Mohon tunggu...
Betarix polenaran
Betarix polenaran Mohon Tunggu... Buruh - Penulis dan Pencinta Sastra

Penulis lahir di Watobuku, 20 Juni 1995

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Kecil untuk Tuhan

16 Februari 2019   11:20 Diperbarui: 16 Februari 2019   12:04 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Raut wajahnya menunjukan rasa kecewa. Pada saat itu, hitungan waktu telah sirnah dalam diriku,sehingga aku tak mampu menandai setiap persinggahan.

Aku mulai menjelajahi bukit demi bukit hanya untuk bertemu Maria dan meminta maaf kepadanya. Akhirnya,aku memutuskan kembali pada tempat semula, tempat aku berjumpa Maria pertama kali diantara warung dan nisan serta berharap mendapatinya bersama tawa riangnya bukan tangis yang mengharukan. Namun, harapanku nihil. 

Di sana, kutemukan sebaris tulisan yang terukir di salah satu permukaan batu, tepat di samping nisan adik semata wayang. Tulisan berbunyi "Terima kasih telah mendengar ceritaku dan belum saatnya engkau harus mengerti. Salam Maria". Otakku mendadak panas. 

Aku berusaha memahami dan merasakan korelasi kuat antar setiap kata dan perlakuanku kepada Maria. "Maria, langit masih ada, bumi pun masih kau pijaki. Mengapa haru bersedih hati? ", ucapku menguatkan hatiku. Setelah kisah yang tak berujung itu, aku merelakan hatiku berdamai dengan waktu dan kembali ke kotaku. Bukan melupakan Maria, namun mengingatnya dengan cara yang cukup berbeda.

***

Siksa dan sebuah penyiksaan yang paling sulit dibahasakan setelah kepergian Maria dari bilik Papua. Aku hanya bisa diam. Semua kenangan dan kerinduan tentangnya meradang ingatan, ingin sekali aku membencinya yang telah pergi dari tapak-tapak hati yang rapuh.

Perasaanku tercabik-cabik, air mata berserakan, hidup bagaikan mahkota yang menyiksa.

Lampu kamarku kubiarkan redup. Sesekali kunyalakan, hanya ingin memastikan tanganku merangkai sebait elegi untuk Maria. Di luar rumah, hujan semakin deras dan suara gemuruh petir terus berdentum, aku terus memaksakan tubuhku untuk tetap stabil sampai tinta kering pada selembar kertas yang kutulis untuk Maria.

Elegi untuk Maria

Tuhan,

Perempuan itu Maria

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun