Paris, kota cinta. Menara Eiffel, Louvre, Sacre Coeur dan tujuan-tujuan mainstream lain sudah merupakan tempat-tempat yang wajib dikunjungi. Bahkan istana Versailles yang terletak agak jauh di barat daya kota cinta ini.
Tetapi, di Paris terdapat sebuah tempat yang unik, yang patut dikunjungi: Catacombe de Paris.
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Tempat ini terletak di bagian selatan Paris, tepatnya di wilayah ke 14 (14e arrondissement) di daerah Montparnasse. Dengan Metro kita bisa naik Metro nr. 4 ke arah Porte d'Orleans kalau dari utara atau dengan Metro nr. 6 dan turun di stasiun Denfert Rochereau. Harga karcis masuk €8 untuk orang dewasa dan €4 untuk usia 14-26 tahun, s/d usia 13 tahun dan para penyandang disable gratis. Jam buka dari jam 10 pagi s/d jam 5 sore. Senin tutup.
Dianjurkan membawa jaket, karena suhu di dalam Catacombe hanya 14°C dan kadang udara agak sejuk kalau menunggu di luar. Dianjurkan juga untuk datang paling lambat 30 menit sebelum jam buka, lebih bagus 1 jam sebelumnya, untuk menghindari antrean yang sudah terlalu panjang.
Apa sebetulnya Catacombes de Paris ini?
Untuk pembangunan kota Paris, tentu saja diperlukan batu-batuan. 2000 tahun lebih bahan bangunan tersebut diambil dari tanah didaerah yang sekarang menjadi bagian dari Paris. Mula-mula penambangannya di atas permukaan tanah dan sejak abad ke 12 di bawah tanah, sehingga di bawah tanah hampir di seluruh areal Paris sekarang ini terdapat jaringan lorong-lorong kira-kira 300 km panjangnya. Tambah lorong-lorong sampingan sepanjang kira-kira 100 km, yang dahulu dipergunakan untuk inspeksi.
Pada akhir abad ke 18 lokasi-lokasi pemakaman menjadi terlalu penuh karena 2 hal. Pertama ialah dengan meningkatnya jumlah penduduk Paris dan kedua karena epidemi dan malapetaka kelaparan yang pada waktu itu terjadi. Untuk menanggulangi permasalahan ini, pada permulaannya diputuskan untuk membongkar kuburan-kuburan yang sudah agak lama dan sering juga yang masih agak baru berada di pemakaman itu, tengkorak-tengkoraknya kemudian dikumpulkan di sebuah sudut pemakaman. Di antaranya terdapat juga jenazah-jenazah yang belum sepenuhnya menjadi tengkorak, sehingga menimbulkan bau yang sangat menyengat. Penduduk yang tinggal di sekitar makam tentu saja memprotes, sehingga diputuskan untuk memindahkan tengkorak-tengkorak tersebut ke salah satu tambang, yang pada waktu itu sudah tidak dipakai lagi.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/07/11/20150609-112101a-55a0ef54cf7a612c098b456a.jpg?v=400&t=o?t=o&v=770)
Perjalanan dimulai dengan menuruni tangga yang sempit sampai kira-kira sedalam 30 meter lebih, terasa hawa makin sejuk dan lembab. Lampu yang temaram menambah ketegangan sebelum sampai ke bagian tempat menyimpan tengkorak-tengkorak tersebut. Jalan setapak yang agak berbatu dan licin menambah rasa petualangan yang agak mencekam. Sayang suasana ini terganggu oleh banyaknya wisatawan-wisatawan mancanegara lain. Terdengan komentar-komentar dalam bahasan Inggris, Spanyol, China, Jepang dll. Pasangan-pasangan mulai mengacungkan tongsis-tongsis mereka dan beberapa kali lampu kilat terlihat memutus ketemaraman, biarpun sebetulnya ini dilarang. Di setiap kelokan seolah sudah menanti wajah-wajah jaman dahulu yang memelas, karena tidak mempunyai tempat peristirahatan terakhir yang betul-betul tenang. Memelas dan penuh kejengkelan.
Akhirnya, setelah sekitar 10 menit menyusuri lorong-lorong, tampaklah tumpukan pertama tengkorak-tengkorak tersebut. Kadang seperti diserakkan, kadand diatur membentuk lambang cinta.
Beberapa rongga mata yang kosong seolah mengikuti langkah-langkah pengunjung, gigi-gigi yang tampak seolah meringis mentertawakan nekrophilia dari sebagian pengunjung.Â
Beberapa lorong ditutup terali besi dan tidak boleh dilalui dan hanya bisa dilihat dari luar
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/07/11/20150609-111003-55a1144032977367048b4567.jpg?v=400&t=o?t=o&v=770)
Korban epidemi? Pembunuhan? Atau mungkinkah ada di antara mereka korban hukuman pancung dengan Guillotine pada waktu revolusi Perancis? Bersamaan dengan ratu Marie Antoinette?
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/07/11/20150609-110758-1-1-55a115f6cf7a61ee0b8b4567.jpg?v=400&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/07/11/20150609-111956-55a116f3717a614b0a8b4567.jpg?v=400&t=o?t=o&v=770)
Terasa seolah banyak jiwa-jiwa yang tidak tenang berseliweran, bergentayangan di lorong-lorong yang gelap itu. Mencari ketenangan, yang mungkin tidak akan pernah mereka jumpai.
Setelah kira-kira 30 menit, lorong mulai agak melebar dan lampu mulai terang lagi.Â
Sampai akhirnya tangga keluar tercapai. Sebelumnya kaki harus bekerja lagi dengan giat, melangkahi beberapa puluh anak-tangga yang sempit, sampai akhirnya sinar matahari menyambut pengunjung.
Â
Â