'Kami memohon dengan sangat supaya di sini diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan, bukanlah karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan menjadi saingan orang laki-laki, melainkan karena kami yakin akan pengaruh besar yang mungkin datang dari kaum perempuan."
Surat Kartini kepada Tuan Prof. Dr. G.K. Anton dan Nyonya pada 4 Oktober 1902.
Kutipan surat yang sangat bagus, menyiratkan gagasan kuat Eyang Kartini akan peran perempuan. Bagaimana peran perempuan dilekatkan pada pengasuhan di zaman itu telah ditambahkan gagasan baru oleh beliau untuk belajar dan memperoleh pendidikan. Sebuah keinginan yang mahal karena harus ditempuh dengan terjal untuk meyakinkan kepada orang tua, saudara, kerabat bahkan perempuan sebayanya.
Kartini tidak lelah untuk belajar walaupun dalam ruang yang terbatas sudah seharusnya menjadi model belajar bagi kaum perempuan di zaman now.Â
Pandemi yang tak kunjung selesai sebenarnya menjadi penjara baru bagi pergerakan manusia. Pergerakan yang dibatasi hampir serupa dengan yang dialami Eyang Kartini, bahkan beliau lebih sempit ruang geraknya. Akan tetapi apakah beliau menyerah? Tidak kan, ruang itu dibuka dengan menyantap pengetahuan dan tetap menghidupi menulis.Â
Sesuatu yang dilakukan Kartini muda untuk menyampaikan pemikirannya, keluar dari bilik yang mengekangnya. Kegiatan menulis yang dengan mudah saat ini dilakukan berkat teknologi. Lantas apa susahnya bagi kaum muda saat ini, termasuk perempuan untuk maju literasinya?
Kemudahan zaman dan ketersediaan perangkat rupanya belum dimaknai sebagai media belajar, baru sekadar mengisi kesenangan semata, belanja, pamer status, atau hanya media mengirim tugas. Hal yang terakhir itu sebenarnya autokritik untuk proses belajar saat ini. Sangat dimaklumi bahwa teknologi masih diberdayakan untuk kemudahan transaksi, belum menjadi media inovasi untuk meningkatkan literasi.Â
Dengan terbukanya mesin pencari informasi, kini berita yang dicari dan terpampang hanya yang viral, menarik netizen. Usaha untuk menggunakan media digital belum sepenuhnya untuk belajar dan pendidikan. Bandingkan dengan Eyang Kartini yang senang sekali menemukan harta karun, buku di zaman itu. Perangkat teknologi masih lebih banyak digunakan untuk transaksi cepat.
Gerakan menghidupkan kecintaan akan literasi bukan sekadar mau dan mampu menulis tetapi juga lebih dari itu, menyampaikan pemikiran baru. Menulis sebagai bagian dari literasi harus dijadikan kebiasaan yang dibudayakan. Sudah terlalu banyak ucapan yang lebih didengar daripada kata-kata dan bacaan yang menjadi referensi.Â
Surat-surat Kartini menjadi "hidup dan bermakna" karena telah dibukukan. Saya dapat membaca dan mengulang-ulang pesan kuatnya, selalu menjadi daya tarik karena untaian katanya mampu menghadirkan diri kita di situasi saat itu. Mungkin itu karena saya model individu yang lebih menyukai tulisan daripada suara. Bisa saja surat itu dibacakan, hadir dalam bentuk audio, tetapi saya tetap memilih bacaan ini sebagai media belajar. Lebih afdol rasanya membaca surat beliau.
Menulis sebagai budaya juga mempunyai tantangannya tersendiri saat semua orang kini berkegiatan dengan super cepat. Ingin dapat informasi secara instan, merujuk ke laman tertentu, tidak berupaya mencari sumber bacaan lain. Atau sanggupkah kita memberikan waktu yang cukup untuk melakukan kegiatan menulis, sekadar meramu kata tentang kegiatan yang sedang dilakukan atau membuat catatan kecil. Kalau bukan jurnalis, mungkin tidak suka membuat artikel atau tulisan, lebih suka memfoto saja informasi karena kemudahannya.
Masa pandemi juga turut merubah media belajar kita menjadi atraktif, hampir semua dikerjakan dengan model pembuatan video. Membuat kliping jelas tidak memungkinkan, media atau bahan bacaannya tidak ada, sangat menyulitkan membuat tugas ini. Sementara membuat karya tulis rasanya juga jarang, anak-anak hanya diminta membuat jawaban dari soal-soal yang diberikan para pengajar. Ya, rasanya resolusi pembelajaran juga diperlukan bagaimana anak didik juga distimulasi untuk menulis sebagai bagian belajarnya, bukan hanya menonton video tutorial dan mengerjakan tugas.
Rasanya kita harus mengembangkan menulis sebagai bagian menumpahkan gagasan kepada banyak orang, terutama anak muda. Penting untuk mereka tidak hidup instan tetapi juga masuk dalam proses belajar yang utuh, mempelajari sumber belajar yang tepat dan memberikan waktu untuk menuntaskan satu per satu bukan hanya mengirimkan tugas demi mendapatkan penilaian.
Menulislah untuk menancapkan ide menjadi perubahan dalam diri kita. Mulailah dari sekarang menulis walau sederhana karena itu dapat menjadi tonggak yang dapat dilihat lagi, kita pernah mencapainya. Gerakan jurnalisme warga ini sangat cocok menjadi aliran bagi kita yang ingin memulai menulis sebagai kebiasaan baru. Dengan memanfaatkan media sosial yang ad akita telah difasilitasi untuk mengisinya dengan tulisan-tulisan baru.
Masih tidak yakin? Cobalah menyampaikan gagasan yang dijumpai, dirasakan atau ingin dibagikan agar makin banyak orang mengetahuinya, tidak hanya untuk tujuan viral ya.
Kegiatan di masyarakat banyak yang berbobot dan menarik untuk dibagikan. Kita bisa menjadi bagian masyarakat penulis dengan membagikan informasinya. Dengan menulis di kanal Kompasiana juga melatih diri kita menjadi bagian jurnalisme warga lo. Ada banyak orang bisa mengakses tulisan ini dan bisa jadi mereka terdorong untuk membaca informasi yang kita sajikan.
Bagaimana? Sudah tergambarkan menjadi bagian yang memanfaatkan media sosial untuk menjadi pembelajar seperti yang dicontohkan Kartini?
Menulislah untuk mengisi peradaban, termasuk dengan perkembangan media digital, kita harus jadi bagian yang mengisinya, bukan hanya penikmat sajian saja.
Selamat memasuki kecanggihan media digital dan memanfaatkannya dengan optimal, menulislah!
Menghidupi semangat menulis Eyang Kartini di era digital.
Referensi:
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI