Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

ATAS, yang Diharapkan Selalu di Atas

9 Januari 2025   18:43 Diperbarui: 9 Januari 2025   18:43 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Majalah Pandu Rakyat Indonesia terbitan 28 Desember 1957. Di paling atas ada lambang Pandu Garuda. (Foto: Koleksi Kak Sudjono AM)

Sejak semalam hujan mengguyur dengan derasnya di lingkungan rumah saya, yang terletak di komplek perumahan Bintaro Jaya Sektor 9, Pondok Aren, Tangerang Selatan. Informasi dari beberapa teman, hujan juga turun dengan derasnya di sejumlah kawasan di Jakarta. Di lingkungan rumah saya, hujan baru reda siang ini, sekitar pukul 12.30 WIB.

Hari ini, bahkan sebenarnya sejak dua hari lalu, saya hendak menyelesaikan draft awal buku yang saya susun untuk memperingati 20 tahun Association of Top Achiever' Scouts yang disingkat ATAS. Ini adalah komunitas yang anggotanya adalah mereka yang sudah pernah mencapai tingkatan tertinggi sewaktu menjadi peserta didik di organisasi nasional kepanduan di negara masing-masing.

Di Indonesia, tingkatan tertinggi itu saat ini disebut Pramuka Garuda. Sejak Gerakan Pramuka menjadi satu-satunya organisasi nasional kepanduan di Indonesia yang dimulai pada 1961, keberadaan Pramuka Garuda resmi ada melalui Surat Keputusan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Nomor 045 tahun 1980, yang ditandatangani Ketua Kwartir Nasional Letjen. TNI (Purn.) Mashudi pada 28 Februari 1980.

Sebagaimana dikutip dari buku Berbakti Tanpa Henti - Catatan Perjalanan 60 Tahun Gerakan Pramuka 1961-2021 (ISBN 978-979-8318-51-1) dan buku Mengabdi Tanpa Batas - 110 Tahun Gerakan Kepanduan di Indonesia (ISBN 978-979-8318-67-3), yang diterbitkan oleh Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka, keberadaan Pramuka Garuda di Indonesia tidak lepas dari ikhtiar Sekretaris Jenderal Kwarnas pada masa bakti 1978 -- 1983, Kak Mayjen TNI (Purn.) Soedarsono Mertoprawiro. Selepas kunjungan muhibah ke Amerika Serikat, Kak Soedarsono mengajukan pembentukan skema Pramuka Garuda. Ide ini muncul setelah dia mempelajari skema Eagle Scout dan perkembangannya di Boy Scouts of America yang dinilai memiliki nilai positif dan menjadi program unggulan hingga hari ini di Amerika Serikat.

Kendati demikian, nama dan filosofi Pramuka Garuda tidak serta merta terinspirasi dari sumber-sumber luar negeri semata, melainkan juga diilhami dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Salah satunya ialah dengan lambang Pramuka Garuda yang diilhami oleh kehormatan lambang Negara Kesatuan  Republik Indonesia, Garuda Pancasila. Lambang tersebut kemudian diubah berdasarkan masukan dari Sekretariat Negara RI pada 1984, agar tidak persis sama dengan lambang negara.

Dalam data yang terdapat pada buku tersebut, dijelaskan pula bahwa awal pembentukannya, Pramuka Garuda belum melalui seleksi Syarat Kecakapan  Pramuka Garuda seperti saat ini. Namun, dipilih oleh pimpinan Kwartir Nasional berdasar penilaian dan pertimbangan perwakilan. Tercatat empat nama Pramuka Garuda pertama di Indonesia, di antaranya Kak Alfian Amura dan Kak Otten mewakili unsur Dewan Kerja Nasional, Kak Singgih Setyo Sayogo mewakili unsur Dewan Kerja Daerah dari Jawa Timur, dan Kak Berthold Sinaulan mewakili unsur Dewan Kerja Cabang dari Jakarta Timur.

Pandu Garuda

Ilustrasi Majalah Pandu Rakyat Indonesia terbitan 28 Desember 1957. Di paling atas ada lambang Pandu Garuda. (Foto: Koleksi Kak Sudjono AM)
Ilustrasi Majalah Pandu Rakyat Indonesia terbitan 28 Desember 1957. Di paling atas ada lambang Pandu Garuda. (Foto: Koleksi Kak Sudjono AM)

Sebenarnya, sebelum ada Pramuka Garuda, tingkatan tertinggi itu juga telah ada sejak zaman Hindia-Belanda. Gerakan kepanduan yang masuk ke Indonesia pada 1912, kemudian juga mempunyai tingkatan tertinggi semacam King's Scout. Setelah Indonesia merdeka, pernah ada pula Pandu Garuda. Paling tidak itu tercatat dalam ilustrasi pada Majalah Pandu Rakjat Indonesia terbitan 28 Desember 1957. Majalah milik Kak Sudjono Adimuljo, yang kemarin sempat saya amati isinya.

Ilustrasi satu halaman penuh pada majalah itu menggambarkan perjalanan seorang Pandu Rakyat. Dimulai dari seorang anak setelah dilantik menjadi Pemula Bungsu. Pemula saat ini sama dengan golongan Pramuka Siaga. Setelah itu, sang Pemula Bungsu bisa meningkat menjadi Pemula Bintang Satu dan Pemula Bintang Dua.

Dari golongan Pemula, bila anggota Pandu Rakyat terus aktif, dia akan meningkat dan berpindah ke golongan Perintis, yang saat ini sama dengan golongan Pramuka Penggalang. Berkebalikan dengan saat di golongan Pemula, dia akan naik menjadi Perintis Kelas 2 dan selanjutnya Perintis Kelas 1.

Dari golongan Perintis, setelah melalui Pengembangan Kelas 1, dia akan naik ke golongan Penuntun. Golongan yang saat ini sama dengan Pramuka Penegak. Di sinilah, seorang Pandu Penuntun dapat berusaha untuk mencapai tingkatan tertinggi sebagai peserta didik, yaitu Pandu Garuda.

Dalam ilustrasi tersebut digambarkan juga lambang Pandu Garuda, hanya karena dicetak dalam satu warna (monocolour), jadi tidak diketahui warna asli lambang Pandu Garuda itu. Hanya diperkirakan ada warna hitam sebagaimana warna kacu atau setangan leher Pandu Rakyat, serta warna merah dan putih.

Ilustrasi tersebut juga menampilkan sasaran akhir sebagai Pandu Garuda, yaitu ke masyarakat. Menjadi bagian dari masyarakat, dan sekaligus siap membantu masyarakat sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Masih Harus Dilengkapi

Lambang ATAS. (Foto: Koleksi ATAS World)
Lambang ATAS. (Foto: Koleksi ATAS World)

Kembali ke buku yang saya susun untuk menyambut 20 tahun ATAS. Wadah yang dinamakan ATAS tersebut berdiri pada 10 Desember 2004, ketika berlangsungnya Konferensi Kepanduan Asia-Pasifik ke-21 di Brunei Darussalam. Saat itu, sejumlah anggota delegasi dari organisasi nasional kepanduan di kawasan Asia-Pasifik yang pernah mencapai tingkatan tertinggi ketika masih menjadi peserta didik, sepakat untuk menggabungkan diri dalam satu wadah.

Setidaknya ada tiga nama yang diusulkan untuk menjadi nama bagi wadah komunitas persaudaraan tersebut. Akhirnya, diputuskan menggunakan nama Association of Top Achiever' Scouts yang disingkat ATAS. Singkatan itu juga bermakna baik bila dilihat dari Bahasa Melayu, bahasa yang digunakan di Brunei dan sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand di bagian Selatan. Atas dapat berarti yang paling tinggi, puncak, dan terbaik, yang diharapkan menjadi simbol bahwa para anggotanya adalah para pandu yang paling tinggi, puncak, dan terbaik di negara masing-masing.

Awalnya keanggotaan ATAS hanya terbuka di wilayah Asia-Pasifik saja, tetapi kemudian berkembang ke seluruh dunia. Itulah sebabnya, nama komunitas tersebut kini adalah ATAS World. Sampai saat ini, hampir 15.000 pandu yang pernah mencapai tingkatan tertinggi di negara masing-masing menjadi anggota ATAS World.

Pada Desember 2024, ATAS World merayakan ulang tahunnya ke-20 yang dilakukan secara hybrid di India dan diikuti secara online dari banyak negara. Pada perayaan itu, Presiden ATAS World, Simon Hangbock Rhee yang berasal dari Korea Selatan dan para pengurus lainnya yang sudah memegang jabatan secara sukarela selama 20 tahun, diganti dengan pengurus baru. Param Palany dari Malaysia dipilih menjadi Presiden ATAS World.

Ada yang menarik ketika dibuka pemilihan pengurus baru ATAS World. Manajemen lama mengumumkan diperlukan 4 orang untuk mengisi posisi pengurus baru ATAS World pada November 2024. Ternyata yang mendaftar memang hanya 4 orang, dan semuanya langsung terpilih. Di antara 4 orang itu kemudian memilih Presidennya, yang akhirnya mengerucut pada nama Param Palany.

Kenapa hal ini disebut menarik? Berbeda dengan pemilihan jabatan di banyak tempat yang peminatnya banyak -- sampai ada yang mengeluarkan biaya besar untuk memenangkan suatu jabatan tertentu -- pada pemilihan pengurus ATAS World peminatnya sangat terbatas. Hanya ada wakil dari Malaysia, Korea Selatan, India, dan Amerika Serikat. Padahal ini kepengurusan tingkat dunia.

Bagi yang belum tahu, menjadi pengurus ATAS World memang sukarela. Tidak digaji dan diberi honor apa pun. Jadi untuk mengikuti berbagai kegiatan wadah tersebut di berbagai negara, harus mengeluarkan uang dari kantung pribadi. Bukan itu saja. Simon Rhee misalnya mencontohkan, bahkan untuk biaya pembuatan setangan leher dan badge ATAS yang dibagikan secara gratis kepada anggota, dia menggunakan dana pribadi. Demikian pula pengurus lainnya, ikut urunan, membantu membiayai pembuatan setangan leher, badge, dan pelaksanaan kegiatan ATAS World.

Justru inilah yang membuat saya tertarik mengusulkan kepada Simon Rhee untuk menerbitkan buku 20 tahun ATAS. Banyak hal yang bisa diungkapkan. Sayangnya, sampai sekarang buku itu belum kunjung selesai. Masih banyak yang harus dilengkapi dalam draft yang sudah sekitar 80 persen selesai itu.

Persoalannya, praktis saya hanya menyiapkan sendiri. Bantuan yang terbatas hanya datang dari beberapa teman sesama anggota ATAS. Mereka adalah Sonny KIM Seung-Su (Korea Selatan), Chooi Yew Tzen (Malaysia), dan Goh Ye Heng (Singapura). Itu pun, seperti saya sebutkan, bantuannya terbatas.

Sementara itu, untuk melengkapi naskah buku, saya juga memohon bantuan naskah dari para Country Coordinator ATAS World. Dari sekian banyak, yang merespons hanya Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Australia. Ternyata memang tidak mudah menerbitkan buku yang datanya harus mengandalkan bantuan orang lain. Ya, betul. Saya memang harus mengandalkan bantuan orang. Data-data terkait tingkatan tertinggi dalam kepanduan di tiap negara dan sejarahnya, serta keberadaan para pandu negara bersangkutan dalam ATAS World, memang tidak mudah dijumpai. Meskipun menggunakan mesin pencari internet, data yang didapat sangat terbatas. Bantuan orang lain, khususnya para Country Coordinator ATAS World sangat dibutuhkan. Namun, karena respons dari mereka tidak banyak, menyebabkan penulisan buku tersebut terhenti.

Saya sudah menghubungi Presiden ATAS World, Param Palany. Semoga mendapat tanggapan baik, dan proyek penulisan buku itu dapat dilanjutkan. Paling tidak kalau buku itu terbit, dapat mendokumentasikan data sejarah perjalanan dan perkembangan ATAS World. Ya, semoga.

Bintaro Sektor IX, 9 Januari 2025

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun