Menjalankan profesi sebagai pewarta selama lebih dari 30 tahun, saya hampir saja tak tahu bahwa bakat dan hobi menulis dan mengirim berita yang kemudian menjadi karier sebagai pewarta itu, ternyata menurun dari ayah sendiri. Selama ini, saya mengira ayah saya yang bernama lengkap Frits Willem Sinaulan atau sering disingkat F.W. Sinaulan, hanyalah seorang pegawai negeri yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya menjadi abdi masyarakat di bidang perindustrian dan perdagangan saja.
Namun hal itu berubah, sekitar dua atau tiga tahun lalu. Semuanya bermula dari kunjungan saya ke Perpustakaan Nasional RI (PNRI) di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat. Ya, perpustakaan yang mengubah perkiraan saya dan memberi informasi mengenai bakat dan hobi menulis yang saya miliki.
Sudah lama kita tahu bahwa perpustakaan adalah salah satu sumber ilmu pengetahuan.Koleksi buku-buku maupun dokumen lainnya yang ada di perpustakaan, dapat membantu kita untuk lebih mengenal dan mendalami tentang suatu hal. Baik tentang ilmu tertentu atau pun catatan-catatan sejarah yang bermanfaat bagi manusia.
Saya sendiri merasakan benar betapa bermanfaatnya kehadiran perpustakaan. Sejak kecil saya sudah senang membaca, dan perpustakaan menjadi tempat yang nyaman untuk memperoleh bacaan-bacaan menarik. Ketika sekolah, beberapa informasi untuk mata pelajaran pun saya peroleh dari perpustakaan. Apalagi ketika mahasiswa, makin sering saya mendatangi perpustakaan.
Kebetulan, saat itu Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) masih berada di dalam gedung Museum Pusat namanya saat itu. Sekarang museum itu dikenal dengan nama Museum Nasonal Indonesia (MNI), walau pun masih ada juga yang menyebutnya sebagai Museum Gajah, karena adanya patung gajah persembahan Raja Siam (Thailand) yang diletakkan di depan museum yang terletak di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat tersebut.
Setelah PNRI mempunyai gedung sendiri yang megah di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, saya pun masih sering berkunjung ke sana. Apalagi setelah tahun 2000-an, ketika menjelang peringatan 100 tahun gerakan kepanduan sedunia pada 2007. Terdorong oleh semangat mencari data sejarah kepanduan di Indonesia, saya memanfaatkan suratkabar lama dan majalah-majalah kepanduan yang terbit sejak zaman Hindia-Belanda, untuk mencari data.
Aktivitas pencarian data untuk penulisan sejarah kepanduan makin gencar saya lakukan saat menjelang 50 tahun Gerakan Pramuka pada 2011 dan 100 tahun dimulainya gerakan kepanduan di bumi Nusantara pada 2012. Demikian pula ketika saya diminta membantu penulisan buku oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Provinsi DKI Jakarta pada 2015, kehadiran saya di PNRI menjadi semakin sering. Ditambah lagi dengan mengunjungi perpustakaan yang dikelola BPAD DKI Jakarta di dalam kawasan Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat.
Siapa Menyangka
Tak dapat disangkal, kehadiran perpustakaan memang benar-benar membantu karier dan aktivitas saya sebagai pewarta. Namun siapa pula yang menyangka, bahwa dari perpustakaan juga saya akhirnya tahu bahwa bakat dan keterampilan menulis yang saya miliki tidak datang dengan sendirinya.
Sedangkan ayah saya berprofesi sendiri adalah pegawai negeri sipil yang menekuni karier di Departemen Perindustrian dan juga Departemen Perdagangan. Sementara ibu saya adalah seorang ibu rumah tangga biasa yang juga senang menjahit dan sempat membuka usaha menjahit rumahan, serta menerima murid-murid yang ingin belajar menjahit.
Enam kakak saya dan seorang adik saya, semuanya bekerja di berbagai bidang dan hampir semuanya sebagai karyawan swasta. Kecuali kakak saya nomor dua yang mengikuti jejak ayah, menjadi pegawai negeri. Tetapi tak ada satu pun yang menjadi pewarta atau mengembangkan bakat dan hobi menulis.
Tetapi seperti telah saya sebutkan, akhirnya saya tahu dari mana saya mendapatkan bakat dan hobi menulis dan menjadi pewarta. Pengetahuan itu saya peroleh baru beberapa tahun ini, ketika sekitar 2014 atau 2015, saya berkunjung ke PNRI. Ketika mengamati daftar koleksi terbitan berkala yang dimiliki PNRI, tanpa sengaja saya membaca ada Majalah Maesa, majalah perkumpulan kaum muda asal Minahasa, Sulawesi Utara, yang diterbitkan di Jakarta.
Saya lalu teringat ayah saya yang pernah bercerita bahwa dia dulu pernah bercerita cukup aktif di Perkumpulan Olahraga (POR) Maesa. Inilah yang membuat saya akhirnya meminjam bundel majalah terbitan 1935 sampai 1940 itu. Di sana tercetak nama ayah, F.W. Sinaulan, yang ikut bermain dalam tim bola tangan (korf ball) dan tenis, sebagaimana terdapat pada berita olahraga majalah itu.
Hari ini, 4 Maret 2017 adalah tanggal kelahiran ayah saya. Kalau saja ayah masih hidup, saat ini ayah berusia 104 tahun. Namun ayah yang dilahirkan di Wiau Lapi, salah satu desa di Sulawesi Utara, telah meninggal dunia menjelang usianya yang ke-80. Justru setelah ayah wafat, baru saya tahu bahwa ayah pun pernah menjadi bagian dari dunia jurnalistik di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H