Sebelumnya, sejak 1912 ketika Indonesia masih dalam penjajahan Belanda dan disebut Hindia-Belanda, telah ada organisasi kepanduan. Berawal dari satu organisasi, lama-kelamaan menjadi begitu banyaknya.
Sampai akhir 1950-an tercatat ada sekitar 60 organisasi kepanduan di Indonesia. Itulah yang menyebabkan Presiden Soekarno dibantu Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyatukan semuanya dalam satu wadah yang disebut Gerakan Pramuka.Â
Sri Sultan Hamengku Buwono IX jugalah yang menjadi ketua pertama Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka. Jabatan yang  disandangnya beberapa kali, mulai masa bakti 1961-1963, 1963-1967, 1967-1970, sampai 1970-1974. Dalam masa baktinya itu, Gerakan Pramuka dikembangkan dengan baik.
Keputusan ditandatangani pada 8 November 1988 oleh Letjen TNI (Purn) Mashudi, Ketua Kwarnas saat itu yang juga menjadi Ketua Sidang dalam Munas Gerakan Pramuka 1988.
Jelas sudah bahwa Perum Percetakan Uang RI (Peruri) sebagai pihak yang mendesain dan mencetak uang bergambar Sri Sultan Hamengku Buwono IX sudah tepat menampilkan wajah Bapak Pramuka Indonesia itu dengan latar belakang kegiatan kepramukaan di perkemahan. Walau dikenal sebagai Sultan Yogyakarta, beliau memang sangat lekat dengan kepramukaan.
Namun menariknya, uang kertas itu juga menampilkan tanda air yang gambarnya bisa disebut berhubungan pula dengan kepramukaan. Tanda air atau watermark adalah salah satu metode pengamanan uang kertas agar bisa dikenali sebagai uang asli dan bukan palsu.Â
Tanda air itu biasanya dalam bentuk bayangan yang tidak terlihat langsung, dan baru bisa dilihat bila lembaran uang kertas tadi diterangi dengan sinar ultra violet atau ditengadahkan lembaran uangnya ke arah sinar matahari.
Untuk uang kertas dengan harga pecahan nominal Rp 10.000 bergambar Sri Sultan Hamengku Buwono IX ini, tanda airnya adalah wajah Wage Rudolf Supratman. Bisa dipastikan mendengar atau membaca nama itu, banyak yang sudah tahu siapa Supratman tersebut.Â
Betul, beliau adalah pencipta lagu Indonesia Raya, yang pertama kali diperdengarkan dengan gesekan biolanya pada Kongres Pemuda 28 Oktober 1928. Lagu itu di kemudian hari dijadikan lagu kebangsaan Republik Indonesia.