Ayah,Menangkap Senja di Tasik
Takkan ada lagi yang terisa untuk kukenang selain deburan ombak dan sayap perahu yang remuk dihantam  pasang di tasik yang selalu merindukan kehadiran waktu.
Dan waktu yang kudapatkan adalah hasil menangkap senja dan mengingat riwayatnya yang kekal.
***
Sore,sebelum usai hari itu,aku termenung di bibir pantai diantara bentangan pasir dari sepanjang pantai Oa dan desahan angin  timur yang berhembus mesra dari balik pulau kambing menghantarku pada segumpal tanya mengapa ayah terlalu cepat untuk pergi sedangkan aku dan Andreas masih punya mimpi untuk membahagiakannya.
Kamilus, begitu ayah disapa.
Ayah ditakdirkan untuk memiliki mimpi namun sampai pada akhir hayatnya ta kada satu pun pecahan mimpi yang  diwujudkannya.
Orang tua dari sang ayah bahkan menjual seluruh harta milik termasyuk tanah dan seluruh tanaman demi menyekolahkan ayah, namun apalah artinya sebuah masa depan jika pada sebuah pojok yang terjal seketika tungkai kaki tak mampu lagi untuk melangkah?
Uang, itulah jawaban dari segala bias pertanyaan yang sesekali waktu dijawab oleh ayah dengan nada pasrah pada nasib.
Kendatipun harus bergulat dengan nasib yang tidak berpihak kepadanya, namun ayah tetaplah ayah dengan segala talenta yang dimilikinya untuk mengarungi lautan yang luas demi menyekolahkan aku dan Andreas.
Andreas, berulangkali diminta oleh ayah bahkan sempat ayah berlutut di kakinya dan memohon supaya ia melanjutkan studinya di Seminari menengah.