Bjorn bukan seorang lelaki yang cengeng atau pengeluh. Membaca dirinya bukanlah hal yang sulit, karena sikap dan gerak-geriknya mudah diraba.Â
Jika Ia tak suka, siapapun akan mampu menebaknya. Ketika Ia gembira, semut di ujung dunia juga tetap akan bisa merasa gelombang bahagianya. Intinya, Bjorn adalah seorang pria permukaan, tak perlu repot menduga-duga ada rahasia.Â
Penampilannya pun biasa saja. Tak juga buruk hingga angsa pun terbang saat melihat wajahnya. Namun, tentu juga tak seindah Dewa Hermes dengan segala ketampanannya. Bjorn tak pernah merisaukan karunia yang sedari dulu Ia punya, karena Ia merasa bukan itu nilai yang harus dijaganya.
Cinta? itu satu-satunya kerumitan yang tak pernah selesai bergelut di pikirannya. Hanya dipikirannya, karena baginya, cinta dan segerombolan rumit yang dibawanya, tak layak masuk ke ruang indah yang disediakan oleh sang pencipta.Â
"Persetan soal cinta, aku tak segan-segan melempar tai kuda ke muka orang yang menciptakan kata cinta dan mengagung-agungkan kekuatan cintanya!" ujarnya memancarkan rasa tak suka.
Bjorn merasa tahu segalanya soal cinta, karena Ia sebenarnya telah melewati masanya. Sungguh naif tentunya, tapi baginya, pengalaman menjalani cinta yang menye-menye dulu, seketika bisa terhapus dari memorinya ketika Ia sudah menyadari bahwa cinta tak lebih dari seonggok tai kuda.Â
Bagaimana tidak, dalam sudut pandangnya, Ia yang dulunya kokoh mampu melangkah dengan kakinya, menjadi tergopoh-gopoh karena cinta.
Ketika itu, di sebuah masa, Ia memandang langit yang sama, langit yang sudah puluhan tahun Ia pandangi biasa saja.Â
Namun, seketika ada sosok yang berbeda, yang mewarnai langit di depan pandangnya, tiba-tiba hal biasa menjadi mempesona. Namun, ketika sosok itu tak menyambut tangannya, Bjorn tak mengerti ini pesan tentang apa.
"Hei pembawa cinta, ini tentang apa?" teriaknya.