Mohon tunggu...
Betrika Oktaresa
Betrika Oktaresa Mohon Tunggu... Administrasi - Full time husband & father. Part time auditor & editor. Half time gamer & football player

Full time husband & father. Part time auditor & editor. Half time gamer & football player

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Cintaku Indah di Bagansiapiapi

30 Juni 2018   11:40 Diperbarui: 1 Juli 2018   15:06 2287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedikit banyak aku tidak setuju dengan makna jatuh cinta. Terkesan tanpa sengaja, ceroboh dan tanpa pertimbangan. Jatuh memang tidak diinginkan. Tapi siapa orang di bawah kolong langit ini yang tidak ingin jatuh cinta? Tapi mayoritas manusia memaknai jatuh cinta secara harfiah. Mereka benar-benar jatuh tidak sengaja karena cinta. Tak heran perasaan itu muncul dan hilang secara tiba-tiba.

Diriku sendiri memaknai jatuh cinta lebih dari sekedar harfiahnya. Cinta perlu dibangun. Kita tidak bisa jatuh kepada sembarang orang di pelukan cintanya. Mencintai berarti harus membuat keputusan. 

Harus mempertimbangkan segala urusan, bukan urusan jantung atau yang di bawah lambung. Mencintai seseorang berarti harus mencintai dirinya, kekurangan dan kelebihannya serta keluarganya. Dan bukan hal yang egois bila aku menuntut perlakuan yang sama.

Kisah cintaku nan indah kepada dia yang menyandang nama indah berawal dari pengabdianku kepada negara yang mengantarkanku pada 'petualangan' hidup di sebuah kabupaten yang terletak di pesisir timur Pulau Sumatera. 

Beberapa bulan setelah studiku di sebuah sekolah tinggi milik pemerintah dapat kuselesaikan, aku ditempatkan di kabupaten ini, Kabupaten Rokan Hilir yang beribukota di Bagansiapiapi, di Provinsi Riau. 

Bagi yang lahir sebelum 1990-an, hampir pasti pernah mendengar nama Bagansiapiapi, paling tidak di buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Kota Bagansiapiapi dulunya adalah daerah penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Kota Bergen di Norwegia. Berton-ton ikan, mulai dari ikan basah segar, ikan atau udang kering, ikan asin atau terasi, diekspor dari kota ini ke berbagai tempat di seluruh penjuru dunia.

Saat masa kejayaannya dulu, industri perikanan telah menjadikan Bagansiapiapi sebuah kota modern. Pada tahun 1934, Bagansiapiapi sudah memiliki fasilitas pengolahan air minum, pembangkit tenaga listrik dan unit pemadam kebakaran. Karena kemajuan yang dicapai kota ini dibandingkan daerah-daerah lain di Provinsi Riau, Bagansiapiapi disebut Ville Lumiere (Kota Cahaya). 

Namun fakta sejarah ini menjadi sangat bertolak belakang ketika aku sudah menginjakkan kaki di kota ini. sebelum aku datang ke kota ini, aku membayangkan bahwa pastilah saat ini Bagansiapiapi sudah berkembang pesat menjadi kota yang maju, dengan asumsi bahwa pada tahun 1934 saja teknologinya sudah semaju itu. Namun ternyata faktor menurunnya hasil ikan yang sangat drastis berimbas besar pada lambatnya perkembangan kota ini setelah masa kejayaan itu.

Satu hal lagi yang sangat menarik perhatianku, yang sama sekali tidak pernah aku bayangkan sebelumnya adalah di kota ini, Bagansiapiapi, memiliki komunitas keturunan Tionghoa yang sangat besar. 

Ketika aku menginjakkan kaki pertama kali di kota ini, aku seakan memasuki daerah di Negeri China. Mayoritas rumah penduduk masih terbuat dari papan, dan di ruang depan rumahnya terdapat altar untuk beribadah, tidak lupa dihiasi dengan lampion berwarna merah menempel di rumah-rumah tersebut. 

Di kota ini juga banyak dibangun kelenteng besar, yang semakin melengkapi suasana komunitas Tionghoa yang sangat kental.

"Dari mana Ga? pergi enggak ngajak-ngajak!" tanya Nugraha, ketika itu aku baru saja pulang dari jalan-jalan soreku, melihat hamparan laut di Pelabuhan Bagan.

"Eh, Nug, aku dari pelabuhan, tadi waktu mau berangkat aja Lo masih molor kok, gimana gue ngajaknya!" jawabku.

"Iya juga sih ya, abis hari libur kan enaknya buat tidur, kapan lagi bisa santai-santai, kerjaan kita di kantor kan lagi padat-padatnya, apalagi tadi pulang dari gereja ngantuk banget," kilah Nug.

"Kalo itu gue juga setuju, emang padet banget kerjaan kita ya, besok aja kita harus ke dinas-dinas minta data terbaru," kataku.

"Oh iya ya, hampir aja lupa, besok kan gue ke Dinas Pendidikan, Lo ke Dinas Pariwisata ya kalo enggak salah?" kata Nug.

"Iya, semoga orang-orang dinasnya gampang dimintain data ya, amin!" kataku sambil berlalu menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu bersiap melaksanakan sholat maghrib.

"Amiiiin! Gue nelpon tunangan gue dulu ya, mengobati kerinduan, terpisah pulau," teriak Nug dari kamarnya, berbahasa sok romantis.

Nugraha adalah teman se-perantauanku di tempat ini, kami berasal dari Jawa, aku dari Sleman, dan Nug dari Magelang. Bulan lalu, Nug baru saja melangsungkan acara pertunangannya dengan pacar yang sudah ia pacari selama lebih dari lima tahun. 

Hal ini kadang membuatku iri, di saat Nug dengan romantisnya menelpon sang kekasih, aku masih saja berkutat di depan laptop, saat Nug mencoba ber-skype-an dengan sinyal seadanya. Aku masih saja di depan laptop kadang menyelesaikan tugas, kadang hanya bermain game, sekedar menghabiskan waktu. 

Aku merasakan kekosongan di dalam hatiku, belum ada seorang pun yang mengisi kekosongan itu, hingga pada suatu momen aku dipertemukan dengan seorang wanita yang sangat istimewa.

Pertemuan yang tak terduga dengan wanita istimewa itu adalah di sebuah kantor yang kukunjungi dalam rangka urusan pekerjaanku, di daerah Batu Enam. Kawasan ini disebut Batu Enam karena "batu" merupakan satuan ukuran jarak yang lazim dipergunakan oleh orang Melayu, di mana ukuran sebenarnya setara dengan ukuran mil/pal (1,5 - 1,6 km). Khusus dalam konteks Kawasan Batu Enam Bagansiapiapi ini, satuan batu di sini ukurannya kurang lebih setara 1 kilometer. 

Jadi Kawasan Batu Enam Bagansiapiapi merupakan suatu kawasan yang terletak kurang lebih 6 kilometer dari pusat Kota Bagansiapiapi. Satu ciri khas yang menjadi simbol gedung-gedung perkantoran di kawasan ini adalah semua gedung dihiasi dengan atap berbentuk kubah selayaknya sebuah masjid. Karena hal ini jugalah daerah Kabupaten Rokan Hilir sering juga disebut dengan Kabupaten Seribu Kubah.

"Silahkan Bapak lurus terus, ruangannya di sebelah kiri, Pak!" kata seorang satpam yang menunjukkanku ruangan yang kucari waktu itu.

"Terima kasih, Pak!" Sahutku.

Aku melangkah ke ruangan yang ditunjukkan oleh satpam barusan, dan di sana hanya ada satu orang pegawai, seorang wanita, yang usianya aku prediksi tidak jauh dariku. Wanita ini cukup menyita perhatianku karena selain memang secara penampilan sangat menarik, tapi lebih dari itu, dia adalah seorang chinese. 

Tanpa bermaksud berpikiran diskriminatif, tapi sejauh pengetahuanku, tidak banyak masyarakat etnis Tionghoa yang memilih berprofesi sebagai PNS.

"Permisi, saya Margana, ibu Mayleen ada? kemarin sudah berkoordinasi dengan Pak Kepala Dinas, katanya saya disuruh langsung saja meminta datanya ke Ibu Mayleen." kataku menjelaskan maksud kedatangan.

"Oh iya, kebetulan saya Mayleen, kemarin juga sudah diberitahu Pak Kepala Dinas, silahkan duduk, Pak!" kata wanita cantik yang mengenakan kalung berliontin salib mempersilakanku duduk.

"Terima kasih," jawabku.

Data-data yang kuminta memang cukup banyak, sehingga pada awalnya aku sudah memperkirakan akan butuh waktu lama bagiku untuk mendapatkan data-data tersebut. Namun perkiraanku ternyata meleset, semua data yang kuminta sudah ada hari itu juga. Aku tak bisa menutupi kekagumanku pada sosok wanita yang ada di depanku itu. Ketertarikanku kepada Mayleen membuatku memberanikan diri untuk meminta nomor HP-nya.

"Maaf sebelumnya, boleh saya minta nomer HP Ibu? Siapa tahu ada data yang saya butuhkan lagi." kilahku untuk menutupi niat yang sebenarnya.

"Oh, boleh aja!" kata Mayleen sambil menyebutkan rangkaian nomer HP-nya.

"Oh iya, kayaknya panggil nama aja deh, jangan Ibu, kelihatan kayak udah tua banget, panggil aku May aja." Lanjutnya.

"Iya juga ya, dari tadi juga agak aneh nyebutnya, kalo aku panggil aja Arga." Jawabku mencairkan suasana.

Mayleen adalah lulusan Fakultas Ilmu Budaya di salah satu universitas terbaik di Indonesia yang bertempat di Depok. Ia bercerita bahwa ia mungkin sedikit orang yang berhasil berkuliah sejauh itu di luar Riau bahkan di luar Pulau Sumatera dan masuk di universitas bergengsi. 

Ia melanjutkan, saat lulus, banyak tawaran pekerjaan di Jakarta, namun ia merasa adanya panggilan hati untuk mengabdi di tanah kelahirannya, di kabupaten ini. Obrolan kami berlanjut ke hal-hal yang menarik di kabupaten ini, May banyak menceritakan tentang betapa solidnya masyarakat Kabupaten Rokan Hilir ini dalam bermasyarakat meskipun berada di tengah keragaman, baik keragaman agama, maupun suku. Tidak ada pengkotak-kotakan disini, semua membaur menjadi satu.

"Ada juga acara Bakar Tongkang lho yang jadi ikon kabupaten ini!" kata May bersemangat.

"Bakar Tongkang? Acaranya kayak gimana itu?" tanyaku penasaran.

May pun menjelaskan bahwa acara Bakar Tongkang telah menjadi ikon dan andalan pariwisata Kabupaten Rokan Hilir dan Provinsi Riau yang mampu menyedot puluhan ribuan wisatawan dalam dan luar negeri di setiap tahunnya. 

Ritual Bakar Tongkang bertujuan untuk mengenang para leluhur orang Tionghoa dalam menemukan Bagansiapiapi dan sebagai wujud syukur kepada Dewa Kie Ong Ya. Ritual Bakar Tongkang diadakan setiap tanggal 16 bulan kelima penanggalan Lunar (Imlek) setiap tahunnya, yang dalam bahasa Hokkian disebut "Go Cap Lak".

"Tahun ini, kalo enggak salah tanggal 5 Juli besok, seminggu lagi."

"Wah, sebentar lagi ya, pengen liat, tapi aku kan belum lama di sini, belum hafal jalan-jalannya." Kataku.

"Oh gitu, sama aku aja nanti, kan kita bisa ngeliat sama-sama."

"Oke deh kalo enggak ngerepotin kamu, makasih ya, Ibu May!" godaku, dan kami pun tertawa.

Setelah pertemuan itu, kami semakin dekat, kami selalu berkomunikasi, baik melalui telepon ataupun hanya saling mengirimkan pesan singkat. Kami memang belum sempat bertemu lagi, selain karena pekerjaan kantor yang sedang padat-padatnya, aku juga belum menemukan alasan yang tidak terlalu mencolok untuk mengajaknya jalan-jalan. 

Namun, takdir seakan membantuku mendekati May. Ketika itu aku sedang bersantai di teras rumah kos, suara nada dering HP-ku berbunyi, dan betapa kagetnya ternyata May yang menghubungiku.

"Halo, maaf ya Ga kalo aku ganggu, cuma mau ngasih tau, malem nanti ada acara panggung hiburan gitu, mau nonton?" tanya May.

"Oh, boleh banget, kebetulan aku memang lagi enggak ada kerjaan, kita ketemu dimana?" kataku.

"Jemput aja aku di rumah ya, Ga."

Mencari rumah Mayleen memang tidak terlalu sulit, selain karena berada di kawasan Kota Bagansiapiapi, orang-orang di sekitar kawasan itu hampir semua mengenal May. Bukan hal yang aneh memang, siapa yang tidak kenal dengan wanita cantik, cerdas, dan ramah seperti itu. Ketika aku sampai di rumahnya, orang tua May tak kusangka menyambutku dengan sangat baik.

Aku ingat betul, malam itu adalah malam yang sangat indah bagiku, aku bisa sangat dekat dengan May, wanita belakangan ini menyita perhatianku, mengisi relung hatiku yang sudah lama tak berpenghuni. Panggung hiburan menyambut event Bakar Tongkang itu memberikan kesan yang sangat dalam bagiku. 

Suara merdu dan iringan band yang didatangkan langsung dari Taiwan sangat kunikmati, meskipun tak satu kata pun yang kumengerti artinya karena menggunakan Bahasa Mandarin. Semua ini karena ada Mayleen yang di sampingku, di tengah kerumunan masyarakat Bagansiapiapi yang juga larut dalam irama musik. May menggengam tanganku, aku pun menggengamnya lebih erat, tidak ada kata di antara kami, tapi genggaman itulah yang seakan memberikan arti, lebih dari sekedar kata-kata.

Hari-hari setelah malam itu, aku dan May semakin dekat. Ketika event Bakar Tongkang pun, May mengajakku menyaksikannya bersama. May membawaku bergabung di barisan komunitas Tionghoa, yang bisa dibilang tuan rumah event itu. Kulihat di sekitarku, hanya akulah masyarakat non Tionghoa di dalam barisan. Melihatku yang sedang kebingungan, May membisikkan ke telingaku,"Enggak apa-apa, Ga". 

Bisikan May itu membuatku lebih tenang, dan bisa lebih menikmati event yang sedang berlangsung di depanku. Arak-arakan kapal replika berukuran 8x2 meter yang ditempeli ribuan kertas kecil berwarna kuning bertuliskan mantera di sekelilingnya membuat riuh masyarakat yang menyaksikan. 

Anak-anak memukul gendang khas cina dan ada pula yang membawa bendera. Acara puncaknya adalah ketika kapal yang ditempeli kertas kuning bermantra yang ternyata adalah kertas berisi doa mulai dibakar.

Persis seperti yang diceritakan oleh May, event itu memang menyedot animo besar dari masyarakat, tidak hanya masyarakat Tionghoa sendiri, tetapi juga masyarakat lainnya, bahkan tidak sedikit bule-bule yang dengan penuh antusias mengikuti rangkaian acaranya dari awal.

Sejak saat itu kami jadi lebih sering bertemu, baik saat istirahat makan siang, maupun di beberapa kesempatan lainnya. Saat kami bertemu, sering kali terjadi momen yang mendebarkan, kami saling berpandangan, mata kami bertemu, aku merasa mata kami saling berbicara penuh makna, lagi-lagi tanpa diiringi kata, sama seperti genggaman tangan malam itu, yang tak pernah ada di pembicaraan kami di hari-hari setelahnya.

May sangat perhatian kepadaku, Ia selalu mau mendengarkan semua keluh kesahku, Ia adalah motivasiku untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari. Aku tak bisa jauh darinya, begitu juga dengan May, kami seakan harus selalu terkoneksi. Tak dapat dipungkiri, inilah yang dinamakan cinta, aku mencintai May, dan aku sangat yakin May juga menyimpan rasa yang sama kepadaku. 

Mengapa aku mengatakan kami menyimpan rasa cinta? Karena memang seperti itulah kenyataannya. Rasa cinta yang ada di antara kami berdua seakan sulit sekali untuk bisa kami ungkapkan. 

Rasa cinta itu terbentur sebuah tembok yang kuyakini terlalu kokoh untuk dapat dilewati, sehingga rasa cinta kami masing-masing tetap berada di sisi yang berbeda, terpisahkan oleh tembok tersebut, tidak dapat menyatu.

Kegalauan di hatiku tentang keadaan ini, di tengah romantisme kedekatanku dengan May, ternyata juga dirasakan oleh Nugraha, namun dengan kadar kegalauan yang lebih berat lagi. Pertunangannya beberapa bulan lalu, tiba-tiba kandas di tengah jalan. Tanpa alasan yang jelas tunangan yang telah dipacarinya lebih dari lima tahun membatalkan ikatan di antara mereka. 

Terlihat jelas bagaimana terpukulnya Nug waktu itu, aku sebagai saksinya, sebelum kejadian itu, setiap hari Nug membuka internet, melihat-lihat segala macam hal untuk persiapan pernikahan mereka. Dua bulan, itulah jarak waktu antara hari pertunangan dengan acara puncaknya, pernikahan, dan tepat dua minggu sebelum hari penting itu, kabar menggemparkan itu harus diterima oleh Nug.

"Sabar ya, Nug, semua ini pasti berat buat Lo, tapi Lo harus kuat ya." hiburku.

"Aku enggak tahu salahku apa, Ga! Aku enggak habis pikir gimana bisa dia segampang itu ngebatalin semuanya, hubungan yang bukan sehari-dua hari kami bangun, LIMA TAHUN GA!" suara Nug terasa sangat emosional.

Nug tampak tertekan dan depresi sejak pembatalan sepihak pernikahannya. Ditambah dengan urusan kerjanya dengan orang Dinas Pendidikan yang ditudingnya tidak kooperatif dalam memberikan data yang ia minta.

"Si mbak itu, eh si uni, Ga, ngeselin banget. Enggak ada simpati sama sekali sama gue, enggak keliatan antusias bantu gue." Keluh Nugraha saat kutanya tentang orang Dinas Pendidikan itu.

Aku tak bisa membayangkan betapa sakitnya kejadian yang menimpa Nug, kebahagiaan yang sangat dekat, di depan matanya, tiba-tiba runtuh begitu saja, tanpa alasan yang jelas. Ingin sekali aku membantu Nug untuk kembali bangkit, aku tidak ingin sahabatku ini jatuh ke dalam kepedihan hati yang berlarut-larut. Tiba-tiba aku terpikir, selama ini Nug jarang sekali keluar kos, Ia belum banyak tahu tentang kota Bagansiapiapi ini.

Beberapa kali ajakanku ditolak oleh Nug, hingga suatu saat ia akhirnya mau juga pergi jalan-jalan denganku. Sebelumnya aku sudah menceritakan kejadian yang menimpa Nug kepada May. May pun sangat setuju denganku bahwa Nug harus dibantu untuk bangkit. Kami berdua pun sepakat untuk mengajak Nug menikmati kota ini, kota yang belum banyak Ia jelajahi selama ini.

"May, kenalin, ini Nugraha, temen satu kos, satu kantor, sekaligus seperantauanku," kataku.

May menjabat tangan Nug,"Hai, salam kenal, aku May, kayaknya aku pernah liat kamu ya?"

"Iya, ya, aku juga ngerasa gitu, dimana ya?" Nug terlihat sedang mengingat-ingat,"Oh iya, di Gereja Santo Petrus bukan?"

"Iya bener, kita ketemu di gereja ya, wah enggak nyangka ya!"kata May antusias.

"Wah, seru juga ya, aku mau ngenalin, eh ternyata kalian udah pernah ketemu walaupun belum kenal, bagus deh, jadi lebih cepet akrabnya ya."

Setelah perkenalan itu, banyak hal yang berubah di antara kami bertiga. Nug jauh lebih tegar menghadapi kegagalan hubungannya, jauh lebih ceria. Tidak ada lagi komentar pedas yang keluar dari mulutnya baik soal berita pernikahan artis yang secara tidak sengaja kami tonton yang bisa membuatnya murung seketika maupun tentang beban kerja dan rekan kerja yang seringkali membuatnya uring-uringan. 

Aku pun mulai memahami, selama masa depresi Nug, semua hal berubah menjadi sangat sensitif. Karena penasaran, aku mencoba mencari tahu seperti apa orang dinas menyebalkan itu memperlakukan Nug, dan ternyata kondisinya tidak seperti yang Nug ceritakan menurut rekan kerja kami yang pergi bersama Nug ke dinas tersebut. Kekacauan pikiran Nug lah yang membuat seakan-akan hanya hal buruk yang menimpanya.

Setelah perkenalan itu juga, Nug dan May semakin dekat. Mereka berdua sering pergi ke gereja bersama-sama. Sedangkan antara aku dan May, kami menjadi jarang menghabiskan waktu berdua, karena kami lebih sering menghabiskan waktu bertiga, ada Nug di antara kami. 

Sempat terlintas dipikiranku, aku khawatir langkahku mengenalkan Nug dengan May adalah kesalahan terbesar yang pernah kulakukan, karena konsekuensinya adalah seperti yang terjadi saat ini, tidak ada lagi ruang untukku dan May, hanya kami berdua. Tapi pikiran ini selalu kutepis jauh-jauh, aku tidak boleh memposisikan Nug, sahabatku, sebagai musuh, sebagai pesaing.

Waktu terus berjalan, hubunganku dengan May masih berjalan dengan baik, saling memperhatikan, saling memberikan semangat, dan dengan satu tambahan tema di antara pembicaraan kami, ada Nugraha disana. May pernah bercerita kepadaku, Ia sangat simpatik dengan Nug, bagaimana Nug tetap mampu bangkit dari kejadian yang sangat menyakitkan. Saat itu, aku bermonolog dengan pikiranku sendiri,

"Siapapun akan mampu bangkit, May, selama ada sosok wanita sepertimu yang memberikan dukungan dan perhatian. Seperti arti dari namamu, Mayleen, keindahan. Kamu mampu mengubah semua keadaan, seperti yang dulu aku rasakan, kekosongan dalam hati, dan kini yang dirasakan Nug, kehancuran hati, keduanya mampu kamu ubah menjadi keindahan, tepat seperti namamu."

Hari demi hari, aku terus berusaha menolak untuk menganggap ada cinta segitiga di antara aku, May, dan Nug. Terlihat bodoh memang, semua orang yang melihat pun pasti tahu memang hal itulah yang terjadi di antara kami. Tapi aku tidak mau mengakuinya, aku takut hubungan kami bertiga menjadi berubah, dan pasti akan berubah jika aku mengamini pikiranku itu.

Aku harus menyalahkan siapa? Menyalahkan May yang terlihat terlalu membuka kedekatannya dengan Nug? Aku punya hak apa untuk membatasi sejauh mana May berhubungan dengan orang lain?. Bahkan aku tidak punya hak sedikit pun seandainya May membangun hubungan dengan orang lain, termasuk Nug. 

Aku bukan siapa-siapa May, aku memang mencintai May, rasa yang sudah lama bermukim di hatiku, tapi apalah artinya semua itu jika aku tidak pernah mengatakannya? Meskipun May memiliki rasa yang sama, itu bukan berarti kami berhubungan, tidak tanpa adanya sebuah komitmen.

"Aku mencintamu May! Maukah kamu jadi kekasihku?" itulah kalimat yang selalu ingin kukatakan pada May, setiap kali kami berpadangan. Tapi hal itu tak mungkin terjadi, tembok di antara kami terlalu kokoh untuk dilewati, tembok besar bernama keyakinan. Kami berbeda, sulit bagi kami untuk bersama.

Dari diskusi santai tentang agama yang sering kami lakukan. Kuketahui bahwa May dan keluarga tetap melakukan ritual sembayang leluhur sebagai bentuk penghormatan walaupun mereka beragama Kristen. Sedangkan dalam Islam hal seperti itu tidak ada dalam tuntunan. Hal itu pula yang mendasari ia dan keluarganya memeluk agama Kristen karena bisa beriringan melakukan ritual penghormatan pada leluhur tanpa perlu ada pelarangan. Selain memang hidayat yang diperolehnya untuk memeluk agama Kristen.

Dalam perenunganku, aku mulai memahami arah yang harus aku tempuh, arah yang menjadi langkah paling adil dan logis. Beberapa hari aku terus memikirkan pilihan yang dengan sekuat tenaga kubangun dan kuyakini adalah pilihan yang terbaik. 

Hingga sampailah aku ke momen yang menentukan itu, momen yang kuanggap sebagai momen pendewasaanku untuk mengartikan apa itu cinta dan bagaimana menyikapi cinta itu. Aku mengajak mereka berdua bertemu di depan Museum Tionghoa, yang terletak tidak jauh dari komplek perkantoran Batu Enam. Kami duduk di dalam sebuah gazibo dengan nuansa Tionghoa yang kental, serasi dengan gedung museumnya.

"May, Nug, aku pengen bilang sesuatu ke kalian," kataku lirih.

May dan Nug saling berpandangan,"Bilang apa, Ga?" tanya May, Nug terlihat mengamini.

"Aku tahu ada yang terjadi di antara kita bertiga, hal yang selama ini terus-menerus kita pendam di hati kita masing-masing," jelasku.

"Dan aku ngerasa hal ini enggak akan baik buat kita kalo enggak kita omongin," lanjutku.

Aku menceritakan kepada mereka berdua apa yang ada di dalam pikiranku. Aku menjelaskan dari awal, aku memang sangat mencintai May, dan aku juga merasakan bahwa May juga mencintaiku. 

Aku sangat ingin May menjadi kekasihku sejak awal, namun perbedaan keyakinan di antara aku dan May menghalangi niatanku itu. Aku menjelaskan, bisa saja aku tidak menghiraukan perbedaan itu, namun aku meyakini untuk jangka panjang hal ini terlalu berat untuk dijalani, dan akan lebih sakit bagi kami jika harus mengakhirinya saat ikatan itu sudah terlanjur semakin dalam. Aku tidak berani mengambil risiko itu.

Hubungan tanpa ikatan di antara kami awalnya terasa tidak akan menjadi masalah, sampai datang Nug di antara kami, lebih tepatnya, aku yang membawa Nug datang di antara kami. 

Terlebih saat May dan Nug semakin dekat, aku melihat pancaran sinar mata di antara mereka sangat kuat terhubung. Aku tidak ingin menjadi orang yang sangat egois, dengan terus berpura-pura menganggap tidak terjadi apa-apa di antara mereka berdua. 

Aku merasakan, mereka memiliki rasa yang sama, ya, mereka saling mencintai. Aku tidak menyalahkan May, bahkan aku juga tidak menyalahkan Nug, semua ini memang sudah ditakdirkan. Aku merasakan, selama ini, mereka juga berusaha meyakinkan diri masing-masing untuk tidak membiarkan rasa cinta di antara mereka berkembang, karena ada aku.

Dan disinilah posisiku, aku adalah kunci di dalam kerumitan ini. Apakah aku akan menjadi orang yang sangat egois dengan membiarkan keadaan ini terus berjalan dalam kondisi yang complicated? Atau aku memilih untuk menggunakan 'kunci' yang kumiliki untuk memberikan titik terang dan keadilan bagi kami bertiga?.

Aku memilih pilihan kedua, pilihan yang sangat adil bagi semuanya. Aku memberikan kebebasan kepada mereka berdua untuk membiarkan rasa cinta di antara mereka untuk saling diberikan. Itu adil untuk mereka, karena jalan bagi mereka membangun hubungan ini sangat terbuka, tidak ada penghalang di antara mereka. 

Pilihan itu adil juga bagiku, dengan pilihan ini, aku membebaskan diriku dari rasa cinta yang tidak mungkin aku jalani lebih lama lagi. Sangat konyol bagiku jika memaksakan untuk terus berjalan padahal di depanku terdapat tembok besar yang menghalangi.

Pilihan itu memberikanku pendewasaan, memberikanku pandangan baru tentang cinta. Cinta yang kita berikan untuk orang lain, adalah cinta yang merupakan pilihan kita. Kitalah yang memilih untuk siapa cinta itu diberikan, artinya cinta harus selalu dibarengi dengan logika. Sedangkan ketika logika tidak lagi diperankan dalam sebuah cinta, maka hanya keegoisan lah yang akan mendominasinya.

"Kalian enggak perlu khawatirin aku, aku Margana, namaku berarti 'memiliki jalan', artinya akan selalu ada jalan bagiku, entah itu hari ini, besok, atau kelak nanti, untuk menemukan cinta sejatiku," jelasku kepada mereka yang masih memasang muka penuh heran.

Kisah cintaku di Bagansiapiapi ini memanglah kisah cinta nan indah dengan akhir yang indah, kepada dia yang bernama indah, Mayleen. Kataku dalam hati.

Mereka berdua tampak sangat terkejut dengan apa yang kusampaikan. Belum selesai keheranan mereka, tiba-tiba Nug disapa oleh seorang wanita manis, berjilbab,"Eh, Nugraha..!" sapa wanita itu.

"Iya, Mbak In... eh Uni Indah," jawab Nug gelagapan.

Kemudian Nug mengenalkanku dan May kepada wanita yang disapanya dengan Uni Indah itu. Saat akhirnya giliranku berjabat tangan dengannya, kulihat senyumnya begitu teduh, tatapan matanya yang tajam dan menginterogasi hilang dalam sekejap berkat senyuman dan kehangatan tangannya saat berjabat tangan. 

Tiba-tiba aku ingat rasa seperti ini, hawa hangat yang menyergapku saat pertama kali aku dan Mayleen berpegangan tangan. Kubalas senyuman Indah dan hatiku mulai bertanya, mungkinkah ini jalan baruku?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun