Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sri Sultan, Supratman, dan Pramuka

12 April 2020   12:37 Diperbarui: 12 April 2020   12:41 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, 12 April 2020, kita -- khususnya para anggota Gerakan Pramuka di mana saja berada -- memperingati Hari Bapak Pramuka Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tanggal 12 April diambil dari tanggal kelahiran beliau, pada 12 April 1912.

Hampir bersamaan waktunya, penulis baru saja mendapat tambahan beberapa lembar koleksi uang kertas Indonesia. Salah satunya berupa uang kertas dengan harga pecahan nominal (harga satuan) Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah) yang bagian depannya bergambar wajah Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan latar belakang kegiatan kepramukaan. Di bagian belakangnya terdapat gambar Candi Borobudur.

Uang kertas itu pertama kali diterbitkan pada 1992, dalam satu set yang terdiri dari enam harga pecahan nominal, masing-masing Rp 100, Rp 500, Rp 1.000, Rp 5.000, Rp 10.000, dan Rp 20.000. 

Sekadar informasi tambahan pecahan Rp 100 bergambar utama perahu pinisi, Rp 500 bergambar orangutan, Rp 1.000 bergambar Danau Toba, Rp 5.000 bergambar alat musik sasando, Rp 10.000 bergambar Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan Rp 20.000 bergambar burung Cenderawasih. 

Jadi dari satu yang terdiri dari 6 harga pecahan nominal itu, hanya satu yang bergambar wajah orang Pahlawan Nasional, yaitu pecahan Rp 10.000 dengan gambar Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Semua uang kertas itu ada tanda tangan Gubernur Bank Indonesia, Prof. Dr. Adrianus Mooy, yang menjabat antara 1988 sampai 1993. Khusus uang kertas dengan harga pecahan nominal Ro 10.000 yang bergambar Sri Sultan Hamengku Buwono IX, beberapa kali dicetak ulang sampai terakhir digunakan pada 1998. 

Pada 1998 ini, dikeluarkan uang pengganti antara lain untuk pecahan Rp 10.000. Uang kertas tersebut menampilkan gambar utama Tjut Nja' Dhien, pahlawan nasional perempuan dari Aceh.

Bapak Pramuka Indonesia

Kembali ke uang kertas bergambar Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Gambar dirinya dengan latar belakang kegiatan kepramukaan dalam perkemahan memang sudah sepantasnya. 

Kak Sultan, demikian panggilan akrabnya di lingkungan Gerakan Pramuka, adalah salah satu tokoh utama Gerakan Pendidikan Kepanduan Praja Muda Karana, wadah pendidikan non formal untuk pembentukan karakter bagi anak-anak dan remaja di Indonesia.

Gerakan Pramuka yang saat ini tercatat mempunyai jumlah anggota sekitar 25 juta dan merupakan organisasi kepanduan terbesar di dunia, mulai berdiri secara resmi pada 1961. 

Sebelumnya, sejak 1912 ketika Indonesia masih dalam penjajahan Belanda dan disebut Hindia-Belanda, telah ada organisasi kepanduan. Berawal dari satu organisasi, lama-kelamaan menjadi begitu banyaknya.

Sampai akhir 1950-an tercatat ada sekitar 60 organisasi kepanduan di Indonesia. Itulah yang menyebabkan Presiden Soekarno dibantu Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyatukan semuanya dalam satu wadah yang disebut Gerakan Pramuka. 

Sri Sultan Hamengku Buwono IX jugalah yang menjadi ketua pertama Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka. Jabatan yang  disandangnya beberapa kali, mulai masa bakti 1961-1963, 1963-1967, 1967-1970, sampai 1970-1974. Dalam masa baktinya itu, Gerakan Pramuka dikembangkan dengan baik.

Keputusan Munas Gerakan Pramuka 1988 yang menetapkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Bapak Pramuka Indonesia. (Foto: koleksi Kwarnas)
Keputusan Munas Gerakan Pramuka 1988 yang menetapkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Bapak Pramuka Indonesia. (Foto: koleksi Kwarnas)
Atas jasa-jasanya, pada Musyawarah Nasional (Munas) Gerakan Pramuka Tahun 1988 yang diadakan di Dili (saat itu masih merupakan ibu kota Provinsi Timor Timur), Sri Sultan Hamengku Buwono IX ditetapkan dengan suara bulat sebagai Bapak Pramuka Indonesia. 

Keputusan ditandatangani pada 8 November 1988 oleh Letjen TNI (Purn) Mashudi, Ketua Kwarnas saat itu yang juga menjadi Ketua Sidang dalam Munas Gerakan Pramuka 1988.

Wage Rudolf Supratman

Jelas sudah bahwa Perum Percetakan Uang RI (Peruri) sebagai pihak yang mendesain dan mencetak uang bergambar Sri Sultan Hamengku Buwono IX sudah tepat menampilkan wajah Bapak Pramuka Indonesia itu dengan latar belakang kegiatan kepramukaan di perkemahan. Walau dikenal sebagai Sultan Yogyakarta, beliau memang sangat lekat dengan kepramukaan.

Namun menariknya, uang kertas itu juga menampilkan tanda air yang gambarnya bisa disebut berhubungan pula dengan kepramukaan. Tanda air atau watermark adalah salah satu metode pengamanan uang kertas agar bisa dikenali sebagai uang asli dan bukan palsu. 

Tanda air itu biasanya dalam bentuk bayangan yang tidak terlihat langsung, dan baru bisa dilihat bila lembaran uang kertas tadi diterangi dengan sinar ultra violet atau ditengadahkan lembaran uangnya ke arah sinar matahari.

Untuk uang kertas dengan harga pecahan nominal Rp 10.000 bergambar Sri Sultan Hamengku Buwono IX ini, tanda airnya adalah wajah Wage Rudolf Supratman. Bisa dipastikan mendengar atau membaca nama itu, banyak yang sudah tahu siapa Supratman tersebut. 

Betul, beliau adalah pencipta lagu Indonesia Raya, yang pertama kali diperdengarkan dengan gesekan biolanya pada Kongres Pemuda 28 Oktober 1928. Lagu itu di kemudian hari dijadikan lagu kebangsaan Republik Indonesia.

Tapi apa hubungannya Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Wage Rudolf Supratman? Yang pasti, keduanya adalah Pahlawan Nasional. Namun di luar itu, Wage Rudolf Supratman juga sedikit banyak kehidupannya terkait dengan kepramukaan. 

Sumber sejarah hanya menyebutkan bahwa Supratman pernah ikut latihan kepanduan sewaktu anak-anak, dan setelah itu dia lebih dikenal sebagai wartawan dan pemusik.

Namun bila diperhatikan baik-baik, jiwa kepanduan tampaknya amat melekat pada diri Supratman. Dalam lagu Indonesia Raya satu-satunya organisasi pendidikan yang disebutkan secara jelas oleh Supratman hanyalah organisasi pendidikan para pandu. Di bagian awal lagu Indonesia Raya, Suprtaman menulis lirik "...jadi Pandu ibuku ....".

Tidak hanya di situ. Bila didengar secara lengkap Indonesia Raya dalam tiga stanza-nya, maka kata "pandu" disebutkan lagi dalam stanza ketiga. Di situ disebutkan antara lain, "... majulah negerinya, majulah Pandunya, untuk Indonesia Raya...".

Kedekatan Supratman dengan kepanduan. Dia sering mengajak para pandu untuk ikut konser musik yang diadakannya. Bahkan saat ia ditangkap agen polisi Hindia-Belanda karena aktivitasnya mendorong kemerdekaan Republik Indonesia, Supratman tengah bersama sejumlah pandu bermain musik menyiarkan lagu ciptaannya terbaru "Matahari Terbit" pada Agustus 1938. 

Supratman dan para pandu tengah bermusik di studio radio NIROM di Jalan Embong, Surabaya, ketika sepasukan polisi Hindia-Belanda menggeledah tempat itu dan menangkapnya.

Supratman ditahan di Penjara Kalisosok, namun kemudian meninggal dunia pada 17 Agustus 1938. Siapa sangka tanggal 17 Agustus itu pada tujuh tahun kemudian, tepatnya 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun