Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Restorasi yang Bukan Restoran dan Gerbong KA

7 Maret 2017   09:45 Diperbarui: 7 Maret 2017   10:10 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan salah sangka. Restorasi yang ditulis di sini tidak ada hubungannya dengan makanan. Bukan gerbong Restorasi Kereta Api  (KA) atau pun restoran yang menyajikan berbagai jenis makanan. Restorasi yang dimaksud di sini adalah seperti disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu “pengembalian atau pemulihan kepada keadaan semula (tentang gedung bersejarah, kedudukan raja, negara) atau pemugaran”.

Itulah yang saat ini tengah diupayakan oleh Lingkar Warisan Kotatua Jakarta, yang disingkat dengan nama Lingwa. Diketuai oleh Prof. Dr. Toeti Heraty N. Rooseno, Lingwa merupakan perkumpulan pemerhati Kotatua Jakarta, yang mengikuti semangat dan keprihatinan terhadap perkembangan dan tindak lanjut proyek revitalisasi Kotatua Jakarta. Lingwa didirikan atas amanat arsitek senior yang juga pelestari bangunan bersejarah, almarhum Han Awal, yang sempat merintis adanya perkumpulan tersebut.

Sejak didirikan tahun lalu, Lingwa telah ikut berkontribusi pada upaya pelestarian Kotatua Jakarta. Salah satu langkah yang kini masih dikerjakan adalah upaya merestorasi Masjid Angke atau lengkapnya kini bernama Masjid Jami Al-Anwar Angke. Masjid tersebut beralamat di di Jalan Pangeran Tubagus Angke Gang Mesjid I, RT 001/RW 05, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.

Pintu masuk utama Masjid Angke. (Foto: BDHS)
Pintu masuk utama Masjid Angke. (Foto: BDHS)
Dari data sejarah yang berhasil dikumpulkan, Masjid Angke didirikan pada hari Kamis 26 Sya’ban 1174 H atau pada 1761 Masehi. Melihat waktu pendiriannya, masjid tersebut kini sudah berusia lebih dari 250 tahun. Bahkan termasuk salah satu masjid tertua di Jakarta yang masih ada dan digunakan sebagaimana fungsinya.

Masjid itu sempat terbengkalai dan tidak digunakan, namun kemudian diperbaiki dan dimanfaatkan lagi oleh masyarakat sekitar.  Dalam skripsi berjudul “Mesjid Angke, Tinjauan Ilmu Bangunan, Seni Hias dan Seni Ukir”  karya Tjut Nyak Kusmiati yang ditulisnya untuk mencapai gelar Sarjana Sastra Bidang Arkeologi di Universitas Indonesia pada 1976, antara lain disebutkan pula bahwa pernah ada pemugaran pada 1919, 1951, dan 1960 oleh warga setempat. Kemudian pada 1970 kembali dilakukan pemugaran, kali ini oleh Dinas Museum DKI Jakarta. Karena skripsi ini dibuat pada 1976, maka hanya itu yang dicatat. Namun Wakil Ketua I Lingwa, Candrian Attahiyyat yang puluhan tahun mengabdi mengurus peninggalan sejarah dan purbakala di DKI Jakarta, menginformasikan bahwa setelah 1976 masih ada lagi beberapa kali pemugaran terhadap Masjid Angke.

Sayangnya, kondisi masjid tersebut saat ini sudah memprihatinkan. Paling parah adalah kondisi atapnya. Dari luar mungkin kelihatan biasa saja, tetapi bila kita memasuki masjid dan naik ke loteng untuk mengecek atapnya, maka kita harus amat berhati-hati. Kayu-kayu yang menjadi lantai loteng sudah lapuk. Lebih berbahaya lagi, tiang-tiang kayu yang menyangga atap juga sudah cukup “kritis” keadaannya. Dikhawatirkan, bila ini dibiarkan begitu saja, maka tiang dan lantai loteng akan hancur, dan atapnya pun akan ikut ambruk menimpa bagian bawah masjid.

Tampak luar atap Masjid Angke. (Foto: BDHS)
Tampak luar atap Masjid Angke. (Foto: BDHS)
Terdorong oleh upaya merestorasi bangunan itu, Lingwa telah beberapa kali mengadakan survei. Beberapa desain restorasi juga telah dikerjakan gambarnya oleh arsitek Yori Antar, anak Han Awal yang kini meneruskan biro arsitek ayahnya. Bukan hanya itu. Lingwa juga telah beraudiensi dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, memberi tahu aktivitas yang sedang dikerjakan.

Selanjutnya, perkumpulan tersebut juga telah menghubungi Tim Sidang Pemugaran (TSP) DKI Jakarta. TSP adalah tim yang dibentuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang bertugas mengkaji dan mengarahkan semua kegiatan perencanaan konservasi, renovasi, restorasi, dan revitalisasi Cagar Budaya di DKI Jakarta.

Empat Prinsip Restorasi

Senin, 6 Maret 2017, Lingwa kembali berkumpul di Masjid Angke. Pada pertemuan itu, hadir pula Dutabesar Bosnia dan Herzegovina untuk Republik Indonesia, Muhamed Cengic, yang menaruh perhatian besar pada peninggalan-peninggalan bersejarah di Indonesia. Di samping itu, Lingwa juga mengundang Hubertus Sadirin, ahli konservasi dan restorasi yang pernah lama ikut dalam proyek pemugaran Candi Borobudur.

Ahli restorasi, Sadirin (kiri) menjelaskan tentang prinsip-prinsip restorasi. (Foto: BDHS)
Ahli restorasi, Sadirin (kiri) menjelaskan tentang prinsip-prinsip restorasi. (Foto: BDHS)
Sadirin mengungkapkan sedikitnya ada empat prinsip restorasi yang harus dipenuhi dalam memugar bangunan bersejarah. Pertama, otentisitas material, yang artinya kalau perlu melakukan restorasi diupayakan sedapat mungkin menggunakan bahan  asli, atau kalau pun terpaksa mengganti bahan asli, diusahakan yang sama jenis dan kualitasnya. Misalnya, penggantian bahan kayu jati, diusahakan dengan kayu jati yang kualitasnya sama pula.

Kedua, otentisitas desain, yang berarti sedapat mungkin harus sesuai desain asli dari bangunan tersebut. Baik eksterior maupun interiornya. Ketiga, otentisitas teknologi pengerjaan atau workmanship. Ini menyangkut sistem pengerjaan pada bangunan asli. Misalnya, pada bangunan asli tidak menggunakan paku besi tetapi paku kayu, diusahakan saat melakukan restorasi, dikerjakan dengan cara yang sama.

Keempat yang tak kalah pentingnya adalah otentisitas tata letak. Bila memungkinkan, diupayakan pula sedapat mungkin tata letak direstorasi sesuai aslinya. Dalam kaitan ini, yang mungkin menarik adalah anak tangga di depan pintu masuk Masjid Angke. Saat ini hanya terlihat ada tiga anak tangga, padahal menurut sumber-sumber sejarah, jumlah anak tangga di depan pintu seharusnya lima buah. Bisa jadi karena kawasan tersebut sempat banjir, sehingga halaman masjid diplester semen dan ditinggikan. Akibatnya dua anak tangga tertutup saat proyek peninggian halaman. Inilah yang akan dicoba dikembalikan saat restorasi menyeluruh nantinya.

Anak tangga di pintu masuk utama Masjid Angke. (Foto: BDHS)
Anak tangga di pintu masuk utama Masjid Angke. (Foto: BDHS)
Sadirin juga menyebutkan, untuk living monument dalam arti bangunan yang masih digunakan, maka restorasi lebih fleksibel. Disesuaikan dengan penggunaan bangunan tersebut. Sebaliknya untuk dead monument, bangunan yang tidak digunakan lagi, restorasi harus lebih ketat, benar-benar sesuai aslinya.

Di luar itu semua, Sadirin mengingatkan pula perlunya minimum intervention, atau intervensi seminimal mungkin. Dalam arti, restorasi diusahakan cukup memperbaiki bagian-bagian yang sudah rusak saja, tidak harus keseluruhan bangunan dibongkar dan diperbaiki.

Di samping itu, yang tak kalah pentingnya adalah pentingnya dokumentasi dalam setiap langkah restorasi. Baik sebelum, selama, dan sesudah penanganan restorasi. Dokumentasi dilakukan dalam bentuk gambar, foto, maupun catatan-catatan tertulis. Sehingga pada akhirnya, terdapat dokumentasi lengkap mengenai proses restorasi, yang berguna bagi para peneliti maupun mereka yang ingin melakukan restorasi lagi bila dibutuhkan di masa mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun