Tepat pada hari Natal, 25 Desember 1918 atau seratus tahun lalu, dimulai pembangunan gedung ini di Bandung. Seratus tahun kemudian, tanpa sengaja saya menemukan jejaknya kembali ketika berkunjung ibu kota Provinsi Jawa Barat pada 23-24 Desember 2018.
Senin, 24 Desember 2018, adalah hari kedua kunjungan saya dan istri serta dua teman istri ke Bandung. Setelah dari pagi keliling ke beberapa tempat di kota tersebut yang semakin macet jalannya karena musim liburan akhir tahun telah tiba dan banyak wisatawan luar kota datang ke kota itu, kami pun ingin menikmati teh dan kopi serta jajanan kecil di sore hari.
Atas saran pak supir mobil sewaan yang kami tumpangi, kami pun diarahkan ke suatu tempat kuliner bernama Ambrogio Pattiserie yang terletak di Jalan Banda, tepat di depan GOR Saparua, Bandung. Ketika kami datang, tempat itu sudah cukup penuh. Belasan mobil sudah terparkir baik di halaman maupun di seberang jalannya.
Di samping restoran itu, ada halaman dari sebuah gedung kuno, yang juga digunakan sebagai tempat parkir kendaraan. Gedung itu tampaknya sudah tak digunakan lagi. Terlihat dari bangunannya yang kusam, tak terawat, dan pintunya pun tertutup rapat. Satu-satunya yang terpakai hanyalah halaman gedung itu.
Melihat sekilas, tampak memang arsitektur bangunan itu adalah sebuah gedung kuno dari zaman Hindia-Belanda. Di bagian atas bangunan itu masih terlihat jelas tulisan "S. Albanus", lalu di bawahnya terdapat kalimat "Geredja Katholik Bebas". Dilihat dari penulisan kata "geredja" yang masih menggunakan ejaan lama Bahasa Indonesia, jelas bahwa itu adalah bangunan kuno. Sebagai orang yang menyukai dan mendalami sejarah dan kepurbakalaan, langsung timbul minat saya untuk mengetahui lebih jauh tentang gedung yang sudah tak terpakai lagi itu.
Informasi tersebut saya peroleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan Komunitas Aleut, suatu komunitas apresiasi sejarah dan wisata Kota Bandung. Dari situs web komunitas itu terdapat tulisan berjudul "Gereja Katholik Bebas Santo Albanus" yang diunggah pada 11 April 2016. Tulisan itu mengacu pada tulisan sebelumnya yang diunggah komunitas itu pada 5 Februari 2010 berjudul "Bandung's Lost Symbol". Di situ diceritakan cukup rinci mengenai keberadaan gedung yang saya lihat dalam kunjungan ke Bandung akhir Desember 2018 ini.
Dijelaskan, di gedung tersebut terdapat plakat atau piagam yang menyebutkan gedung itu mulai dibangun pada 25 Desember 1918. Berarti tepat 100 tahun lalu, berarti pula dari segi Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, bangunan ini sudah layak menjadi bangunan cagar budaya dari segi usianya.
Bukan hanya dari segi usia, bangunan itu juga merupakan bangunan unik dalam sejarah Kekristenan di Tanah Air, khususnya agama Katholik. Apalagi sesuai dengan namanya, Gereja Katholik Bebas, maka sebenarnya aliran ini tidak berpusat pada Paus di Vatikan, sebagaimana agama Katholik pada umumnya.
Kelebihan lainnya, perancang bangunan ini juga bukan orang sembarangan. Berdasarkan informasi yang diperoleh Komunitas Aleut, arsitek yang merancang gedung itu adalah Ghijsels, atau lengkapnya bernama Frans Johan Louwrens Ghijsels, sering pula disingkat FJL Ghijsels. Meski dari namanya langsung dapat ditebak dia adalah orang Belanda, namun Ghijsels sebenarnya lahir di Tulungagung (Jawa Timur) pada 8 September 1882, dan meninggal dunia di Overveen, Bloemendal, Belanda, pada 2 Maret 1947.
Dari tangan arsitek ini banyak lahir bangunan dan gedung-gedung fenomenal di Indonesia. Sebut saja antara lain Stasiun KA Jakarta Kota -- atau juga dikenal dengan sebutan Stasiun Beos -- dan Gereja (GPIB) Paulus di dekat Taman Surapati, Jakarta Pusat, serta bekas Kantor KPM di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, yang kini menjadi Kantor Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Selain di Indonesia, Ghijsels juga mengarsiteki beberapa bangunan penting di Belanda.