Representativeness, yaitu memandang suatu kondisi dengan menyamakannya dengan kondisi yang pernah terjadi sebelumnya. Biasanya ini terjadi dengan keyakinan bahwa dulu saat pandemi SARS dan MERS tidak terjadi apa-apa dan dapat melewatinya. Kemudian, affect heuristic, membuat manusia tergoda untuk mencari kemudahan dan menghindari masalah, misal dengan tidak mencari informasi karena beranggapan dengan tidak mendengarkan informasi tentang COVID-19 dapat menyelesaikan masalah.
Lalu, pada faktor cognitive bias, terdapat beberapa faktor yang relevan. Misalnya, Illusion of Knowledge, yaitu ilusi yang berasal dari pengetahuan minimal yang diekstrapolasi secara internal sehingga membuat seseorang yakin bahwa pengetahuan yang dimilikinya telah cukup atau bahkan lengkap tentang COVID-19.Â
Faktor itu diperkuat dengan Intelligence Trap, yang merupakan kemampuan untuk membangun mental dan alasan verbal yang menyebabkan pemikiran bahwa kesimpulan yang diambil merupakan hal yang pasti benar. Merasa mampu secara pengetahuan dan dalam membuat kesimpulan.
Lalu, optimism bias, menyebabkan seseorang percaya bahwa mereka berada pada risiko yang lebih rendah untuk mengalami peristiwa negatif dibandingkan dengan orang lain. Dalam hal ini, terkonfirmasi dalam riset yang dilakukan oleh Lars Gerhold dalam jurnalnya berjudul "COVID-19: Risk Perception and Coping Strategies" tahun 2020, yang menjelaskan bahwa berdasarkan survey yang dilakukan, kebanyakan responden merasa bahwa kemungkinan mereka terinfeksi COVID-19 lebih kecil dibandingkan orang lain.Â
Terakhir, fatalism bias, orang seperti ini akan selalu merasa optimis bahwa skenario terbaik yang akan terjadi, dalam konteks COVID-19, argumen yang selalu diyakini adalah jumlah yang sembuh di dunia lebih banyak dibandingkan yang meninggal dunia. Jika tidak disikapi dengan kehati-hatian, faktor-faktor tersebut akan menggiring manusia kepada sikap dan perilaku yang salah dan cenderung mengurangi kewaspadaan dalam melihat COVID-19.
Urgensi Pemahaman
Mengapa mempelajari ini penting? Jawabannya sederhana, keselamatan kita bergantung tidak hanya pada diri kita sendiri, tetapi juga orang lain. Sebaik apapun kita memahami dan memitigasi risiko terinfeksi COVID-19, tetapi orang-orang di sekitar kita menilai COVID-19 bukan merupakan risiko dan tetap menjalani hari tanpa kewaspadaan, maka ancaman bagi kita masih sangat nyata.Â
Risiko tentang COVID-19 bukanlah jenis risiko yang bisa kita sikapi dengan "ya itu kan risiko mereka sendiri dan mereka yang akan menanggung sendiri akibatnya". Dengan memahami berbagai faktor di atas, kita bisa mengidentifikasi dan mulai bergerak. Bisa dimulai dengan mengidentifikasi apakah orang-orang di sekitar kita sudah memperoleh dan memahami informasi secara memadai.Â
Lalu jika sudah, analisis lagi jangan-jangan yang bermasalah adalah faktor subconscious-nya. Identifikasi faktor-faktor yang dominan menyebabkan orang-orang tersebut bersikap. Dari situ, kita bisa mulai berperan dalam membawa mereka ke pemahaman yang seharusnya, dan bersikap dengan sepatutnya.Â
Meminjam istilah yang belakangan populer di dunia manajemen risiko, penanganan penyebaran COVID-19 ini tidak dapat dilakukan secara silo. Harus dilaksanakan secara komprehensif, bahkan sampai ke level individu, harus bersama. Namun yang selalu harus diingat, dalam interaksi tersebut tetap memerhatikan protokol kesehatan, jaga jarak aman. Salam Sadar Risiko, Salam Sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H