Cerpen Betrix Aran
 SURAT KECIL UNTUK TUHAN
(Buat kekasihku Maria yang pergi dari Bilik Papua)
Sepasang mata yang tak henti menangis usai membuka akun  facebook, lantaran keriangan lewat merdu suara Maria, bergaung lekat persis pada kuping. Perlahan-lahan meredup ketika aku mulai memberanikan diri menyeka air mata yang semula malu-malu jatuh pada pipi.Â
Pandanganku menyorot tajam saat melihat potret Maria pada selembar kertas yang semakin kumal. "Maria.......Maria.....secepat itukah? Perpisahan yang terlalu dini, membuat kita mengerti arti teguran Tuhan. Lalu, siapakah aku ini, sehingga Tuhan masih mencintaiku dengan sepotong hatinya yang berbinar-binar?", aku membathin.
Bertahun-tahun Maria dan seisi keluarganya hidup di Papua. Tentu, menjadi warga Papua bukanlah sesuatu hal yang mudah. Kartu tanda penduduk dan semua perlengkapan administrasi lainnya dilengkapi.Â
Maria tidak memiliki keberanian untuk pulang ke kampung halamannya dan benar,tabiat cita-cita memang demikian keras kepala.Gadis berwajah ayu, memiliki kulit sawo matang dan berambut lurus sepanjang bahu itu mengungkapkan isi hatinya beberapa menit sebelum keberangkatan menuju papua.
"Aku pergi dan kelak aku akan kembali lagi untuk sebuah hati yang telah kusebut paling dahulu. Itulah sebabnya, aku pergi namun hatikku selalu berada di sini", ujar Maria.
Beberapa tahun belakangan, Maria jarang memberi kabar tentang kehidupannya dan tentang kondisi keluarganya. Aku masih mengingatnya sampai sekarang saat upacara api unggun; senyumnya membias di linang hatikku, seolah-olah tidak ada lagi jarak untuk merekatkan jiwa yang gelisah pada jari-jari malam. Cinta pada giliran kami adalah soal hidup-dan hidup bukan cerita pendek yang sekali dieja melainkan perjuangan menuju perpisahan.
"Perpisahan? Dan, aku kalah dalam memberikan sebuah kepastian atas diriku sendiri-atas perasaan yang tumbuh bertahun --tahun. Ingin aku menangis sejadi-jadinya namun untuk apa meratapi kepergiannya. Ia pergi untuk kembali", aku seperti menasihati diriku sendiri.Â
Dan, seperti suratan takdir yang tertulis rapi oleh penyair Rendra bahwa engkau (Maria)Â tidak pernah mengerti bagaimana kesepianku menghadapi kemerdekaan tanpa cinta, membayangkan wajahmu itu siksa. Pertemuan pertama antara aku Maria terjadi di sebuah warung di pinggiran Papua.Â