Dalam beberapa tahun terakhir, reformasi pajak global telah menjadi topik hangat di kalangan ekonom dan pembuat kebijakan. Salah satu inisiatif yang paling signifikan adalah pengenalan pajak minimum global, yang bertujuan untuk mengatasi penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Meskipun ide ini diharapkan dapat menciptakan kesetaraan pajak di antara negara-negara, implementasinya membawa tantangan tersendiri, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Pada Sabtu, 18 November 2024 kemarin program studi akuntansi perpajakan Universitas Padjajaran mengadakan Taxfest 2024 dengan mengusung tema "The Role Of Tax Treaties On Global Bussiness: Reforming Global Tax Rulles to Combat Digital-Era Tax Avoidance". Di acara tersebut mendatangkan salah satu pemateri luar biasa beliau adalah Ibu Yurike Yuki yang merupakan Assistant Manager of DDTC Consulting yang menjelaskan mengenai dampak reformasi pajak global terutama bagi perusahaan multinasional.
Dampak Global Tax Reform
Reformasi pajak global atau global tax reform ini merupakan langkah yang tepat untuk memperbaiki system perpajakan internasional yang saat ini di anggap udah tidak relevan dengan kondisi sekarang yang semua serba digital. Banyak sekali persoalan-persoalan yang mucul dalam perpajakan ini,seperti penghindaran pajak ( Tax Avoidance) dan pengalihan laba ( Profit Shifting),persoalan itu tadi dapat membuat kerugian dalam penerimaan pajak negara di seluruh dunia.
"Sebagai individu dampaknya tidak terlalu berasa, tetapi bagi perusahan multinasional Global Tax Reform ini bias dibilang sebagai Game Charger karena perubahannya sangat besar dan bersifat fundamental"ujar ibu Yurike Yuki.
Banyak persoalan yang menciptakan yang namanya Tax Avoidance atau penghindaran pajak,salah satunya yang paling mencolok alokasi hak pemajakan saat ini yang lebih berbasis pada kehadiran fisik. Pada akhirnya banyak potensi laba dari perusahaan multinasional yang hilang dari Pph Badan global setiap tahunnya, jadi 4-10% dari Global City Revenue menguap hilang entah kemana sekitar 1-240 miliar US Dollar setiap tahunnya. Hal ini di sebabkan oleh alokasi laba perusahaan ke negara dengan tarif pajak rendah atau biasa di sebut sebagai Tax Haven hal ini dapat memicu Profit Shifting atau pengalihan laba.
"Lebih baik saya taruh perusahaan saya yang labanya paling besar di negara yang tarif pajaknya rendah. Sedangkan yang labanya kecil di taruh di negara yang tarif pajaknya rendah agar tidak kena pajak"ujar ibu Yurike Yuri.
Untuk mengatasi persoalan-persoalan ini pada akhirnya pada tahun 2013-2015 Organisation for Economic Co-Operation and Devlopment (OECD) meluncurkan Best Project 15 rencana aksi yang pada intinya mereka ini mampu memerangi Tax Avoidace.
Two Pillar Solution
Selain itu Organisation for Economic Co-Operation and Devlopment (OECD) memperkenalkan solusi “Dua Pillar” .Jadi inti dari Pillar ke 2 ini penerapan pajak minimum global sebesar 15% ,hal ini di rancang untuk memastikan bahwa setiap perusahaan multinasional membayar pajak minimum di manapun mereka beroperasi.
Dilema dan Tantangan bagi Indonesia
Indonesia sebagai negara berkembang dan Capital Importir Coutry ,hadirnya pajak minimum global ini akan menjadi dilema khususnya terkait dengan masa depan insentif pajak ,di satu sisi sebagai Capital Importir Country membutuhkan yang namanya investasi asing, salah satu caranya kita bias memberikan insentif perpajakan seperti Tax Holiday , Tax Allowance, Super Tax Deduction.Tapi dengan adanya kebijakan minimum global,cara ini kurang efektif karena perusahaan multinasional tetap diwajibkan membayar pajak 15% pada tingkat global dari insentif yg di berikan di Indonesia.
Selain itu, Indonesia mengalami tantangan dalam mengikuti standar Organisation for Economic Co-Operation and Devlopment (OECD) karena Indonesia mau menjadi calon anggota OECD jadi Indonesia mau tidak mau harus mengikuti strandar yang ada. Yang selanjutnya jika Indonesia nantinya tidak menerapkan “pillar 2” maka Indonesia bisa di pajaki oleh negara lain.
"Oleh karena itu yang menjadi pekerjaan pemerintah, bagaimana mendesain arsitektur pekerjaan pemerintah, bagaimana mendesain arsitektur insentif pajak Indonesia agar tetap bisa menarik investor asing, tapi disisi lain juga tetap sejalan dengan penerapan pajak minimum global"ujar Yurike Yuri.
Strategi Indonesia di Tengah Persaingan Pajak Internasioanal
Langkah awal yang diambil melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 69 tahun 2024 yang memperpanjang periode Tax Holiday bagi wajib pajak sampai tahun 2025. Kemudian dipasal 15 A mengatakan bahwa wajib pajak yang mendapatkan Tax Holiday dan nanti akan masuk cakupan “Pillar 2”. Wajib pajak tersebut akan dikenakan Domestic Top Up Tax Holiday 0% lalu masuk cakupan “Pillar 2” jadi Tax Holiday tidak berlaku yang akhirnya menimbulkan dampak serius pada ketidakpastian bagi wajib pajak yang menerima Tax Holiday ini. Oleh karena itu pemerintah perlu mengatur ulang kebijkn pajak agar tetap relevan di era pajak minimum global.
Bagi Indonesia sebagai Capital Importir Country memang insentif itu jelas penting tetapi yang tidak kalah penting dan juga harus diterapkan adalah menciptakan sistem pajak yang lebih berkepastian hukum. Contohnya membatasi diskresi pihak otoritas, mengubah sistem pajak menjadi lebih sederhana, mengakomodasi hak-hak wajib pajak, menciptakan sistem pengambilan pajak yang lebih adil dan parsial, menciptakan proses penyelesaian sengketa pajak yang lebih efektif dan efisien. Dengan adanya stategi yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan reformasi ini untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih relevan yang mampu memperkuat posisi Indonesia di tengah persaingan pajak internasional.
Reformasi pajak global dengan penerapan pajak minimum sebesar 15% bertujuan untuk mengatasi penghindaran pajak dan pengalihan laba oleh perusahaan multinasional. Kebijakan ini penting untuk menciptakan keadilan pajak di era digital, namun menimbulkan tantangan bagi negara berkembang seperti Indonesia yang bergantung pada insentif pajak untuk menarik investasi asing. Indonesia menghadapi dilema antara mempertahankan daya tarik investasi dan mematuhi standar internasional OECD. Oleh karena itu, diperlukan desain ulang kebijakan perpajakan yang lebih sederhana, adil, serta memberikan kepastian hukum, agar mampu bersaing secara global sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi domestik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI