Raut wajahnya menunjukan rasa kecewa. Pada saat itu, hitungan waktu telah sirnah dalam diriku,sehingga aku tak mampu menandai setiap persinggahan.
Aku mulai menjelajahi bukit demi bukit hanya untuk bertemu Maria dan meminta maaf kepadanya. Akhirnya,aku memutuskan kembali pada tempat semula, tempat aku berjumpa Maria pertama kali diantara warung dan nisan serta berharap mendapatinya bersama tawa riangnya bukan tangis yang mengharukan. Namun, harapanku nihil.Â
Di sana, kutemukan sebaris tulisan yang terukir di salah satu permukaan batu, tepat di samping nisan adik semata wayang. Tulisan berbunyi "Terima kasih telah mendengar ceritaku dan belum saatnya engkau harus mengerti. Salam Maria". Otakku mendadak panas.Â
Aku berusaha memahami dan merasakan korelasi kuat antar setiap kata dan perlakuanku kepada Maria. "Maria, langit masih ada, bumi pun masih kau pijaki. Mengapa haru bersedih hati? ", ucapku menguatkan hatiku. Setelah kisah yang tak berujung itu, aku merelakan hatiku berdamai dengan waktu dan kembali ke kotaku. Bukan melupakan Maria, namun mengingatnya dengan cara yang cukup berbeda.
***
Siksa dan sebuah penyiksaan yang paling sulit dibahasakan setelah kepergian Maria dari bilik Papua. Aku hanya bisa diam. Semua kenangan dan kerinduan tentangnya meradang ingatan, ingin sekali aku membencinya yang telah pergi dari tapak-tapak hati yang rapuh.
Perasaanku tercabik-cabik, air mata berserakan, hidup bagaikan mahkota yang menyiksa.
Lampu kamarku kubiarkan redup. Sesekali kunyalakan, hanya ingin memastikan tanganku merangkai sebait elegi untuk Maria. Di luar rumah, hujan semakin deras dan suara gemuruh petir terus berdentum, aku terus memaksakan tubuhku untuk tetap stabil sampai tinta kering pada selembar kertas yang kutulis untuk Maria.
Elegi untuk Maria
Tuhan,
Perempuan itu Maria