Dalam waktu dua belas jam yang tersisa, Al-Chatib memeperoleh tentangan dan persetujuan. Imam dari kota tempat tinggalnya menghubungi Imam Agung Jerusalem, yang selanjutnya melanjutkan persoalan ini sampai ke Universitas Al Azhar di Kairo. Jawaban yang diterimanya: boleh, hal ini tidak melanggar hukum Qur’an. Sebagai langkah terakhir Al-Chatib meminta persetujuan Zakaria Subeidi, pemimpin Barisan martir militan Aksa di kota itu, yang mengatakan:” Perjuangan kita bukan melawan rakyat Yahudi, tetapi melawan penjajah!”, katanya. “Penyumbangan organ ini juga merupakan bagian dari perjuangan kita. Ini berarti kita akan mengurangi jumlah lawan kita, karena mereka yang mempunyai organ arab di tubuhnya tidak akan membunuh orang arab lagi.”
Yang menerima organ-organ Ahmed:
Jantung: seorang gadis muslimah berusia 13 tahun.
Paru-paru: seorang teenager dari Jerusalem.
Hati (liver): dibagi dua dan masing-masing bagian ditransplantasikan ke tubuh dua orang Yahudi.
Ginjal: diberikan ke pada seorang anak Beduin berumur 5 tahun dan ke pada putri sebuah keluarga Yahudi ortodoks yang berusia 3 tahun.
Enam anak manusia yang akan berakhir hidupnya tanpa transplantasi dan sekarang memperoleh harapan lagi karena hadiah dari Ahmed dan keluarganya.
“Saya kehilangan Ahmed, tetapi saya kini memperoleh enam anak baru.” Enam anak baru yang masing-masing mengandung bagian dari Ahmed.
Dua dari penerima organ itu akhirnya meninggal.
Ibu dan ayah dari gadis Yahudi 3 tahun yang menerima ginjal Ahmed itu menyatakan, bahwa mereka sebetulnya lebih senang, jika ginjal itu ginjal Yahudi. Atas pernyataan itu mereka menerima makian dan kutukan dari masyarakat luas dan bahkan dari banyak orang Yahudi sendiri. Akhirnya mereka menyatakan terima-kasih mereka kepada keluarga Ahmed, tetapi tetap tidak mau berhubungan dengan mereka.
Ismail Al-Chatib, ayah Ahmed, mengusap batu nisan puteranya dengan lembut. Ia tahu, bahwa Tuhan tahu.
(Dikutip dari majalah mingguan Spiegel yang terbit di Jerman).