Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Agama di Sekolah

6 Januari 2025   13:52 Diperbarui: 6 Januari 2025   13:52 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan agama dan ilustrasi siluet rumah-rumah ibadah di Indonesia. (Foto: Istimewa)

Minggu, 5 Ianuari 2025. Hari Minggu pertama pada tahun ini, dan seperti hari-hari Minggu sebelumnya, berangkat ke gereja untuk mengikuti ibadah Minggu pagi. Tema ibadah kali ini adalah "Hak Menjadi Anak-anak Allah" dengan pelayan firman Pendeta Des Elniat Gulo.

Jarum jam menunjukkan pukul 06.18 WIB ketika saya tiba di gedung GKI Maleo Raya. Ibadah akan dimulai pukul 07.00 WIB, masih banyak waktu untuk mempersiapkan diri. Ruang gereja juga masih agak sepi, hanya beberapa jemaat yang telah datang. Bersalaman dengan sejumlah anggota jemaat gereja lain yang telah saya kenal maupun yang baru saya kenal pada hari ini, mengawali aktivitas ketika masuk ke dalam gedung gereja. 

Seperti biasa, saya memilih tempat duduk di bangku ketujuh sebelah kiri dari depan. Selalu begitu, antara bangku keenam atau ketujuh, dan selalu bila masih ada tempat, saya memilih duduk di posisi sebelah kanan paling luar.

Tepat pukul 07.00 WIB ibadah dimulai, dan seluruh jemaat mengikuti seluruh rangkaian dengan baik. Seusai ibadah dan bersalaman dengan ibu pendeta serta para petugas lainnya -- seperti pengantar pendeta, petugas umum, lektor, dan penyambut jemaat -- saya kembali ke rumah. Hari ini, bersama istri, kami di rumah saja.

Sambil santai menikmati hari Minggu, saya memanfaatkan laptop membuka dan membaca beragam informasi yang ada. Salah satunya adalah berita tentang keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pendidikan agama yang harus menjadi mata pelajaran wajib di sekolah dasar dan menengah di negara kita. Keputusan MK tersebut ditetapkan oleh Hakim Arief Hidayat pada 3 Januari 2025.

Sebagai negara yang berlandaskan Pancasila, di mana pada sila pertama menyebutkan tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadikan pendidikan agama sebagai mata pelajaran wajib di sekolah sebenarnya hal yang wajar. Tanpa ada keputusan MK pun, seharusnya pendidikan agama memang wajib diberikan di semua institusi pendidikan di negeri kita.

Tadi di gereja dibahas soal "hak", kini di berita terbaca mengenai kata "wajib". Hak dan kewajiban memang bagaikan dua sisi dari mata uang yang sama. Ada hak tentu ada kewajiban, demikian pula sebaliknya.

Itulah sebabnya, yang mungkin perlu dicermati dalam pelaksanaan pendidikan sebagai mata pelajaran wajib tersebut, adalah tersedianya guru dan bahan ajar untuk semua agama yang diakui di Indonesia. Terutama di sekolah-sekolah negeri, yang terbuka bagi siswa pemeluk semua agama. Guru agama di sekolah negeri harus tersedia sesuai dengan agama siswa yang mengikuti pendidikan di sekolah tersebut. Misalnya di sekolah tersebut ada siswa dari agama minoritas -- apa pun itu -- meski jumlah hanya seorang, sekolah seyogyanya menyediakan guru dan bahan ajar sesuai agama siswa tersebut.

Hal tersebut juga disepakati oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti. Seperti dikutip dari Antara pada Sabtu (4/1/2025), Mendikdasmen mengatakan bahwa keputusan MK tersebut memperkuat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyebutkan bahwa setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama seusai dengan agamanya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.

Belajar Toleransi

Tak kalah pentingnya, pendidikan agama yang diajarkan di sekolah-sekolah, sepatutnya pula menjadi sarana untuk belajar toleransi, saling pengertian di antara semua siswa, yang pada gilirannya nanti akan membantu siswa itu mampu bertoleransi dengan warga yang berbeda agama dengannya.

Kurikulum pendidikan dari semua agama yang diajarkan di sekolah, sepatutnya diusahakan mampu membentuk siswa menjadi manusia-manusia yang taat kepada ajaran agamanya, tetapi pada saat bersamaan, juga menghargai keberadaan agama lainnya.

Kita tentu berharap kasus-kasus saling mencela antarpemeluk agama semakin lama semakin berkurang, dan sebelum peringatan 100 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2045, kasus dan permasalahan agama sudah tidak ada lagi di bumi Nusantara tercinta ini.

Saling mencela bukan hanya di antara mereka yang berbeda agama, tetapi saat ini juga terjadi saling mencela di antara pemeluk agama yang sama. Hanya karena perbedaan pandangan tentang cara melaksanakan ajaran agama, terjadi pertentangan yang bahkan sempat menjadi pertentangan fisik.

Apalagi di antara umat yang berbeda agama. Masih cukup sering terdengar berita kekerasan baik secara verbal atau lisan dan tulisan maupun secara fisik kepada mereka yang berbeda agama. Tentu hal ini bukan yang diinginkan kita semua, dan karenanya kurikulum yang diajarkan di sekolah harus mampu memberikan pengertian dan pemahaman kepada semua tentang pentingnya hidup saling menghargai dan saling membantu tanpa membedakan latar belakang agama yang dianut.

Ujaran Kebencian

Terkait dengan sikap saling menghargai itu, kurikulum yang diberikan kepada para siswa juga harus mampu menjadi sadar, "Kalau saya berbohong atau menyampaikan ujaran kebencian, maka saya berdosa besar."

Berkembangnya digitalisasi dan media sosial saat ini, cenderung menyuburkan pula ujaran kebencian. Apalagi ditambah dengan narasi yang menjijikkan, saling menyudutkan dengan membongkar aib pribadi. Begitu menjijikkan, sampai-sampai masalah perilaku seksual dijadikan bahan untuk menjelekkan orang lain.

Seperti yang akhir-akhir ini terjadi. Dimulai dari menjelekkan perilaku seksual seorang  tokoh yang konon -- sekali lagi ditegaskan kata "konon", karena belum jelas kebenarannya -- menyenangi waria, lalu ada tokoh yang dinarasikan selingkuh dengan menampilkan foto sedang "cipika-cipiki", sampai ada yang diejek soal kisah seksual dengan mantan pasangan, dan juga perilaku seks di luar nikah lainnya.

Dari segi agama apa pun, perilaku seks di luar nikah dan juga kecenderungan menyukai sesama jenis, rasanya memang tidak dibenarkan. Namun, kalau hal itu yang dijadikan "senjata" untuk menghancurkan pribadi orang lain, juga tidak dapat dibenarkan. Sayangnya, hal tersebut seolah menjadi biasa dan dipertontonkan setiap saat melalui berbagai akun media sosial.

Contoh-contoh buruk di masyarakat itu seyogyanya mampu diberikan pemahaman oleh para guru, khususnya guru agama, agar dijauhi dan tidak ditiru. Itulah sebabnya, pendidikan agama sebaiknya menjadi sekaligus pendidikan budi pekerti, yang tidak semata-mata mengajarkan aturan agama, tetapi dapat ditunjukkan kebenarannya dengan merujuk pada contoh-contoh yang ada di kehidupan masyarakat luas setiap hari.

Semoga melalui pendidikan agama yang sudah diwajibkan di sekolah, kehidupan bermasyarakat di Indonesia menjadi lebih baik.

Bintaro Sektor IX, 5 Januari 2025

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun