Kedua, otentisitas desain, yang berarti sedapat mungkin harus sesuai desain asli dari bangunan tersebut. Baik eksterior maupun interiornya. Ketiga, otentisitas teknologi pengerjaan atau workmanship. Ini menyangkut sistem pengerjaan pada bangunan asli. Misalnya, pada bangunan asli tidak menggunakan paku besi tetapi paku kayu, diusahakan saat melakukan restorasi, dikerjakan dengan cara yang sama.
Keempat yang tak kalah pentingnya adalah otentisitas tata letak. Bila memungkinkan, diupayakan pula sedapat mungkin tata letak direstorasi sesuai aslinya. Dalam kaitan ini, yang mungkin menarik adalah anak tangga di depan pintu masuk Masjid Angke. Saat ini hanya terlihat ada tiga anak tangga, padahal menurut sumber-sumber sejarah, jumlah anak tangga di depan pintu seharusnya lima buah. Bisa jadi karena kawasan tersebut sempat banjir, sehingga halaman masjid diplester semen dan ditinggikan. Akibatnya dua anak tangga tertutup saat proyek peninggian halaman. Inilah yang akan dicoba dikembalikan saat restorasi menyeluruh nantinya.
Di luar itu semua, Sadirin mengingatkan pula perlunya minimum intervention, atau intervensi seminimal mungkin. Dalam arti, restorasi diusahakan cukup memperbaiki bagian-bagian yang sudah rusak saja, tidak harus keseluruhan bangunan dibongkar dan diperbaiki.
Di samping itu, yang tak kalah pentingnya adalah pentingnya dokumentasi dalam setiap langkah restorasi. Baik sebelum, selama, dan sesudah penanganan restorasi. Dokumentasi dilakukan dalam bentuk gambar, foto, maupun catatan-catatan tertulis. Sehingga pada akhirnya, terdapat dokumentasi lengkap mengenai proses restorasi, yang berguna bagi para peneliti maupun mereka yang ingin melakukan restorasi lagi bila dibutuhkan di masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H