Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tagar Puisi Prabayar Bermunculan

16 Januari 2018   14:46 Diperbarui: 16 Januari 2018   15:58 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tagar (tanda pagar) atau hashtag dalam Bahasa Inggris #puisiprabayar bermunculan. Sejumlah penyair Indonesia mulai menggunakan tagar #puisiprabayarsebagai protes terhadap aktivitas yang dilakukan pengamat politik dan konsultan publik Denny JA. Yang bersangkutan membayar Rp 5 juta untuk setiap karya yang disebutnya puisi esai, dan untuk yang disetujui, diberikan Rp 1 juta lebih dulu sebagai uang muka.

Sebenarnya ada orang, katakanlah pengusaha atau instansi yang membayar seorang sastrawan untuk menulis sesuatu bukan hal asing. Penulis biografi banyak mendapatkan pesanan dari sejumlah orang yang bahkan sanggup membayar uang muka cukup besar. Penulis novel pun begitu, ada sebagian penulis novel yang ditawari menulis novel tema tertentu dengan bayaran yang cukup lumayan.

Di kalangan penulis puisi atau penyair pun, ada beberapa penyair yang mendapat proyek untuk menerbitkan antologi dengan tema tertentu dari perusahaan, instansi, atau perorangan. Sang penyair kemudian menjadi kordinator sekaligus kurator dalam mengumpulkan puisi-puisi dari teman sesama penyair untuk diterbitkan dalam satu antologi.

Persoalannya mungkin terkait #puisiprabayar yang ditengarai adalah usaha dari seseorang untuk menjadikan dirinya sebagai tokoh sastra dengan modal uang yang cukup besar. Sebelumnya, nama yang bersangkutan masuk ke dalam 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruhpada akhir 2013, dan kemudian menjadi bahan perdebatan di kalangan sastrawan khususnya dan publik penggiat literasi umumnya.

Dalam buku itu, Denny JA menderetkan namanya dalam daftar tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh. Tentu ini membuat masyarakat kaget, karena yang bersangkutan sebelumnya hampir tidak pernah tampil dalam "dunia kesusastraan". Publik hanya mengenal beliau sebagai analis politik dan salah satu yang survei-surveinya -- kebanyakan survei politik -- dikenal luas.

Namun di bidang kesusastraan, nama dan karyanya bisa dikatakan hampir tidak mempunyai pengaruh. Buku tersebut disusun oleh Tim 8 dari Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin. Ada isu yang menyebutkan bahwa yang bersangkutan merupakan penyandang utama dalam penerbitan buku itu.

Isu itu tidak jelas, tapi kini yang bersangkutan membuat proyek penulisan puisi esai berhonor Rp 5 juta untuk tiap puisi. Dia mencoba menjaring 5 puisi dari 34 provinsi, sehingga bakal ada 170 penyair yang menulis. Berarti yang bersangkutan telah menyiapkan dana Rp 850 juta. Belum termasuk biaya panitia yang membantu mencari dan mengumpulkan, serta ongkos cetak dan penerbitannya. Menurut rencana, akan terbit satu buku puisi esai untuk setiap provinsi, maka akan 34 buku puisi. Jadi jumlah total biaya yang bakal terpakai bisa jadi mencapai Rp 2 sampai 3 miliar, dan berdasarkan informasi itu dibiayai oleh Denny JA secara pribadi.

Penulis yang ikut mendapatkan uang muka Rp 1 juta, dan sisanya dibayar setelah puisinya selesai. Inilah yang memunculkan tagar #puisiprabayar. Lalu apa salahnya? Bukankah uang yang dipakai adalah uang pribadi dan bukan hasil korupsi?

Persoalannya menurut para sastrawan, adalah karena yang bersangkutan menggunakan uang untuk menanamkan pengaruhnya. Pertama, di buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruhyang menyejajarkan namanya dengan tokoh-tokoh sastra sejati seperti HAMKA, Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, dan lainnya.

Waktu itu, yang disebut tim penyusun buku antara lain karena yang bersangkutan membuat semacam genre puisi baru, yaitu yang dinamakannya puisi esai. Berbeda dengan puisi atau prosa seperti cerpen dan novel, puisi esai versi yang bersangkutan adalah puisi yang ditulis berdasarkan kejadian sesungguhnya, dilengkapi catatan kaki seperti layaknya menulis esai, dan hasilnya adalah berlembar-lembar, bisa sampai puluhan halaman.

Padahal, seperti dikatakan sejumlah sastrawan, apa yang dilakukannya tak beda dengan prosa liris. Ini adalah genre sastra yang telah dikenal lama, menulis sebuah prosa dengan gaya berpuisi, sehingga disebut prosa liris atau prosa lirik. Sementara terkait dengan klaim bahwa puisi esai memotret masalah sosial di masyarakat, sebenarnya dalam banyak puisi sudah pula dilakukan hal sama. 

Puisi-puisi Rendra atau Wiji Thukul sekadar memberi contoh, banyak memotret kehidupan sosial masyarakat. Juga para penyair lainnya, masalah sosial ekonomi dalam masyarakat selalu menjadi pilihan tema puisi mereka.

Satu-satunya inovasi Denny -- kalau pun itu mau disebut -- adalah menggunakan catatan kaki dalam puisinya, sehingga mirip dengan esai. Itu saja, dan ternyata genre itu pun tak diminati banyak, paling tidak belum ada yang menulis dan menerbitkan puisi seperti itu, kecuali yang disokong dananya oleh yang bersangkutan.

Gara-gara itu pula, kalangan sastrawan jadi terpecah-belah. Sebagian kecil ada yang mau mengikuti undangan Denny, terlebih karena iming-iming honor Rp 5 juta. Hal ini sudah diakui sendiri oleh seorang penyair muda, dia membutuhkan uang untuk biaya pengobatan keluarganya, apalagi dia sekarang menjadi tulang punggung keluarganya.

Namun banyak yang menolak, dengan mengatakan integritas soal sastrawan jangan kalah hanya dengan Rp 5 juta. Persoalan utamanya memang ini, sedangkan apakah Denny mau terus mengembangkan apa yang disebutnya puisi esai, itu terserah yang bersangkutan. Hanya saja kalau ingin terkenal dan diakui, seyogyanya jangan menggunakan pengaruh uang untuk membujuk orang lain mengikuti jejaknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun