bodrex" dan "Media Kuning"

Saya sempat mengira, saat ini sudah tidak ada "media kuning" dan "wartawan Bodrex". Tapi ternyata saya salah. Justru ternyata di era media daring, jumlahnya makin menjamur. Sebelum melanjutkan tulisan, saya terangkan dulu dua terminologi "sindiran" di dunia jurnalistik tersebut.

"Media kuning" sebenarnya adalah perluasan dari "koran kuning". Di era media cetak masih banyak yang terbit, ada yang disebut "koran kuning". Ini adalah media massa cetak -umumnya memang berbentuk koran- yang pemberitaannya "tidak bermutu". Misalnya, memuat soal seksualitas dan sensualitas secara berlebihan. Dan itu masih ditambah lagi dengan mereka tidak memberikan gaji tetap kepada para pewartanya. Anggota tim redaksinya hanya diberikan kartu pers dan surat tugas, untuk kemudian berkeliling mencari uang sendiri. Umumnya dengan modus meminta kepada instansi pemerintah, pejabat pemerintah, atau nara sumber. Meminta di sini terkadang disertai pemerasan. Apalagi bila ia menemukan adanya kesalahan dari suatu institusi atau pejabat publik.

Sedangkan "wartawan Bodrex" dikenal juga sebagai "WTS", kepanjangan dari "Wartawan Tanpa Suratkabar". Nama "Bodrex" adalah obat sakit kepala. Disebut "wartawan Bodrex" karena sering membuat sakit kepala, terutama karena kerap memaksa meminta uang. Padahal, mereka tidak punya afiliasi tempat bekerja yang jelas. Bahkan beritanya pun hampir tidak pernah dimuat. Biasanya, mereka ini "nge-pos" atau berada di tempat tertentu seperti kantor instansi pemerintah. Mereka didaftarkan koordinator yang sebenarnya temannya sebagai pewarta di instansi tersebut. Tujuannya bila ada acara, bisa ikut diundang. Termasuk kebiasaan di Indonesia, biasanya di Hari Raya Idul Fitri, ada Tunjangan Hari Raya (THR) bagi para pewarta yang "nge-pos" tadi.

Saat ini, membuat media massa sangatlah mudah. Cukup mendirikan perusahaan berbadan hukum, bisa CV atau PT. Membeli domain dan hosting, buat dan luncurkan media daring. Bagi yang berpengalaman, membuat satu situs berita bisa hanya dalam hitungan jam saja sudah jadi. Apalagi "palang pintu" seperti SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sudah tidak diperlukan lagi. Ketentuan perlunya SIUPP bagi media massa dicabut Menteri Penerangan era pemerintahan Habibie, Letjen TNI (Purn.) Yunus Yosfiah. Presiden Gus Dur kemudian malah membubarkan Departemen Penerangan yang menaungi pers di Indonesia. Kini, Kementerian Komunikasi dan Informatika tidak bersifat sebagai regulator lagi, melainkan sebagai koordinasi saja. Kebebasan pers memang berimbas pada nyaris lepas kontrolnya media massa dengan pemberitaannya.

Rimba Belantara Media Massa

Kini, media massa bak rimba belantara. Kita sulit memetakan lagi keberadaannya terutama di daerah. Di tingkat nasional, kita masih bisa membaca. Ada sejumlah media massa bersifat konglomerasi atau kelompok perusahaan. Namun di bawahnya, rasanya sudah sulit sekali. Apalagi bila bentuk media massanya adalah media daring.

Media massa yang diverifikasi oleh Dewan Pers saja, sifatnya lebih ke administratif. Sebagai contoh, seorang mantan rekan saya di sebuah media nasional, kini menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di sebuah media massa daring terverifikasi. Padahal, setahu saya, medianya termasuk berpola mempekerjakan "wartawan Bodrex". Saya pernah bertemu langsung di suatu acara institusi pemerintahan, dia yang seorang Pemred berupaya meminta uang dari panitia acara. Bisa dibayangkan, kalau Pemred-nya saja begitu, bagaimana dengan pewarta lainnya sebagai anak buahnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun