Beberapa tahun belakangan, ketika keterbukaan informasi semakin menggema di seluruh Indonesia, banyak hal yang sebelumnya tidak kita tahu menjadi mudah sampai ke telinga kita, contohnya, pendapatan jajaran tinggi di BUMN yang sangat besar, yang nilainya bahkan melebih gaji presiden sekalipun. Tentu mulai timbul pertanyaan dari masyarakat, mengapa mereka dibayar dengan nilai sebesar itu? Bagaimana penalarannya? Nah dalam artikel singkat ini, saya akan sedikit membahasnya dengan referensi dasar keilmuan managerial economics dan risk management. Selamat membaca.
Sudah bukan rahasia lagi, tujuan utama sebuah perusahaan adalah mendapatkan laba, terlepas dari berada di sektor manapun perusahaan tersebut. Untuk mendapatkan laba tersebut, tentulah si pemilik perusahaan tersebut, baik yang dimiliki perseorangan maupun sudah dalam bentuk perseroan terbatas, tidak bisa mengelola atau menjalankan perusahaannya sendiri, terlebih untuk perusahaan di level menengah dan besar.
Kondisi inilah yang menciptakan perlunya seorang (atau lebih) sebagai perpanjangan tangan dari si pemilik, sebagai agent dari pemilik untuk bertindak mewakili pemilik menjalankan perusahaan tersebut. Disinilah dikenal dengan istilah principal-agent theory, pemilik selaku principal, manajemen selaku agent. Untuk perusahaan kecil yang memiliki struktur yang sederhana, dimiliki dan dikelola oleh orang atau pihak yang sama biasa disebut dengan sole-traders (sole proprietorships) dan ditulisan ini kita akan mengesampingkan dulu perusahaan dengan tipe ini.
Kembali pada bahasan laba perusahaan, laba atau pada istilah ekonomi digambarkan dengan simbol (Ï€) sangat bergantung pada usaha (e), kemampuan, dan keputusan dari manajemen. Pada posisi ini, tanpa mengecilkan peran dari pegawai atau karyawan, peran jajaran eksekutif merupakan pemeran utama pada perusahaan karena memiliki faktor pembeda yang sangat besar dibandingkan dengan karyawan, yaitu fungsi pengambilan keputusan.
Lebih jauh lagi, kinerja sebuah perusahaan sangat bergantung pada sumber daya perusahaan yang digunakan oleh manajemen. Seperti diketahui, laba perusahaan memiliki komponen yang fluktuatif, perubahan dalam produk dan bahan baku di pasaran, perubahan pada jumlah permintaan konsumen dan harga masukan. Kondisi yang fluktuatif tersebut merupakan gambaran risiko yang dihadapi oleh pemilik, risiko tidak memperoleh laba sesuai yang diekspektasikan.
Karena sesuai dengan rumusannya, pemilik memiliki risk averse bahwa dari adanya risiko yang tinggi untuk tidak memperoleh laba sesuai yang diekspektasikan, pemilik mengharapkan nilai yang tinggi pula pada ekspektasi laba yang dihasilkan oleh perusahaan. Disisi lain, nilai laba yang diharapkan tersebut dapat ditingkatkan melalui usaha yang lebih dari manajemen. Namun masalah akan muncul ketika pemilik perusahaan sulit mengobservasi sejauh mana usaha manajemen, sehingga sulit mengukur sejauh mana usaha yang dilakukan oleh manajemen dalam menjalankan perusahaan.
Jika pemilik bisa melakukan pengamatan, tentu CEO atau eksekutif lainnya bisa saja dipecat jika pemilik tahu mereka tidak mengeluarkan usaha yang cukup. Dalam kondisi ini akan didapati fakta bahwa pemilik akan mendapatkan tingkat optimal dari keuntungan yang diharapkan dan risiko, hal ini dikenal sebagai 'solusi terbaik pertama'. Namun faktanya, bagaimana pemilik bisa tahu CEO atau eksekutif lainnya bekerja lebih keras (atau mengeluarkan lebih banyak kemampuan, atau menggunakan lebih sedikit sumber daya perusahaan) jika pemilik tidak dapat mengamati perilaku mereka?.
Manajemen, secara individual kita sebut dengan CEO atau eksekutif lainnya, mencurahkan waktu dan usahanya untuk mengelola perusahaan dan atas sumber daya yang dikeluarkannya, diperoleh pendapatan, atau executive pay. Selayaknya manusia biasa, tentu CEO atau eksekutif lainnya juga memiliki risk averse, jika diberikan pilihan, CEO atau eksekutif lainnya tentu akan memilih pendapatan yang stabil, dibandingkan pendapatan yang fluktuatif.
Pada kondisi inilah muncul principle-agent problem, munculnya dua kepentingan yang kontradiktif dari kedua belah pihak, pemilik dan manajemennya. Dalam konteks managerial behavioursolusi yang biasanya diberikan adalah dengan mendesain skema executive compensation sebagai insentif bagi manajemen untuk meningkatkan usahanya (atau kemampuannya, atau secara efektif menggunakan sumber daya perusahaan).
Rasionalisasi dari solusi ini adalah penyamaan persepsi, penyamaan tujuan, menciptakan hubungan antara pendapatan CEO atau eksekutif lainnya dengan laba perusahaan yang diharapkan. Artinya, kepentingan dari pemilik perusahaan, dimana ingin mendapatkan laba yang lebih, sejalan dengan kepentingan manajemen, yang ingin mendapatkan penghasilan lebih banyak. Kedua pihak akan mendapatkan keuntungan dari usaha lebih manajemen tanpa memberikan risiko kepada CEO atau eksekutif lainnya.
Namun, hal tersebut masih belum merupakan solusi karena pemilik masih tidak dapat mengukur usaha manajemen. Jalan yang dapat ditempuh adalah mengaitkan executive pay dengan laba aktual perusahaan, yang artinya sebagai indikator kinerja manajemen. Tapi harus diakui bahwa ide ini bukanlah ide yang ideal karena tidak secara optimal menguntungkan kedua belah pihak, pemilik tidak mendapatkan laba yang optimal, manajemen harus berhadapan dengan risiko pendapatan yang fluktuatif. Kondisi inilah yang akhirnya memunculkan istilah baru, solusi terbaik kedua.
Pada solusi kedua ini, kita akan mengenal istilah Profit-related pay, company shares,dan executive share options. Biasanya, dalam pola ini, manajemen akan mendapatkan gabungan antara gaji tetap dan Profit-related pay, company shares,atau executive share options, bisa salah satunya atau bahkan dua tipe tersebut. Profit-related pay merupakan bentuk executive compensation yang terkait dengan laba kotor atau bersih dengan rumus perhitungan tertentu.
Company shares/stock, pada kasus ini pada perusahaan terbatas, jajaran eksekutif diberikan atau diperbolehkan membeli saham perusahaannya sendiri. Pada tahapan ini mengaitkan pendapatan mereka dengan shares’ return on equity. Lalu, Company share or stock options,merupakan bentuk hak yang diberikan untuk membeli sejumlah saham perusahaan dengan harga yang telah ditentukan. Ide dasar dari opsi ini adalah untuk memacu manajemen untuk terus meningkatkan kinerjanya yang akan berpengaruh positif pada laba perusahaan dan pada ujungnya akan meningkatkan nilai saham perusahaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H