Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Restorasi yang Bukan Restoran dan Gerbong KA

7 Maret 2017   09:45 Diperbarui: 7 Maret 2017   10:10 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pintu masuk utama Masjid Angke. (Foto: BDHS)

Kedua, otentisitas desain, yang berarti sedapat mungkin harus sesuai desain asli dari bangunan tersebut. Baik eksterior maupun interiornya. Ketiga, otentisitas teknologi pengerjaan atau workmanship. Ini menyangkut sistem pengerjaan pada bangunan asli. Misalnya, pada bangunan asli tidak menggunakan paku besi tetapi paku kayu, diusahakan saat melakukan restorasi, dikerjakan dengan cara yang sama.

Keempat yang tak kalah pentingnya adalah otentisitas tata letak. Bila memungkinkan, diupayakan pula sedapat mungkin tata letak direstorasi sesuai aslinya. Dalam kaitan ini, yang mungkin menarik adalah anak tangga di depan pintu masuk Masjid Angke. Saat ini hanya terlihat ada tiga anak tangga, padahal menurut sumber-sumber sejarah, jumlah anak tangga di depan pintu seharusnya lima buah. Bisa jadi karena kawasan tersebut sempat banjir, sehingga halaman masjid diplester semen dan ditinggikan. Akibatnya dua anak tangga tertutup saat proyek peninggian halaman. Inilah yang akan dicoba dikembalikan saat restorasi menyeluruh nantinya.

Anak tangga di pintu masuk utama Masjid Angke. (Foto: BDHS)
Anak tangga di pintu masuk utama Masjid Angke. (Foto: BDHS)
Sadirin juga menyebutkan, untuk living monument dalam arti bangunan yang masih digunakan, maka restorasi lebih fleksibel. Disesuaikan dengan penggunaan bangunan tersebut. Sebaliknya untuk dead monument, bangunan yang tidak digunakan lagi, restorasi harus lebih ketat, benar-benar sesuai aslinya.

Di luar itu semua, Sadirin mengingatkan pula perlunya minimum intervention, atau intervensi seminimal mungkin. Dalam arti, restorasi diusahakan cukup memperbaiki bagian-bagian yang sudah rusak saja, tidak harus keseluruhan bangunan dibongkar dan diperbaiki.

Di samping itu, yang tak kalah pentingnya adalah pentingnya dokumentasi dalam setiap langkah restorasi. Baik sebelum, selama, dan sesudah penanganan restorasi. Dokumentasi dilakukan dalam bentuk gambar, foto, maupun catatan-catatan tertulis. Sehingga pada akhirnya, terdapat dokumentasi lengkap mengenai proses restorasi, yang berguna bagi para peneliti maupun mereka yang ingin melakukan restorasi lagi bila dibutuhkan di masa mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun