Dilema dan Tantangan bagi Indonesia
Indonesia sebagai negara berkembang dan Capital Importir Coutry ,hadirnya pajak minimum global ini akan menjadi dilema khususnya terkait dengan masa depan insentif pajak ,di satu sisi sebagai Capital Importir Country membutuhkan yang namanya investasi asing, salah satu caranya kita bias memberikan insentif perpajakan seperti Tax Holiday , Tax Allowance, Super Tax Deduction.Tapi dengan adanya kebijakan minimum global,cara ini kurang efektif karena perusahaan multinasional tetap diwajibkan membayar pajak 15% pada tingkat global dari insentif yg di berikan di Indonesia.
Selain itu, Indonesia mengalami tantangan dalam mengikuti standar Organisation for Economic Co-Operation and Devlopment (OECD) karena Indonesia mau menjadi calon anggota OECD jadi Indonesia mau tidak mau harus mengikuti strandar yang ada. Yang selanjutnya jika Indonesia nantinya tidak menerapkan “pillar 2” maka Indonesia bisa di pajaki oleh negara lain.
"Oleh karena itu yang menjadi pekerjaan pemerintah, bagaimana mendesain arsitektur pekerjaan pemerintah, bagaimana mendesain arsitektur insentif pajak Indonesia agar tetap bisa menarik investor asing, tapi disisi lain juga tetap sejalan dengan penerapan pajak minimum global"ujar Yurike Yuri.
Strategi Indonesia di Tengah Persaingan Pajak Internasioanal
Langkah awal yang diambil melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 69 tahun 2024 yang memperpanjang periode Tax Holiday bagi wajib pajak sampai tahun 2025. Kemudian dipasal 15 A mengatakan bahwa wajib pajak yang mendapatkan Tax Holiday dan nanti akan masuk cakupan “Pillar 2”. Wajib pajak tersebut akan dikenakan Domestic Top Up Tax Holiday 0% lalu masuk cakupan “Pillar 2” jadi Tax Holiday tidak berlaku yang akhirnya menimbulkan dampak serius pada ketidakpastian bagi wajib pajak yang menerima Tax Holiday ini. Oleh karena itu pemerintah perlu mengatur ulang kebijkn pajak agar tetap relevan di era pajak minimum global.
Bagi Indonesia sebagai Capital Importir Country memang insentif itu jelas penting tetapi yang tidak kalah penting dan juga harus diterapkan adalah menciptakan sistem pajak yang lebih berkepastian hukum. Contohnya membatasi diskresi pihak otoritas, mengubah sistem pajak menjadi lebih sederhana, mengakomodasi hak-hak wajib pajak, menciptakan sistem pengambilan pajak yang lebih adil dan parsial, menciptakan proses penyelesaian sengketa pajak yang lebih efektif dan efisien. Dengan adanya stategi yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan reformasi ini untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih relevan yang mampu memperkuat posisi Indonesia di tengah persaingan pajak internasional.
Reformasi pajak global dengan penerapan pajak minimum sebesar 15% bertujuan untuk mengatasi penghindaran pajak dan pengalihan laba oleh perusahaan multinasional. Kebijakan ini penting untuk menciptakan keadilan pajak di era digital, namun menimbulkan tantangan bagi negara berkembang seperti Indonesia yang bergantung pada insentif pajak untuk menarik investasi asing. Indonesia menghadapi dilema antara mempertahankan daya tarik investasi dan mematuhi standar internasional OECD. Oleh karena itu, diperlukan desain ulang kebijakan perpajakan yang lebih sederhana, adil, serta memberikan kepastian hukum, agar mampu bersaing secara global sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi domestik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H