Aku kembali tidak berdaya menatap matanya yang berbinar-binar seolah memanggil mataku untuk melihatnya lebih dekat dan lebih seksama. Alisnya yang tidak begitu timbul justru semakin menarik diriku untuk meneliti dan melihat-lihat barangkali ada sesuatu di antara rambut-rambut alis tersebut yang menghambat kelebatannya. Pada saat aku sibuk meneliti hal-hal tersebut pada wajahnya, aku baru menyadari bahwa kecacatan merupakan penyakit menular. Dengan kurang ajar dan kecacatan di otakku yang ditularkan Maharani, aku mencium bibirnya yang selalu melindungi senyum iklan pasta giginya tersebut. Kecacatan tersebut ternyata berasal dari otot pipi Maharani yang timbul ketika ia tersenyum. Sial, ternyata lesung pipi Maharani tidak kalah andil dalam komponen-komponen pembentukan wajahnya yang sempurna.
Demikian pertemuan-pertemuan kami selanjutnya merupakan formalitas sebelum aku mengerti arti sebuah pertemuan dan perpisahan yang menjadi guru kehidupan bagiku pribadi.
Menjelang perpisahan tersebut, dalam suasana hari Natal, Maharani memberikan hadiah yang sampai saat ini kusimpan meskipun dengan keadaan yang seadanya. Sebuah lampu dilengkapi dengan sebuah pesan yang dapat merepresentasikan seorang Maharani sebagai seorang perempuan mungil dengan kepribadian menyenangkan. Aku selalu mengingatnya setiap kali dalam perayaan hari Natal. Rasanya seperti menggelegarkan jantung namun menusuk hatiku, mengisi perutku dengan kupu-kupu namun memaksa ingatan bak Core Memory pada film Inside Out.
Aku tidak pernah keberatan jika harus demikian. Aku selalu mengakhiri pemutaran ulang ingatan tersebut dengan senyuman dan doa harapanku untuk Maharani. Dimanapun ia berada, aku hanya mengharapkan yang terbaik untuk hidup kami masing-masing kapanpun itu, melintasi ruang dan waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H