Jangan salah sangka. Restorasi yang ditulis di sini tidak ada hubungannya dengan makanan. Bukan gerbong Restorasi Kereta Api (KA) atau pun restoran yang menyajikan berbagai jenis makanan. Restorasi yang dimaksud di sini adalah seperti disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu “pengembalian atau pemulihan kepada keadaan semula (tentang gedung bersejarah, kedudukan raja, negara) atau pemugaran”.
Itulah yang saat ini tengah diupayakan oleh Lingkar Warisan Kotatua Jakarta, yang disingkat dengan nama Lingwa. Diketuai oleh Prof. Dr. Toeti Heraty N. Rooseno, Lingwa merupakan perkumpulan pemerhati Kotatua Jakarta, yang mengikuti semangat dan keprihatinan terhadap perkembangan dan tindak lanjut proyek revitalisasi Kotatua Jakarta. Lingwa didirikan atas amanat arsitek senior yang juga pelestari bangunan bersejarah, almarhum Han Awal, yang sempat merintis adanya perkumpulan tersebut.
Sejak didirikan tahun lalu, Lingwa telah ikut berkontribusi pada upaya pelestarian Kotatua Jakarta. Salah satu langkah yang kini masih dikerjakan adalah upaya merestorasi Masjid Angke atau lengkapnya kini bernama Masjid Jami Al-Anwar Angke. Masjid tersebut beralamat di di Jalan Pangeran Tubagus Angke Gang Mesjid I, RT 001/RW 05, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Masjid itu sempat terbengkalai dan tidak digunakan, namun kemudian diperbaiki dan dimanfaatkan lagi oleh masyarakat sekitar. Dalam skripsi berjudul “Mesjid Angke, Tinjauan Ilmu Bangunan, Seni Hias dan Seni Ukir” karya Tjut Nyak Kusmiati yang ditulisnya untuk mencapai gelar Sarjana Sastra Bidang Arkeologi di Universitas Indonesia pada 1976, antara lain disebutkan pula bahwa pernah ada pemugaran pada 1919, 1951, dan 1960 oleh warga setempat. Kemudian pada 1970 kembali dilakukan pemugaran, kali ini oleh Dinas Museum DKI Jakarta. Karena skripsi ini dibuat pada 1976, maka hanya itu yang dicatat. Namun Wakil Ketua I Lingwa, Candrian Attahiyyat yang puluhan tahun mengabdi mengurus peninggalan sejarah dan purbakala di DKI Jakarta, menginformasikan bahwa setelah 1976 masih ada lagi beberapa kali pemugaran terhadap Masjid Angke.
Sayangnya, kondisi masjid tersebut saat ini sudah memprihatinkan. Paling parah adalah kondisi atapnya. Dari luar mungkin kelihatan biasa saja, tetapi bila kita memasuki masjid dan naik ke loteng untuk mengecek atapnya, maka kita harus amat berhati-hati. Kayu-kayu yang menjadi lantai loteng sudah lapuk. Lebih berbahaya lagi, tiang-tiang kayu yang menyangga atap juga sudah cukup “kritis” keadaannya. Dikhawatirkan, bila ini dibiarkan begitu saja, maka tiang dan lantai loteng akan hancur, dan atapnya pun akan ikut ambruk menimpa bagian bawah masjid.
Selanjutnya, perkumpulan tersebut juga telah menghubungi Tim Sidang Pemugaran (TSP) DKI Jakarta. TSP adalah tim yang dibentuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang bertugas mengkaji dan mengarahkan semua kegiatan perencanaan konservasi, renovasi, restorasi, dan revitalisasi Cagar Budaya di DKI Jakarta.
Empat Prinsip Restorasi
Senin, 6 Maret 2017, Lingwa kembali berkumpul di Masjid Angke. Pada pertemuan itu, hadir pula Dutabesar Bosnia dan Herzegovina untuk Republik Indonesia, Muhamed Cengic, yang menaruh perhatian besar pada peninggalan-peninggalan bersejarah di Indonesia. Di samping itu, Lingwa juga mengundang Hubertus Sadirin, ahli konservasi dan restorasi yang pernah lama ikut dalam proyek pemugaran Candi Borobudur.
Kedua, otentisitas desain, yang berarti sedapat mungkin harus sesuai desain asli dari bangunan tersebut. Baik eksterior maupun interiornya. Ketiga, otentisitas teknologi pengerjaan atau workmanship. Ini menyangkut sistem pengerjaan pada bangunan asli. Misalnya, pada bangunan asli tidak menggunakan paku besi tetapi paku kayu, diusahakan saat melakukan restorasi, dikerjakan dengan cara yang sama.
Keempat yang tak kalah pentingnya adalah otentisitas tata letak. Bila memungkinkan, diupayakan pula sedapat mungkin tata letak direstorasi sesuai aslinya. Dalam kaitan ini, yang mungkin menarik adalah anak tangga di depan pintu masuk Masjid Angke. Saat ini hanya terlihat ada tiga anak tangga, padahal menurut sumber-sumber sejarah, jumlah anak tangga di depan pintu seharusnya lima buah. Bisa jadi karena kawasan tersebut sempat banjir, sehingga halaman masjid diplester semen dan ditinggikan. Akibatnya dua anak tangga tertutup saat proyek peninggian halaman. Inilah yang akan dicoba dikembalikan saat restorasi menyeluruh nantinya.
Di luar itu semua, Sadirin mengingatkan pula perlunya minimum intervention, atau intervensi seminimal mungkin. Dalam arti, restorasi diusahakan cukup memperbaiki bagian-bagian yang sudah rusak saja, tidak harus keseluruhan bangunan dibongkar dan diperbaiki.
Di samping itu, yang tak kalah pentingnya adalah pentingnya dokumentasi dalam setiap langkah restorasi. Baik sebelum, selama, dan sesudah penanganan restorasi. Dokumentasi dilakukan dalam bentuk gambar, foto, maupun catatan-catatan tertulis. Sehingga pada akhirnya, terdapat dokumentasi lengkap mengenai proses restorasi, yang berguna bagi para peneliti maupun mereka yang ingin melakukan restorasi lagi bila dibutuhkan di masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H