Umur yang menua dan kisah cinta yang bergantian membuatku semakin tersadar akan cinta mana yang paling membekas di hatiku. Tony Q Rastafara dalam lirik lagunya menyatakan "Musim panas berganti, musim hujan berakhir. Membayangkan kita menjalin kasih kembali. Sekian lama menunggu, sekian kasih melintas. Aku sayang kamu tapi tak mau cintaku sia-sia"
Sekilas aku merasa adanya kesamaan dengan lirik tersebut tetapi tidak pada kalimat atau baris terakhir. Sepenggal lirik dari lagu berjudul Kangen tersebut seharusnya dilakukan secara responsoria dengan kalimat atau baris terakhir dari sepenggal lirik tersebut yang dinyanyikan seorang perempuan yang telah lama tidak ku tanya kabarnya, Maharani.
Belakangan aku merasa Maharani memang tidak layak mendapatkan cintaku yang apa adanya. Begitu pas-pasan hingga aku merasa memang tidak ada lagi perempuan yang perlu ditaklukan di dunia ini selain ibuku. Cinta yang hanya berputar di sirkus simpati dan empati dilengkapi dengan hasrat dan gairah anak muda dalam percintaan tanpa adanya perkembangan dari faktor tingkat lanjut lain.
Jauh sebelum kesadaran ini, aku selalu merasa diriku terlalu menderita dibandingkan seorang Maharani atau setidaknya Maharani lain yang kuizinkan untuk hadir di hidupku hanya untuk menjadikannya pembanding dari Maharani yang otentik.
Berlarut dalam kesedihan dan kesakitan, tidak menunggu diriku untuk pulih, aku terlanjur menjadikan orang-orang yang tertarik padaku sebagai Maharani baru dan berharap mereka dapat menerima serta menyembuhkanku.
Seorang nahkoda tidaklah handal ketika ia mampu menjalankan dan mengoperasikan kapal. Barangkali lumbung kapal tersebut rusak tetapi sang pelaut cenderung mengejar rahasia lautan yang begitu luas dan penuh misteri. Kapalku berlayar tanpa arah, tanpa tujuan, tanpa persiapan, dan tanpa perbaikan. Diterpa badai dan ombak yang ganas, kapalku karam sekaram-karamnya di antah berantah. Sial, aku baru sadar apa yang terjadi sejauh ini.
Kemarin, hari ini, esok, dan mungkin selamanya, mengingat Maharani hanya akan membuat hatiku bergelegar tidak henti. Bukan sebuah kesalahan, melainkan keinginanku untuk mengenangnya yang demikian. Â Seperti seorang pasien kanker yang divonis mati, aku lebih suka mengingatnya dengan senyuman dan tawa.
Aku selalu mendambakan pertemuan yang berbeda, fase pendekatan tidak terlupakan yang setidaknya pada memori ingatanku sendiri. Di atas puing-puing penggusuran dan hasil dari indeks tata kota yang menindas, aku memandangi wajah Maharani yang keelokannya membuatku mengesampingkan kesadaran bahwa negara akan terus merugikan aku, dirinya, dan orang-orang di sekeliling kami. Begitu pula tulisan ini tercipta, aku hanya mencoba lari dari hiruk pikuk kekacauan dunia.
Aku selalu ingin melihat wajahnya dengan cara yang demikian dari sebelum kami tiba di penggusuran, dari perjalanan melalui pantulan cahaya kaca spion, dari pandangan pertama ketika Maharani berhasil kuyakinkan untuk menjemputku.Â
Sejujurnya, setelah pertemuan tersebut, aku tidak begitu berharap Maharani akan kembali merespon pertanyaan, kabar, dan ocehan-ocehan receh ku yang membosankan. Karena aku yakin pertemuan tersebut sangat jarang dan aneh bagi remaja seumuran kami pada saat itu.
Maharani pernah datang mengunjungi rumah sekali. Aku tidak mengerti apa yang ada di pikiran perempuan berbadan mungil dengan senyuman iklan pasta gigi ini. Setelah pertemuan yang kemungkinan aku dapat menculiknya dan merampas sepeda motor berkontak kompor miliknya, Maharani justru berani bertandang ke rumah sederhana milik orang tua ku dengan kebanggaan bermodal halaman luas dan sebuah pohon mangga yang tumbuh di tengah-tengahnya.
Aku kembali tidak berdaya menatap matanya yang berbinar-binar seolah memanggil mataku untuk melihatnya lebih dekat dan lebih seksama. Alisnya yang tidak begitu timbul justru semakin menarik diriku untuk meneliti dan melihat-lihat barangkali ada sesuatu di antara rambut-rambut alis tersebut yang menghambat kelebatannya. Pada saat aku sibuk meneliti hal-hal tersebut pada wajahnya, aku baru menyadari bahwa kecacatan merupakan penyakit menular. Dengan kurang ajar dan kecacatan di otakku yang ditularkan Maharani, aku mencium bibirnya yang selalu melindungi senyum iklan pasta giginya tersebut. Kecacatan tersebut ternyata berasal dari otot pipi Maharani yang timbul ketika ia tersenyum. Sial, ternyata lesung pipi Maharani tidak kalah andil dalam komponen-komponen pembentukan wajahnya yang sempurna.
Demikian pertemuan-pertemuan kami selanjutnya merupakan formalitas sebelum aku mengerti arti sebuah pertemuan dan perpisahan yang menjadi guru kehidupan bagiku pribadi.
Menjelang perpisahan tersebut, dalam suasana hari Natal, Maharani memberikan hadiah yang sampai saat ini kusimpan meskipun dengan keadaan yang seadanya. Sebuah lampu dilengkapi dengan sebuah pesan yang dapat merepresentasikan seorang Maharani sebagai seorang perempuan mungil dengan kepribadian menyenangkan. Aku selalu mengingatnya setiap kali dalam perayaan hari Natal. Rasanya seperti menggelegarkan jantung namun menusuk hatiku, mengisi perutku dengan kupu-kupu namun memaksa ingatan bak Core Memory pada film Inside Out.
Aku tidak pernah keberatan jika harus demikian. Aku selalu mengakhiri pemutaran ulang ingatan tersebut dengan senyuman dan doa harapanku untuk Maharani. Dimanapun ia berada, aku hanya mengharapkan yang terbaik untuk hidup kami masing-masing kapanpun itu, melintasi ruang dan waktu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI