Acara dibuka oleh Datuk Seri Shamshun Baharin Mohd Jamil selaku Ketua Panitia Penyelenggara WACC. Sedangkan sambutan pembukaan kunci diberikan oleh Tan Sri Dato' Sri Haji Azam bin Baki, yang merupakan Kepala Komisioner dari Malaysian Anti-Corruption Commisision (MACC)Â atau KPK-nya Malaysia.
Sejumlah pembicara mewakili lembaga anti korupsi dari beberapa negara tampil di acara tersebut. Mereka adalah Kyaw Win Thein (Myanmar), Mohammad Sukri Hj Ariffin (Brunei Darussalam), Huiri Kim (Korea Selatan), Dr. Laode M. Syarif (Indonesia), Assoc. Prof. Soh Kee Hean (Singapura), Mick Symons (Australia), Tn. Haji Jais bin Abdul Karim (Malaysia), ATTY. Eduardo V. Bringas, CDS (Filipina), Dr. Chanroeun Pa (Kamboja), Tsutomu Hiraishi (Jepang), dan Mouna Wasef (Indonesia).Â
Keistimewaan bagi tuan rumah, ada 2 pembicara selain dari KPK. Mereka mewakili LSM yang juga bergerak di bidang anti korupsi. Malaysia sebagai negara basis ISS selaku penyelenggara juga diwakili 2 orang dari 2 lembaga, satu pemerintah dan satu NGO.
Para pembicara atau panelis masing-masing memaparkan makalah presentasi yang dibawanya. Isinya tentu adalah pengalaman di negaranya. Tentunya akan terlalu banyak bila saya tuliskan semua di sini, meskipun saya memiliki seluruh file materi presentasi.Â
Salah satu yang paling menarik bagi saya adalah materi yang dibawakan oleh Hui Ri Kim. Wanita tersebut adalah Deputi Direktur dari Anti-Corruption and Civil Rights Commission, Republic of Korea atau KPK-nya Korea Selatan. Ia membawakan makalah berjudul "The Prevention System of the Conflict of Interest: The Significance of Introducing the System".
Hui Ri Kim menerangkan, ada tiga jenis hukuman untuk korupsi yang dilakukan pelayan publik. Pertama adalah bertujuan pendisiplinan, sanksinya berupa tindakan pendisiplinan. Kemudian administrasi, dimana di sini hanya diberlakukan denda saja. Dan ketiga adalah hukuman kriminal, berupa denda dan/atau penjara.Â
Denda tertingginya hingga 70 juta won atau setara dengan Rp 827.307.490,80 dengan kurs saat tulisan ini diturunkan dimana 1 won setara dengan Rp 11,82. Itu hanya dendanya, hukuman tentunya bisa termasuk mengembalikan uang yang telah dikorupsi.
Salah satu kelebihan Korea Selatan adalah mereka berani menahan pejabat tertinggi negara sekali pun. Itu adalah Presiden. Walau, biasanya penahanan dilakukan setelah masa jabatannya selesai. Ini masih belum berlaku di Indonesia.Â
Di sini, Presiden dan Wakil Presiden memiliki kekebalan hukum tersendiri atau impunitas, meskipun setelah usai masa jabatannya. Maaf saya tidak bahas lebih lanjut karena bukan pakar hukum.
Praktik Anti Korupsi di Indonesia