Mohon tunggu...
Betarix polenaran
Betarix polenaran Mohon Tunggu... Buruh - Penulis dan Pencinta Sastra

Penulis lahir di Watobuku, 20 Juni 1995

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Kecil untuk Tuhan

16 Februari 2019   11:20 Diperbarui: 16 Februari 2019   12:04 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebatang lilin yang kunyalakan telah mencair lalu membeku, begitu pula cinta.

Pukul dua belas siang hari bolong, semua masyarakat dikagetkan dengan berita yang disiarkan langsung dari berbagai stasiun Televisi.Nduga"wilayah merah" persis dipegunngan tengah papua terjadi adu tembak-menembak antara TNI-POLRI dan tentara Pembebasan Nasional Papua Barat,organisasi Papua merdeka . Tangis memecah keheningan. 

Beberapa jam yang lalu, sebelum terjadi pembantaian besar-besaran, Maria sempat menghubungiku dan kami seperti menemukan dunia sendiri, dunia tanpa ada orang ketiga. Cinta kami begitu mesra pada detik-detik kematian. Di rumah, Maria seorang diri. Ayah dan ibu pergi keluar kota mengikuti majikan. "Maria.........Natal tinggal beberapa hari lagi. Perjuangkan cita-citamu, dan jangan pernah lupa untuk kembali. 

Cita-citamu itu sungguh mulia", aku berbicara panjang lebar. "Kita selalu punya kemungkinan untuk bertemu dalam doa", pesan Maria mengakhiri pembicaraanya. Lama berselang setelah jumlah kematian dikabarkan, lokasi tempat tinggal Maria ditayangkan di layar Televisi. 

Korban-korban berjatuhan. Ratusan nyawa seperti tidak ada harga, dikuburkan ataukah dilahap mesra burung-burung di udara. Cerita Papua berakhir dalam kenangan dan air mata. Hakku mencintai Maria sekaligus kewajibanku mencintai Maria yang lain. "Maria....aku ingin mengajakmu berlalu dari cerita ini namun aku hidup dalam kehidupan, dan mati dalam kematian. 

Jangan pernah membiarkan cinta yang terbantai sepi merana disini, melainkan bawalah pergi dan pertanggung-jawabkan kepada Tuhanmu. Bahwa, sesungguhnya, cita suci tidak akan ikut mati sia-sia", kataku tak begitu keras tetapi juga tak begitu pelan. Konsentrasiku pecah. Pikiranku berkecamuk. Tak ada orang kecuali potret Maria dengan senyum bekunya.

Di negeri ini, memang banyak orang kuat yang ingin berkasa dan menindas orang kecil dan lemah. Di mata mereka harga nyawa manusia bisa dibayar dengan sebuah lubang pelor. "Saya percaya anda memiliki alsan yang kuat membunuh mereka", tanganku perlahan memutar radio sekedar menghibur hati. Kalimat yang barusan didengar semakin lama semakin hilang. 

Aku semakin penasaran. Ah, sial. Langit mendung disertai dengan gelegar guntur tak beraturan. Begitu banyak kemungkinan di negeri ini yang membuat seseorang harus kehilangan sisi kemanusiaannya.

" Saya heran dengan situasi yang melanda masyarakat Papua", kata Claudia

Suasana di teras rumah seketika membeku. Aku dan Klaudia seperti bingung sendiri namun gadis itu seperti Maria, ia berusaha meleburkan batas-batas dengan bersikap seakrab mungkin. Tapi, suasana masih saja beku. " Kita masih punya harapan. 

Pemerintah secepatnya buka mata melihat kenyataan yang terjadi. Barangkali, karena kekayaan papua, membuat banyak peminat ingin menguasainya. Semoga saja, ini bukan permainan pemerintah yang ingin menjadi penguasa tunggal," harap-harap cemas pun melekat erat di pikiran.

*Betrix Aran lahir di Watobuku, 20 Juni 1995. E-mail :Betrixpolenaran@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun