Corona Virus Disease 2019 atau COVID-19 merupakan virus yang sangat berbahaya. Melihat kecepatannya yang dilabeli "skyrocketed" ke seluruh penjuru dunia, COVID-19 sudah dilabeli sebagai pandemi. Bahayanya? Data jumlah pasien yang dinyatakan meninggal dunia sudah menjadi jawabannya. Nah, melihat fakta-fakta itu, dalam konsep risiko tentu sudah menggambarkan kemungkinan keterjadian dan dampaknya, terinfeksi COVID-19 sebagai risikonya. Bagaimana respon masyarakat atas risiko ini, apakah semuanya akan melihat risiko ini dengan kadar yang sama?.
Pembaca mungkin mengalaminya sendiri, jika kita mengamati orang-orang di sekitar kita, perilaku mereka dalam melihat dan menanggapi risiko COVID-19 akan terpolarisasi ke dalam dua kategori yang berbeda. Akan ada orang-orang yang merasa bahwa COVID-19 adalah risiko yang sangat mengerikan bagi mereka, dan akan ada orang-orang yang biasa saja bahkan tidak peduli ancaman COVID-19. Tentu akan timbul pertanyaan, lha kok bisa beda? Jawabannya adalah dalam manajemen risiko, ada faktor yang sangat memengaruhi perilaku masing-masing individu, yaitu persepsi risiko atau risk perception.
Faktor-Faktor Memengaruhi Persepsi Risiko
Virus yang terdeteksi di the Laboratory of Virology, Chinese Center for Disease Control and Prevention pada 7 Januari 2020 sebenarnya tidak kurang dari segi pemberitaan.Â
Bahkan, sejak virus itu masih menyebar di China pun, pemberitaan sudah disampaikan secara gencar, jika tidak ingin dibilang terlalu masif dan intens. Jadi, perbedaan persepsi ini rasanya tidak terlalu banyak dipengaruhi oleh faktor kekurangan informasi.Â
Hillson dan Murray-Webster dalam bukunya berjudul "Understanding and Managing Risk Attitude" menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor yang memengaruhi persepsi dan sikap manusia terhadap risiko yaitu faktor conscious, subconscious, dan affective.
Faktor pertama, conscious adalah faktor yang didasari oleh karakteristik-karakteristik yang terlihat atau dapat diukur saat keputusan atau penilaian dilakukan. Ada beberapa faktor, tapi kita akan membahas beberapa faktor yang lebih relevan dengan risiko terinfeksi COVID-19. Misalnya, severity of impact, faktor ini dipengaruhi oleh penilaian manusia terkait seberapa besar dampak dari COVID-19.Â
Kemudian, familiarity merupakan faktor yang didasari oleh pengalaman manusia, apakah pernah menghadapi COVID-19 tersebut atau belum. Lalu, manageability didasari pada pengetahuan manusia, apakah memahami langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengelola risiko COVID-19 tersebut atau tidak.Â
Tiga faktor tersebut, sangat erat hubungannya dengan asupan informasi yang disampaikan kepada masyarakat. Dengan pemberitaan yang ada saat ini, baik yang disajikan melalui media televisi maupun media cetak, online, dan sosial, rasanya sudah bisa menjawab tiga faktor di atas.
Bagaimana dengan faktor subconscious? Subconscious merupakan faktor yang berasal dari alam bawah sadar manusia yang tidak dapat terlihat dan sulit diukur, terdiri dari dua faktor utama yaitu heuristics dan cognitive bias. Nah, terkait faktor heuristics, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi.Â
Faktor intuition yaitu percaya pada perasaan sendiri bahwa yang dilakukan telah benar tanpa memerlukan penambahan data atau informasi lebih lanjut terkait COVID-19.Â
Representativeness, yaitu memandang suatu kondisi dengan menyamakannya dengan kondisi yang pernah terjadi sebelumnya. Biasanya ini terjadi dengan keyakinan bahwa dulu saat pandemi SARS dan MERS tidak terjadi apa-apa dan dapat melewatinya. Kemudian, affect heuristic, membuat manusia tergoda untuk mencari kemudahan dan menghindari masalah, misal dengan tidak mencari informasi karena beranggapan dengan tidak mendengarkan informasi tentang COVID-19 dapat menyelesaikan masalah.
Lalu, pada faktor cognitive bias, terdapat beberapa faktor yang relevan. Misalnya, Illusion of Knowledge, yaitu ilusi yang berasal dari pengetahuan minimal yang diekstrapolasi secara internal sehingga membuat seseorang yakin bahwa pengetahuan yang dimilikinya telah cukup atau bahkan lengkap tentang COVID-19.Â
Faktor itu diperkuat dengan Intelligence Trap, yang merupakan kemampuan untuk membangun mental dan alasan verbal yang menyebabkan pemikiran bahwa kesimpulan yang diambil merupakan hal yang pasti benar. Merasa mampu secara pengetahuan dan dalam membuat kesimpulan.
Lalu, optimism bias, menyebabkan seseorang percaya bahwa mereka berada pada risiko yang lebih rendah untuk mengalami peristiwa negatif dibandingkan dengan orang lain. Dalam hal ini, terkonfirmasi dalam riset yang dilakukan oleh Lars Gerhold dalam jurnalnya berjudul "COVID-19: Risk Perception and Coping Strategies" tahun 2020, yang menjelaskan bahwa berdasarkan survey yang dilakukan, kebanyakan responden merasa bahwa kemungkinan mereka terinfeksi COVID-19 lebih kecil dibandingkan orang lain.Â
Terakhir, fatalism bias, orang seperti ini akan selalu merasa optimis bahwa skenario terbaik yang akan terjadi, dalam konteks COVID-19, argumen yang selalu diyakini adalah jumlah yang sembuh di dunia lebih banyak dibandingkan yang meninggal dunia. Jika tidak disikapi dengan kehati-hatian, faktor-faktor tersebut akan menggiring manusia kepada sikap dan perilaku yang salah dan cenderung mengurangi kewaspadaan dalam melihat COVID-19.
Urgensi Pemahaman
Mengapa mempelajari ini penting? Jawabannya sederhana, keselamatan kita bergantung tidak hanya pada diri kita sendiri, tetapi juga orang lain. Sebaik apapun kita memahami dan memitigasi risiko terinfeksi COVID-19, tetapi orang-orang di sekitar kita menilai COVID-19 bukan merupakan risiko dan tetap menjalani hari tanpa kewaspadaan, maka ancaman bagi kita masih sangat nyata.Â
Risiko tentang COVID-19 bukanlah jenis risiko yang bisa kita sikapi dengan "ya itu kan risiko mereka sendiri dan mereka yang akan menanggung sendiri akibatnya". Dengan memahami berbagai faktor di atas, kita bisa mengidentifikasi dan mulai bergerak. Bisa dimulai dengan mengidentifikasi apakah orang-orang di sekitar kita sudah memperoleh dan memahami informasi secara memadai.Â
Lalu jika sudah, analisis lagi jangan-jangan yang bermasalah adalah faktor subconscious-nya. Identifikasi faktor-faktor yang dominan menyebabkan orang-orang tersebut bersikap. Dari situ, kita bisa mulai berperan dalam membawa mereka ke pemahaman yang seharusnya, dan bersikap dengan sepatutnya.Â
Meminjam istilah yang belakangan populer di dunia manajemen risiko, penanganan penyebaran COVID-19 ini tidak dapat dilakukan secara silo. Harus dilaksanakan secara komprehensif, bahkan sampai ke level individu, harus bersama. Namun yang selalu harus diingat, dalam interaksi tersebut tetap memerhatikan protokol kesehatan, jaga jarak aman. Salam Sadar Risiko, Salam Sehat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI