Maka, alih-alih diibaratkan investasi, mengikuti kontestasi Pemilu bagi calon perorangan sebenarnya mirip seperti "pertaruhan". Di sini, calon "mempertaruhkan" uangnya untuk membuat dirinya terpilih sebagai anggota DPR atau DPD. Namun, ia tidak tahu apakah akan berhasil memenangkan kontestasi atau tidak. Mengeluarkan biaya banyak, belum tentu terpilih. Itu masih tergantung banyak variabel faktor lain, yang kerapkali banyak di antaranya tidak dikuasai oleh calon. Karena faktor probabilitasnya kecil, maka mirip dengan "pertaruhan". Dengan uang yang telah dikeluarkan adalah "taruhannya". Tentu selain reputasi dan nama baik yang bersangkutan.
Siap Menang, Siap Kalah
Banyak sekali calon -apalagi yang baru pertama kali "nyalon"- sudah membayangkan nikmatnya menjadi "anggota dewan". Karena selain gaji dan fasilitas yang akan didapatkan, juga kehormatan yang tiada tara. Status sosial seorang "anggota dewan" masih dianggap bak "dewa" di masyarakat. Apalagi memang ada fasilitas khusus yang disediakan negara. Misalnya kendaraan dinas bertanda khusus, perlakuan khusus di tempat-tempat publik, dan sebagainya.
Namun, mimpi selama berbulan-bulan kerapkali kandas cepat di hari pemungutan suara. Apalagi sekarang ada metode "hitung cepat" (quick count). Kondisi siap menang, tapi tidak siap kalah ini kerapkali melanda sejumlah calon. Apalagi, bila mereka telah mengeluarkan uang dalam jumlah besar.
Sebagai gambaran saja, untuk menjadi Caleg DPR tingkat 2, uang ratusan juta rupiah belum tentu cukup. Apalagi bila Dapilnya padat penduduk dan luas wilayahnya. Makin tinggi tingkatan legislatifnya, logikanya juga akan makin besar uang yang dibutuhkan Caleg untuk berkampanye.
Dengan sistem proporsional terbuka berdasarkan UU No. 7 / 2017 tentang Pemilu, calon terutama Caleg DPR semua tingkatan akan bersaing juga dengan Caleg dari Parpol yang sama. Nomor urut Caleg DPR di kertas suara tidak lagi menentukan karena pemilih bisa langsung mencoblos Caleg di nomor urut berapa pun. Kecuali ada pemilih yang mencoblos hanya tanda gambar Parpol, maka perhitungan suaranya akan jatuh ke Caleg dengan nomor urut 1.
Sementara bagi calon DPD, berkampanye ke masyarakat juga agak sulit. Karena konsentrasi masyarakat selain ke Pilpres, juga ke Parpol. Bila Caleg dari Parpol saja sulit diketahui pemilih, apalagi Calon DPD. Saya sendiri tidak mengetahui satu orang pun dari puluhan calon DPD di Dapil tempat saya tinggal.
Kesiapan para calon untuk menerima apa pun hasil Pemilu, sebaiknya disiapkan sejak awal. Mental siap kalah itu justru sudah harus ada saat mengikuti proses pendaftaran. Tidak hanya bagi calon bersangkutan, tapi juga dari orang terdekat terutama keluarga inti. Bila memungkinkan, malah libatkan semua anggota keluarga sebagai "tim sukses".
Demikian pula uang yang digunakan sebagai "taruhan" haruslah "uang nganggur". Bukan uang simpanan masa pensiun, tabungan hari tua, uang pendidikan anak, atau uang cadangan lainnya. Apalagi bila sampai menjual investasi seperti emas atau rumah. Bila sampai hal itu terjadi, berarti sebenarnya dana untuk kampanye pencalonan tidak mencukupi. Idealnya, "uang nganggur" itu cuma bernilai sekitar 10 % dari seluruh uang yang dimiliki. Uang saya sebutkan, bukan harta. Karena harus berupa uang tunai yang likuid. Karena bila tidak likuid atau harus dijual dulu, itu berarti tidak ada uang yang tersedia.
Jangan nekat untuk "nyalon" apabila dana tidak tersedia. Saya menyaksikan langsung beberapa orang di sekitar keluarga saya atau istri yang "hancur lebur" usai gagal memenangkan Pemilu. Dari yang tadinya berkecukupan, malah ada yang sampai jatuh miskin. Nestapanya, apabila usia sudah cukup lanjut. Bayangkan saja, di usia pensiun yang seharusnya sudah santai menimang cucu, ini malah masih harus bekerja keras lagi karena uangnya habis untuk "nyalon". Ada yang kehilangan rumah dan kini terpaksa harus hidup "nge-kost". Ada yang sampai jadi pedagang kaki lima, padahal sebelumnya adalah mantan Kepala Daerah. Ironis.
Langkah terakhir apabila memang depresi melanda adalah mencari bantuan dari ahli kejiwaan. Ini bisa Psikolog atau Dokter Spesialis Kejiwaan yang lazim disebut Psikiater. Mereka akan memberikan pendampingan dan pengobatan medis apabila diperlukan. Jangan mengobati diri sendiri dengan membeli obat sembarangan. Salah-salah malah bisa kehilangan nyawa.