Dunia kepramukaan gempar. Limapuluh juta lebih anggota gerakan kepramukaan di dunia tersentak dengan berita yang dilansir British Broadcasting Corporation (BBC). Lembaga penyiaran publik Inggris itu menampilkan berita berjudul "Robert Baden-Powell statue to be removed in Poole" dalam laman BBC News pada 11 Juni 2020 (lengkapnya silakan buka tautan ini). Judul berita itu bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia kurang lebih berarti "Patung Robert Baden-Powell akan Ditiadakan di Poole".
Bagi para Pramuka, nama Robert Baden-Powell jelas mempunyai arti yang sangat penting dalam sejarah gerakan pendidikan tersebut. Bernama lengkap Robert Stephenson Smyth Baden-Powell, dia adalah seorang purnawirawan tentara Kerajaan Inggris dengan pangkat terakhir letnan jenderal. Baden-Powell kemudian mendirikan gerakan kepramukaan atau kepanduan atau dalam Bahasa Inggris disebut the Scouting Movement.
Gerakan pendidikan nonfomal yang mengutamakan pendidikan di alam terbuka untuk mendidik keterampilan jasmani dan rohani untuk anak-anak dan remaja agar mempunyai budi pekerti yang baik dan diharapkan dapat menjadi manusia-manusia berguna di masa depan. Gerakan pendidikan itu melengkapi pendidikan informal di lingkungan keluarga dan masyarakat, serta pendidikan formal di sekolah dan lembaga pendidikan lainnya.
Bermula di Inggris pada 1907 ketika dia mengajak sekitar 20 anak dari London pada 1 Agustus 1907 untuk berkemah di Pulau Brownsea. Untuk menyeberang ke Pulau Brownsea itu, mereka menggunakan kapal kecil semacam ferry dari Pelabuhan Poole. Baden-Powell yang kelak diberi gelar Lord menuliskan pengalamannya itu dalam buku Scouting for Boys, yang menjadi awal mula lahirnya gerakan kepramukaan di Inggris dan segera menyebar ke seluruh dunia. Itulah sebabnya di Pelabuhan Poole didirikan patung Baden-Powell yang sedang duduk menghadap ke laut, dan matanya memandang Pulau Brownsea.
Namun kini, patung itu akan ditiadakan. Memang bukan berarti dihancurkan, tetapi tetap saja diangkat dari tempat patung itu berdiri sekarang. Menurut perwakilan Dewan Kota  Bournemouth, Christchurch and Poole (BCP), pengangkatan patung itu atas saran pihak kepolisian, untuk melindungi agar patung itu tidak dihancurkan oleh pemrotes.Â
Saat ini gerakan protes yang dimulai di Amerika Serikat dengan tagar #BlackLivesMatter karena kematian tak wajar George Floyd, seorang warga kulit hitam di tangan polisi, telah menyebar ke seluruh dunia. Bukan hanya memprotes perlakuan terhadap orang kulit hitam, tetapi juga ketidakadilan terhadap orang atau bangsa lainnya.
Baden-Powell oleh para pemrotes dianggap ada bagian hidupnya yang "kurang layak ditampilkan". Dia dituduh homophobia (sikap dan perasaan negatif terhadap kaum homo, dan juga menyangkut lesbian, gay, biseksual, dan transgender), rasis, dan mendukung Hitler. Padahal jelas semua tuduhan itu tak berdasar.
"Kacamata yang Benar"
Contoh lain, Soekarno jangan dianggap sebagai kolaborator terhadap penjajah Jepang hanya karena dia mau menggunakan rumah perwira Jepang, Laksamana Meada di Jakarta, untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan RI. Itu adalah kesempatan bagi Soekarno dan kawan-kawan, karena Maeda cukup bersimpati pada dirinya. Memanfaatkan peluang yang mungkin tak datang dua kali, untuk hasil yang lebih luas, Indonesia merdeka.
Demikian juga dengan Baden-Powell. Pada awal 1900, homoseksualitas merupakan hal terlarang di Inggris. Apalagi pengaruh kuat kerajaan dan gereja yang melarang hal tersebut. Sebagai warga yang patuh dan memang sejak kecil dia dididik secara rohani oleh ibunya -- setelah ayahnya wafat ketika Baden-Powell baru berusia 3 tahun -- tentu dia mengikuti ajaran agamanya. Lebih lagi, dia menekankan pula pendidikan budi pekerti ketika mendirikan gerakan kepramukaan.
Sementara terkait dengan rasisme, hal ini dianggap terjadi ketika dia memimpin pasukannya di Afrika bagian selatan. Dalam perang Mafeking (sekarang Mafikeng yang merupakan bagian dari Afrika Selatan), Baden-Powell dianggap lebih mengutamakan pasukannya mendapatkan makanan, sehingga membiarkan penduduk lokal kelaparan.
Lagi-lagi ini tuduhan yang tak berdasar.Ini bukan soal rasisme, bukan pula Baden-Powell lebih mementingkan orang kulit putih yang kebetulan menjadi prajuritnya dibandingkan orang kulit hitam penduduk lokal di situ. Ini persoalan Baden-Powell sebagai komandan, tentu dia bertanggung jawab terhadap keselamatan prajuritnya. Di mana pun, komandan yang baik tentu akan mengutamakan kepentingan anak buahnya.
Sedangkan soal dukungan Baden-Powell terhadap Hitler juga salah alamat. Tidak pernah ada bukti bahwa Baden-Powell pernah menuliskan dukungannya terhadap Hitler atau bertemu dengan Hitler. Dia hanya pernah bertemu dengan pemimpin organisasi pemuda Hitler. Sebenarnya, pertemuan itu dilakukannya adalah untuk menyelamatkan gerakan kepramukaan di Jerman.
Ketika Hitler menguasai Jerman, maka gerakan kepramukaan dibekukan dan digantikan oleh organisasi pemuda Hitler.Baden-Powell mencoba mendekati pemimpin organisasi pemuda itu,. Dia mencoba bernegosiasi agar gerakan kepramukaan tetap diperbolehkan mengadakan kegiatan di Jerman. Sayang, upaya itu kandas. Gerakan kepramukaan baru kembali dibolehkan beraktivitas di Jerman setelah Hitler kalah pada akhir Perang Dunia II.
Sekadar Ikut-ikutan
Kasus terhadap patung Baden-Powell ini menunjukkan betapa banyak orang terkesan sekadar ikut-ikutan. Ada protes #BlackLivesMatter, langsung ikut-ikut tampil berdemonstrasi dan meneriakkan kata-kata protes. Sampai tentang keberadaan patung pun dipersoalkan.
Persoalan protes yang meluas ke hampir seluruh dunia itu, sempat pula "menyerempet" Indonesia. Masih menggunakan tagar #BlackLivesMatter, sejumlah orang di luar negeri mempertanyakan perlakuan Pemerintah Indonesia yang dianggap mereka kurang memberi perhatian kepada saudara-saudara kita di Papua. Tidak jelas siapa yang memulai, tetapi protes itu rupanya mencoba mengaitkan warna kulit kebanyakan orang Papua dengan tagar #BlackLivesMatter.
Padahal di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo saat ini, Papua justru amat diperhatikan. Begitu pula dalam pemerintahan-pemerintahan Presiden sebelumnya. Provinsi Papua dan Papua Barat jelas merupakan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan untuk itu Pemerintah pasti menaruh perhatian untuk ikut pula merawat dan menjaganya, bersama-sama dengan provinsi lain.
Bagi para Pramuka di Indonesia yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 24 juta anggota, saudara-saudara di Papua dan Papua Barat juga bagian dari ikatan persaudaraan yang tak terpisahkan. Seperti pernah dikatakan Baden-Powell, seorang Pramuka adalah saudara dari Pramuka lainnya, walaupun berbeda-beda agama, ras, dan kelas sosialnya.
Jelas dari awal mendirikan gerakan kepramukaan, Baden-Powell menekankan semangat persaudaraan sesama Pramuka, dan saling tolong-menolong, tanpa membedakan latar belakang. Maka, meniadakan patung Baden-Powell adalah perbuatan yang berlebihan. Tak perlu.
Bintaro Sektor IX, 11 Juni 2020 -- pukul 22.35 WIB
Catatan: Tulisan ini diikutsertakan dalam Ajang 30 Hari Menulis yang diselenggarakan Komunitas Nulis Aja Dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H