"Sudah lama menunggu, ya?" sapa Maria lalu menghampiriku. Warung sederhana itu kelihatan cukup ramai. "Tidak juga," balasku kalap. Tatapan mata orang-orang disekeliling terhadap Maria membuatku menjadi bingung dan mulai menerka-nerka."Â
Siapa sesungguhnya Maria, apakah gadis yang cukup familiar di kalangan public ataukah gadis malam seperti yang diceritakan pemilik warung beberapa detik sebelum kedatangan Maria? Ah, sekedar cerita lepas tanpa makna," kataku pelan sambil mengangkat bahu diiringi senyum sumringah. Matanya yang hampir mengabur berkaca-kaca pada sebuah gundukan tanah dimana adik semata wayang disemayamkan. "Apa yang terjadi, Maria?gerutuku.Aku menyimak serius cerita yang mengalir dari bibirnya yang mungil.
"Sebulan yang lalu di tempat ini terjadi pembantaian terhadap orang-orang terdekatku, diantaranya adalah adik semata wayang. Adikku, di masa lalu adalah sosok pemberontak. Ia bergabung dalam organisasi Papua Merdeka dan mengetahui banyak hal tentang kebobrokan para pembantai.
Ia juga banyak tahu nama-nama orang yang terlibat dalam aksi tersebut. Berulang-kali diceritakannya kepadaku tentang niatnya melawan bangsanya sendiri,berulang itu juga, kutegaskan kepadanya untuk berhenti memberontak karena tidak ada untngnya menjadi pemberontak di rumah sendiri", Katanya panjang lebar di sela-sela isak tangis yang mengharukan.Â
"Semua hanya permainan. Yang kuat menindas yang lemah dan mengklaim semua hal sesuai batas-batas keinginannya", Maria menambahkan. Tapi, sekali lagi aku benar-benar tidak mengerti apa yang dibicarakannya.Mungkin prahara di tanah air,mungkin kesombongan,mungkin keegoisan atau mungkin bukan apa-apa. Bagiku,apa pentingnya memahami yang tak bersangkut-paut dengan hidupku,keluargaku. Aku memang benar-benar egois.Â
Tampaknya,Maria mengerti apa yang aku pikirkan, itu terlihat ketika bola matanya mengenai bola mataku dengan tatapan kosong dan tidak peduli." Bolekah aku bertanya, mengapa di tanah Papua sering terjadi kekerasan dan berujung pada pelanggaran HAM?. Ini bukan isu baru.Â
Padahal, papua juga adalah anak kandung Indonesia. Itu seperti penelantaran sang ibu terhadap anak,"kataku ceplas-ceplos. Ada pecahan bening di bola matanya ketika pertanyaan itu terlontar tanpa kompromi. Tak bisa kubayangkan seperti apa kesedihan itu. Yang kumengerti adalah sisa pundak dan bayangannya yang mulai menghilang di hadapanku. Ia pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Hari beriktnya,menjadi waktu yang terasa panjang, aku mulai mencari Maria kembali. Tetapi tak menemukannya di antara warung, gundukan tanah bahkan diantara orang-orang yang datang lalu pergi. Namun, aneh. Setiap kali aku merasa Maria berada di dekatku meskipun hanya harapan kosong, kujumpai setetes darah segar menggumpal di dedaunan.
Nyaris putus asa, jiwaku pun menjadi kosong hingga melemahkan seluruh sendi tulang-tulangku. Ketika diriku menunjukan kekalahan atas perasaaku sendiri, seorang nenek tua renta menghampiriku dengan iba. " Nak, apa yang dikatakan Maria itu benar. Bangsa kami, bangsa buangan.Â
Darah Maria bukan darah Papua. Namun, karena keberanian keluarganya,maka mengalirlah darah papua. Kita satu rahim, bukan?"tanya nenek tua renta membuat pikiranku berkecamuk. "Selama ini, kami hidup dan tertawa bahagia di atas tangisan mereka", aku mempersalahkan diriku sendiri. Untuk beberapa detik,aku tertegun dan mencoba mencerna semua kalimat yang rasanya tak asing bagiku.
Aku mencoba mengamati wajahnya dalam-dalam.Ia menyimpan seribu satu luka dan kecewa yang sulit diungkapkan. "Lalu, dimana Maria?", tanyaku pendek. "Aku bertemu dengannya di persimpangan jalan. Ia hendak menuju ke bukit." "Ke bukit?"aku memotong pembicaraan nenek.Â