[caption id="attachment_391841" align="aligncenter" width="800" caption="Jenderal Pol. Sutarman saat dilantik Presiden SBY (Foto: kabartangsel.com)"][/caption]
Melalui account Twitter saya @BhayuMH, saya memantau pula "gosip politik" yang dilansir di Twitterland. Tentu saja tidak harus dipercaya. Kenapa? Karena sumbernya tidak jelas. Setelah tiga orang admin account @TrioMacan2000 ditangkap, memang ada sejumlah account baru yang mencoba mengambil alih peran itu. Tetapi mungkin belum terlalu berhasil. Entah kenapa, seringkali "gosip politik" di Twitter memang "nyerempet-nyerempet" dan terkadang seolah dibenarkan oleh pemberitaan media massa yang justru muncul kemudian.
Dalam kicauan tanggal 17 Januari 2015, account @PartaiSocmed -yang kemudian disimpan di http://chirpstory.com/li/247925- berkicau mengenai dosa Jenderal Sutarman. Menurutnya, Sutarman bukanlah sosok jenderal yang bersih. Menurutnya, kebanyakan dosa Sutarman adalah saat menjadi Kabareskim Polri dimana dia memiliki beberapa catatan negatif. Saya kutipkan catatan itu sebagai berikut:
- Dugaan korupsi Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) yg diduga melibatkan sejumlah pejabat tinggi Polri namun dipetieskan Bareskrim
- Kasus dana Gayus Tambunan yg diduga mengalir ke sejumlah jenderal juga tidak diusut Bareskrim. Kasus gayus pun nanggung penyelesaiannya
- Kasus uang Labora Sitorus yang diduga mengalir ke sejumlah perwira polisi namun juga tidak diusut Bareskrim
- Dugaan bahwa Sutarman punya bisnis perhotelan di Palembang dan Bandung
Walau begitu,menurut acccount @PartaiSocmed, bukan itu penyebab Sutarman diberhentikan sebagai Kapolri, melainkan:
- Dia adalah orangnya SBY. Sutarman adalah perwira polisi yg dikenal dekat dgn cikeas
- Alasan kedua adalah pertimbangan dari kompolnas untuk mempercepat transisi kepemimpinan polri
- Terjadi bentrok TNI-Polri. Dan pada bentrok di Batam Sutarman bukannya menentramkan suasana malah mengeluarkan statement yg membela Polri
- Kasus Obor Rakyat. Jokowi tahu kasus ini melibatkan orang2 dekat penguasa lama. Namun Sutarman tidak mengambil tindakan yg berarti
Menurut account @PartaiSocmed, mungkin kasus Obor rakyat yg paling berperan. Sebab Jokowi memang marah sekali dgn penghinaan2 dan fitnah tabloid ini.
Analisa Saya
Semua bagian di atas adalah kutipan dari chirpstory-nya account @PartaiSocmed. Kalau menurut saya, analisa di atas adalah dugaan. Sekali lagi, belum tentu benar. Tetapi harus dimengerti, jabatan Kapolri itu adalah jabatan politis, bukan murni karier. Presiden selaku Panglima Tertinggi TNI/Polri tentu ingin bawahan yang patuh dan loyal kepadanya.
Kasus yang menimpa Komjen Pol. Budi Gunawan dengan ditetapkannya sebagai tersangka oleh KPK adalah kasus hukum. Secara teoretis, bisa saja ia tetap dilantik sebagai Kapolri baru. Akan tetapi, akan runyam kalau kemudian kasus hukum berkembang dan ia ditetapkan bersalah oleh KPK sehingga harus ditahan. Maka, akan menjadi preseden buruk seorang Kapolri aktif ditangkap oleh institusi penegak hukum lain.
Saya membaca di harian Media Indonesia edisi hari ini, di halaman 1 di bawah judul "Badrodin Diminta Solidkan Lagi Polri", anggota Komisi III DPR-RI Trimedya Panjaitan mengatakan ada kegelisahan di kalangan internal Polri. Ia mengatakan itu karena menerima pesan singkat dari sejumlah perwira Polri yang menyoroti para petinggi Polri yang nyaris tidak bereaksi atas penetapan Komjen Pol. Budi Gunawan, calon Kapolri, sebagai tersangka.
Ia membandingkan peristiwa saat ini dengan kasus yang menerpa mantan Kepala Korlantas Polri Irjen Pol. Djoko Susilo. Ketika itu, seluruh Korps Bhayangkara kompak pasang badan. "Yang sekarang terjadi jauh lebih dahsyat ketimbang DS. Apalagi, Budi ini jenderal bintang tiga. Ini soal kehormatan Polri, diperlakukan gitu, kok, enggak bunyi."
Kalimat Trimedya Panjaitan itu mengherankan saya, benarkah perlakuan KPK itu menghina Polri sebagai institusi? Bukankah justru tindakan korupsi itu yang menghina diri sendiri?
Coba kita ambil ilustrasi sederhana, ada seorang pemuda pengangguran hendak menolong ibunya yang sakit keras. Lalu ia merampok rumah di kampung lain, bahkan membunuh penghuni rumah. Karena hasil rampokan banyak dan berkali-kali pula, ia berhasil menyelamatkan ibunya. Bukan itu saja, tetangga kampung pun diberikan 'jatah'. Bahkan di kampung itu ia membangun rumah ibadah dan memperbaiki jalan. Karena itu, sang pemuda perampok jadi "kebanggaan kampung". Dan saat ia hendak ditangkap, spontan satu kampung kompak pasang badan membelanya. Itukah yang sebenarnya terjadi dengan Polri sekarang? Merasa bahwa Komjen Pol. Budi Gunawan adalah "kebanggaan Polri" sehingga patut dibela?
Alangkah salah-kaprahnya apabila benar begitu. Berarti selama "orang kita" ia tidak pernah salah. Dan kalau ia salah, maka lihat lagi aturan sebelumnya. Jadi, selamanya "orang kita" tak pernah salah.
Kembali ke soal "berpolitik", sebenarnya tim sukses Jokowi-JK sangat tahu apa yang terjadi dalam Pilpres lalu adalah upaya pengembalian rezim Orde Baru ke kancah kekuasaan. Saya memang cuma "kecoa", tetapi bersama beberapa teman kami membuat upaya penangkalan terhadap "Obor Rakyat". Baik melalui situs/website, media sosial maupun media tercetak yang kami gandakan ratusan ribu eksemplar. Dan terus-terang kami heran, kenapa aparat keamanan terutama Polri tidak mengusut tuntas kasus "pencemaran nama baik" yang jelas sudah terang pelaku dan buktinya? Bukankah itu mengundang kecurigaan bahwa aparat berpihak? Kalau pun aparat netral, lantas siapa yang menekan aparat agar tidak mengambil tindakan?
Semua itu cuma jadi tanda tanya belaka. Yang entah apakah akan tersibak atau semata cuma jadi "dark number" di kancah perpolitikan kita.
Tapi yang jelas, pencopotan Kapolri sebelum masa jabatannya habis pastilah dilandasi alasan kuat dari Presiden. Alasan yang tidak perlu diumumkan kepada publik, tapi pasti memadai untuk membuat para petinggi Polri -meminjam istilah Trimedya Panjaitan- menjadi "nggak bunyi".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H