Puisi-puisi Rendra atau Wiji Thukul sekadar memberi contoh, banyak memotret kehidupan sosial masyarakat. Juga para penyair lainnya, masalah sosial ekonomi dalam masyarakat selalu menjadi pilihan tema puisi mereka.
Satu-satunya inovasi Denny -- kalau pun itu mau disebut -- adalah menggunakan catatan kaki dalam puisinya, sehingga mirip dengan esai. Itu saja, dan ternyata genre itu pun tak diminati banyak, paling tidak belum ada yang menulis dan menerbitkan puisi seperti itu, kecuali yang disokong dananya oleh yang bersangkutan.
Gara-gara itu pula, kalangan sastrawan jadi terpecah-belah. Sebagian kecil ada yang mau mengikuti undangan Denny, terlebih karena iming-iming honor Rp 5 juta. Hal ini sudah diakui sendiri oleh seorang penyair muda, dia membutuhkan uang untuk biaya pengobatan keluarganya, apalagi dia sekarang menjadi tulang punggung keluarganya.
Namun banyak yang menolak, dengan mengatakan integritas soal sastrawan jangan kalah hanya dengan Rp 5 juta. Persoalan utamanya memang ini, sedangkan apakah Denny mau terus mengembangkan apa yang disebutnya puisi esai, itu terserah yang bersangkutan. Hanya saja kalau ingin terkenal dan diakui, seyogyanya jangan menggunakan pengaruh uang untuk membujuk orang lain mengikuti jejaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H