Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

"Pertaruhan" Besar Bernama "Nyalon"

18 Februari 2024   16:01 Diperbarui: 18 Februari 2024   16:09 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelaksanaan pencoblosan oleh pemilih pada Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2024 telah dilaksanakan saat pemungutan suara di hari Rabu, 14 Februari 2024 lalu. Perhatian utama masyarakat memang kepada Pemilihan Umum Presiden (Pilpres), yang sebenarnya bertujuan memilih Calon Presiden dan Wakil Presiden (CPWP) periode 2024-2029 mendatang.

Akan tetapi sebenarnya, ada Pemilu lain yang dilaksanakan bersamaan, yaitu bagi Calon Anggota Legislatif (Caleg). Karena parlemen kita kini menganut sistem "bikameral", maka Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Selain di tingkat pusat, DPR juga terdapat di Daerah Tingkat (Dati) 1 atau provinsi, dan Dati 2 atau Kabupaten/Kota. Hanya di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang tidak memiliki DPRD tingkat 2.

Bila para Caleg DPR berlaga mewakili Partai Politik (Parpol), para Caleg DPD tidak. Mereka maju dengan memenuhi persyaratan melampirkan data pendukung disertai salinan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan jumlah tertentu, sesuai Dapilnya. Parpol juga mendulang suara dari caleg DPR semua tingkatan yang akan menentukan jumlah kursi yang diperolehnya. Kelak, semuanya akan diakumulasi untuk menentukan apakah memenuhi ambang batas minimum parlemen (Parliamentary Threshold=PT). Bila PT-nya di bawah 4 %, maka Parpol bersangkutan tidak berhak menempatkan wakilnya di parlemen. Sementara bagi pribadi yang mencalonkan diri, kita sebut calon perorangan (selanjutnya disebut "calon" saja), baik Caleg DPR semua tingkatan maupun DPD. Aktivitas mencalonkan diri itulah yang saya maksudkan dengan "nyalon". Jadi, bukan pergi merias atau merawat diri ke salon kecantikan, ya...

Strategi Pemenangan Calon Perorangan

Untuk memenangkan Pemilu, calon sebaiknya menyewa konsultan pemenangan profesional untuk bisa mendapatkan perhitungan akurat. Selain tentu saja membentuk tim sukses yang mampu menggalang dukungan rakyat pemilih di Daerah Pemilihan (Dapil) tempatnya dicalonkan. Itu semua tentu membutuhkan biaya tidak sedikit.

Selain itu, ia harus membentuk "Tim Sukses", sebagai tim yang bekerja untuk memenangkannya. Apa pun nama yang ingin disematkan. Bila punya dana berlebih, ia bisa menggalang massa juga dengan membentuk "Tim Relawan" agar bisa bergerak lebih lincah. Dan di hari pemungutan suara, akan sangat bagus bila ia bisa membiayai penyediaan saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada Dapil tempatnya bertarung.

Dari setiap kali Pemilu langsung pasca "Reformasi 1998", kita mendapatkan fenomena banyak orang mengira bahwa memenangkan Pemilu itu mudah. Apalagi dengan bermunculannya banyak Parpol baru yang memerlukan Caleg agar bisa memenuhi syarat mengikuti Pemilu. Cukup dengan mendaftarkan diri ke Parpol, mengisi formulir, mengikuti prosedur pencalonan, hadir di pembekalan, membuat APK (Alat Peraga Kampanye) dan menyebarkan, selesai. Padahal, tidak semudah itu, Ferguso!

Banyak sekali strategi yang harus dijalankan. Dan itu disesuaikan dengan profil, situasi, dan kondisi calon itu sendiri dan Dapil tempatnya dicalonkan. Strategi yang berhasil bagi calon lain di Dapil berbeda, bisa jadi tidak cocok diterapkan oleh seorang calon. Konsep "salin-tempel" atau "amati-tiru-modifikasi" tidak bisa serta-merta diaplikasikan.

Satu hal yang mau tak mau harus disadari, bahwa pemilih saat ini sudah terbiasa dengan hal yang sebenarnya negatif. Bagi masyarakat bawah, mendapatkan amplop berisikan uang dengan dalih apa pun saat berkampanye dianggap wajar. Malah sebaliknya, bagi calon yang "gak modal" biasanya tidak digubris. Andaikata pun ada yang mau menerima kunjungan gerilya calon semacam itu, hanyalah karena "sopan santun" saja. Calon tanpa uang memadai seperti itu biasanya hanya membagikan brosur atau gambar tempel alias sticker saja. Bahkan membuat kaos, topi, atau spanduk saja sudah membutuhkan modal uang cukup besar.

Dan hari ini, hasil akhir perjuangan berbulan-bulan itu akan segera diketahui. Apabila calon memiliki dana memadai, ia bisa menyebar tim saksi untuk memantau. Tapi bila tidak, maka ia akan terpaksa pasrah menunggu hasil hitung cepat yang dibuat tim lain. Atau malah menunggu hasil resmi dari KPU saat diumumkan nanti.

Maka, alih-alih diibaratkan investasi, mengikuti kontestasi Pemilu bagi calon perorangan sebenarnya mirip seperti "pertaruhan". Di sini, calon "mempertaruhkan" uangnya untuk membuat dirinya terpilih sebagai anggota DPR atau DPD. Namun, ia tidak tahu apakah akan berhasil memenangkan kontestasi atau tidak. Mengeluarkan biaya banyak, belum tentu terpilih. Itu masih tergantung banyak variabel faktor lain, yang kerapkali banyak di antaranya tidak dikuasai oleh calon. Karena faktor probabilitasnya kecil, maka mirip dengan "pertaruhan". Dengan uang yang telah dikeluarkan adalah "taruhannya". Tentu selain reputasi dan nama baik yang bersangkutan.

Siap Menang, Siap Kalah

Banyak sekali calon -apalagi yang baru pertama kali "nyalon"- sudah membayangkan nikmatnya menjadi "anggota dewan". Karena selain gaji dan fasilitas yang akan didapatkan, juga kehormatan yang tiada tara. Status sosial seorang "anggota dewan" masih dianggap bak "dewa" di masyarakat. Apalagi memang ada fasilitas khusus yang disediakan negara. Misalnya kendaraan dinas bertanda khusus, perlakuan khusus di tempat-tempat publik, dan sebagainya.

Namun, mimpi selama berbulan-bulan kerapkali kandas cepat di hari pemungutan suara. Apalagi sekarang ada metode "hitung cepat" (quick count). Kondisi siap menang, tapi tidak siap kalah ini kerapkali melanda sejumlah calon. Apalagi, bila mereka telah mengeluarkan uang dalam jumlah besar.

Sebagai gambaran saja, untuk menjadi Caleg DPR tingkat 2, uang ratusan juta rupiah belum tentu cukup. Apalagi bila Dapilnya padat penduduk dan luas wilayahnya. Makin tinggi tingkatan legislatifnya, logikanya juga akan makin besar uang yang dibutuhkan Caleg untuk berkampanye.

Dengan sistem proporsional terbuka berdasarkan UU No. 7 / 2017 tentang Pemilu, calon terutama Caleg DPR semua tingkatan akan bersaing juga dengan Caleg dari Parpol yang sama. Nomor urut Caleg DPR di kertas suara tidak lagi menentukan karena pemilih bisa langsung mencoblos Caleg di nomor urut berapa pun. Kecuali ada pemilih yang mencoblos hanya tanda gambar Parpol, maka perhitungan suaranya akan jatuh ke Caleg dengan nomor urut 1.

Sementara bagi calon DPD, berkampanye ke masyarakat juga agak sulit. Karena konsentrasi masyarakat selain ke Pilpres, juga ke Parpol. Bila Caleg dari Parpol saja sulit diketahui pemilih, apalagi Calon DPD. Saya sendiri tidak mengetahui satu orang pun dari puluhan calon DPD di Dapil tempat saya tinggal.

Kesiapan para calon untuk menerima apa pun hasil Pemilu, sebaiknya disiapkan sejak awal. Mental siap kalah itu justru sudah harus ada saat mengikuti proses pendaftaran. Tidak hanya bagi calon bersangkutan, tapi juga dari orang terdekat terutama keluarga inti. Bila memungkinkan, malah libatkan semua anggota keluarga sebagai "tim sukses".

Demikian pula uang yang digunakan sebagai "taruhan" haruslah "uang nganggur". Bukan uang simpanan masa pensiun, tabungan hari tua, uang pendidikan anak, atau uang cadangan lainnya. Apalagi bila sampai menjual investasi seperti emas atau rumah. Bila sampai hal itu terjadi, berarti sebenarnya dana untuk kampanye pencalonan tidak mencukupi. Idealnya, "uang nganggur" itu cuma bernilai sekitar 10 % dari seluruh uang yang dimiliki. Uang saya sebutkan, bukan harta. Karena harus berupa uang tunai yang likuid. Karena bila tidak likuid atau harus dijual dulu, itu berarti tidak ada uang yang tersedia.

Jangan nekat untuk "nyalon" apabila dana tidak tersedia. Saya menyaksikan langsung beberapa orang di sekitar keluarga saya atau istri yang "hancur lebur" usai gagal memenangkan Pemilu. Dari yang tadinya berkecukupan, malah ada yang sampai jatuh miskin. Nestapanya, apabila usia sudah cukup lanjut. Bayangkan saja, di usia pensiun yang seharusnya sudah santai menimang cucu, ini malah masih harus bekerja keras lagi karena uangnya habis untuk "nyalon". Ada yang kehilangan rumah dan kini terpaksa harus hidup "nge-kost". Ada yang sampai jadi pedagang kaki lima, padahal sebelumnya adalah mantan Kepala Daerah. Ironis.

Langkah terakhir apabila memang depresi melanda adalah mencari bantuan dari ahli kejiwaan. Ini bisa Psikolog atau Dokter Spesialis Kejiwaan yang lazim disebut Psikiater. Mereka akan memberikan pendampingan dan pengobatan medis apabila diperlukan. Jangan mengobati diri sendiri dengan membeli obat sembarangan. Salah-salah malah bisa kehilangan nyawa.

Bila ingin mencari langkah spiritual, datanglah ke pemuka agama atau kepercayaan masing-masing. Hindari datang ke paranormal yang biasanya malah menganjurkan tindakan irrasional. Apalagi seringkali biayanya juga mahal.

Dan pastikan setelah Pemilu, kembali menata kehidupan ke depan. Menang atau kalah, life must goes on. Hidup akan terus berputar. Kembalilah ke aktivitas keseharian. Baik itu bersifat produktif, maupun rekreatif. Bila memang masih ada dana memadai, rekreasi bisa memulihkan kesehatan mental kembali. 

Percayalah, menang atau kalah dalam Pemilu, Tuhan tetap menyayangi hamba-Nya yang beriman. Berserahlah kepada-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun