Mohon tunggu...
Beti.MC
Beti.MC Mohon Tunggu... Relawan - Menulislah Selayaknya Bertutur, Mengalirlah Energi Kebaikan

Berbagi pengalaman, kesempatan dan cerita sehari-hari.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendampingan Psikologis Anak di Masa Pandemi

15 April 2021   16:33 Diperbarui: 15 April 2021   16:39 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mbak, piye iki anakku bermain ponsel terus, nilainya turun, susah dimintai tolong bahkan sekedar ke warung sebentar. Merengut. Marah kalau diajak bicara."

"Mbak, ......bagaimana dengan anakmu? Ini anakku, hanya suka di kamar, nggak keluar-keluar, makan juga dibawa ke kamar. Ampun, kehidupan sehari-hari cuma berkutat di kamar saja."

"Mbak, anakku mintanya jajan saja nih, maunya beli pakai aplikasi saja, susah diajak keluar rumah. Anak-anak hanya senang berkomunikasi dengan teman-temannya di ponsel."

Ayo, para ibu, ada lagi yang mau curhat? Silakan bergabung dalam curhatan orang tua menghadapi sikap anak-anak selama pandemi. Tak dipungkiri, kebiasaan anak-anak pasti terpengaruh situasi saat ini. Mereka tak bisa kemana-mana karena sekolahnya tutup. Bukan libur lho, tetapi sistem belajarnya dialihkan menjadi daring, alias dalam jaringan, berinternet ria dengan sekolahnya.

Sudah setahun ini anak-anak tak merasakan kehidupan normal (baca: sebelum pandemi). Pola kebiasaan dan tingkah laku juga mengalami perubahan karena mengikuti tata kehidupan yang baru. Tak boleh berkerumun membuat mereka tidak bisa bertatap muka dengan para guru dan teman-temannya. Proses belajar mengajar akhirnya mengandalkan teknologi agar sekolah tidak menjadi kluster penyebaran baru.  Apa dampaknya pada anak-anak kita?

Saya ingin membagikan beberapa informasi yang kebetulan saya terima saat mengikuti workshop secara online, bahwa ada temuan anak-anak terdampak secara mental dalam situasi pandemi ini. Apakah kita siap menghadapi masalah kesehatan mental anak?

Jurnal penelitian JAMA Pediatric telah mempublikasikan fakta anak-anak yang diteliti (China dan Jepang) menunjukkan adanya tekanan emosional dan stress karena proses belajar yang berubah. Sebuah penelitian lanjutan menunjukkan 22,6% anak yang diobservasi mengalami gejala depresi dan 18,9% mengalami kecemasan. Bahkan temuan di Jepang, 72% anak-anak merasakan stress karena pandemic Covid-19 ini.

Kondisi anak-anak di Amerika Serikat juga memperlihatkan adanya kecemasan dan depresi pada kelompok umur 3-17 tahun. Bahkan untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus, kondisi kesehatan mentalnya semakin memburuk. Itulah fakta yang ada. Bagaimana dengan anak-anak Indonesia? (https://nasional.sindonews.com/)

Hasil diskusi BNPB dengan UNICEF dan Kemenkes, mengungkapkan dampak psikososial yang muncul pada anak adalah perasaan bosan karena harus tinggal di rumah saja, kekuatiran ketinggalan pelajaran, adanya perasaan tidak aman, takut terkena penyakit, merindukan teman sebaya dan kekuatiran akan penghasilan orang tua. Selain itu, 62% anak mengalami kekerasan verbal yang dilakukan orang tua selama di rumah.

Sederet fakta dan riset telah membuka pemahaman kita bahwa pandemi ini tidak berdampak pada kesehatan fisik semata, tetapi juga berdampak pada kesehatan mental anak-anak. 

Seluruh dunia mengalami dampak ini dan kini saatnya sebagai orang tua kita bersiaga untuk antisipasi agar anak-anak tak mengalami keluhan psikologis ini. 

Tak ada salahnya jika kita mengamati perkembangan anak-anak dan mencari tahu apa yang membuat anak-anak berubah sikap dan perilakunya. Keluhan para ibu di awal tulisan ini barulah sebagian kecil kegelisahan yang sudah dirasakan.

Keberadaan anak-anak dalam rumah harus menjadi pantauan orang tua karena bisa jadi proses belajar yang menekankan pada pengerjaan tugas menjadi pemicu anak-anak stres. 

Kebingungan mereka memahami pelajaran bisa jadi membuat mood belajar mereka turun. Atau karena rasa bosan yang mendera, membuat anak-anak ingin menyakiti dirinya dan berperilaku berbeda. 

Ada banyak alasan dari sikap dan tindakan yang dilakukan anak-anak. Hal inilah yang penting untuk diamati dan dijadikan bahan memahami anak-anak.

Dari pengalaman menampung curhatan para ibu, akhirnya ada beberapa keluarga yang memutuskan untuk berkonsultasi karena melihat perubahan pada diri anaknya. Walaupun orang tua sudah berusaha mengajak anak untuk terbuka, tampaknya bagi sebagian anak, pendekatan ini tidak berhasil. 

Pilihan konsultasi pada psikolog atau konselor bisa membantu orang tua mengurai permasalahan yang dihadapi oleh anak-anak mereka. Ini dilakukan karena orang tua tidak ingin dampak negatif terjadi pada anak, sementara mereka tidak bisa mengatasinya. Menjaga kesehatan mental/ psikologis juga penting.

 Saat kita tak berdaya dan tak mengetahui solusi, bertanya pada yang ahli tentu lebih baik. Jangan khawatir jika ada anggapan dari orang lain yang mengatakan mengurus anak kok, perlu bantuan konselor. Tidak semua orang paham akan kesulitan yang kita hadapi. 

Jadi, saat anak- mengalami keluhan psikologis dan orang tua tidak mampu mendampingi sendiri, jangan ragu untuk mencari bantuan pihak lain agar bisa memberikan saran pendampingan. Masih ragu? Semoga tidak, ya... bukankah semua orang tua ingin melihat perkembangan yang optimal bagi anak-anaknya.

Beti.MC

Ed. Dina Ananti

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun