Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perpustakaan, Tempat untuk Menemukan "Akar" Diri

4 Maret 2017   20:14 Diperbarui: 6 Maret 2017   00:00 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjalankan profesi sebagai pewarta selama lebih dari 30 tahun, saya hampir saja tak tahu bahwa bakat dan hobi menulis dan mengirim berita yang kemudian menjadi karier sebagai pewarta itu, ternyata menurun dari ayah sendiri. Selama ini, saya mengira ayah saya yang bernama lengkap Frits Willem Sinaulan atau sering disingkat F.W. Sinaulan, hanyalah seorang pegawai negeri yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya menjadi abdi masyarakat di bidang perindustrian dan perdagangan saja.

Namun hal itu berubah, sekitar dua atau tiga tahun lalu. Semuanya bermula dari kunjungan saya ke Perpustakaan Nasional RI (PNRI) di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat. Ya, perpustakaan yang mengubah perkiraan saya dan memberi informasi mengenai bakat dan hobi menulis yang saya miliki.

Sudah lama kita tahu bahwa perpustakaan adalah salah satu sumber ilmu pengetahuan.Koleksi buku-buku maupun dokumen lainnya yang ada di perpustakaan, dapat membantu kita untuk lebih mengenal dan mendalami tentang suatu hal. Baik tentang ilmu tertentu atau pun catatan-catatan sejarah yang bermanfaat bagi manusia.

Saya sendiri merasakan benar betapa bermanfaatnya kehadiran perpustakaan. Sejak kecil saya sudah senang membaca, dan perpustakaan menjadi tempat yang nyaman untuk memperoleh bacaan-bacaan menarik. Ketika sekolah, beberapa informasi untuk mata pelajaran pun saya peroleh dari perpustakaan. Apalagi ketika mahasiswa, makin sering saya mendatangi perpustakaan.

Kebetulan, saat itu Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) masih berada di dalam gedung Museum Pusat namanya saat itu. Sekarang museum itu dikenal dengan nama Museum Nasonal Indonesia (MNI), walau pun masih ada juga yang menyebutnya sebagai Museum Gajah, karena adanya patung gajah persembahan Raja Siam (Thailand) yang diletakkan di depan museum yang terletak di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat tersebut.

Patung gajah di depan Museum Nasional Indonesia. (Foto: R. Andi Widjanarko, ISJ)
Patung gajah di depan Museum Nasional Indonesia. (Foto: R. Andi Widjanarko, ISJ)
Sebagai mahasiswa Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra (sekarang namanya Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia, mengunjungi MNI yang banyak menyimpan benda-benda arkeologi dari berbagai daerah di Indonesia, bisa dikatakan sudah menjadi kewajiban yang tak bisa dihindari. Kehadiran PNRI di dalam gedung museum itu, sungguh membantu. Saat mempelajari arca, prasasti, maupun benda-benda arkeologi lainnya di sana, sekaligus dapat pula mencari referensinya dari buku dan dokumen yang ada di perpustakaan. Bagaikan pepatah, “sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui”.

Setelah PNRI mempunyai gedung sendiri yang megah di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, saya pun masih sering berkunjung ke sana. Apalagi setelah tahun 2000-an, ketika menjelang peringatan 100 tahun gerakan kepanduan sedunia pada 2007. Terdorong oleh semangat mencari data sejarah kepanduan di Indonesia, saya memanfaatkan suratkabar lama dan majalah-majalah kepanduan yang terbit sejak zaman Hindia-Belanda, untuk mencari data.

Aktivitas pencarian data untuk penulisan sejarah kepanduan makin gencar saya lakukan saat menjelang 50 tahun Gerakan Pramuka pada 2011 dan 100 tahun dimulainya gerakan kepanduan di bumi Nusantara pada 2012. Demikian pula ketika saya diminta membantu penulisan buku oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Provinsi DKI Jakarta pada 2015, kehadiran saya di PNRI menjadi semakin sering. Ditambah lagi dengan mengunjungi perpustakaan yang dikelola BPAD DKI Jakarta di dalam kawasan Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat.

Siapa Menyangka

Tak dapat disangkal, kehadiran perpustakaan memang benar-benar membantu karier dan aktivitas saya sebagai pewarta. Namun siapa pula yang menyangka, bahwa dari perpustakaan juga saya akhirnya tahu bahwa bakat dan keterampilan menulis yang saya miliki tidak datang dengan sendirinya.

Ibu dan ayah saya dalam lukisan buatan 1996. (Foto: Ruth Sinaulan)
Ibu dan ayah saya dalam lukisan buatan 1996. (Foto: Ruth Sinaulan)
Selama ini saya mengira di keluarga kandung, hanya saya sendiri yang menekuni dunia jurnalistik. Kalau pun ada saudara yang juga sama-sama menjadi pewarta adalah saudara dari garis keturunan ayah maupun ibu, tetapi bukan merupakan saudara kandung. Dari garis keturunan ayah, antara lain paman saya, Hans Sinaulan. Sedangkan dari garis keturunan ibu, beberapa saudara sepupu saya, yaitu kakak-beradik, Daud Sinjal, Isaac Sinjal, dan John Sinjal. Semuanya pernah berkiprah di penerbitan yang dikelola PT Sinar Kasih, yaitu Harian Umum Sinar Harapan (belakangan berubah nama menjadi Suara Pembaruan) dan tabloid mingguan Mutiara.

Sedangkan ayah saya berprofesi sendiri adalah pegawai negeri sipil yang menekuni karier di Departemen Perindustrian dan juga Departemen Perdagangan. Sementara ibu saya adalah seorang ibu rumah tangga biasa yang juga senang menjahit dan sempat membuka usaha menjahit rumahan, serta menerima murid-murid yang ingin belajar menjahit.

Enam kakak saya dan seorang adik saya, semuanya bekerja di berbagai bidang dan hampir semuanya sebagai karyawan swasta. Kecuali kakak saya nomor dua yang mengikuti jejak ayah, menjadi pegawai negeri. Tetapi tak ada satu pun yang menjadi pewarta atau mengembangkan bakat dan hobi menulis.

Tetapi seperti telah saya sebutkan, akhirnya saya tahu dari mana saya mendapatkan bakat dan hobi menulis dan menjadi pewarta. Pengetahuan itu saya peroleh baru beberapa tahun ini, ketika sekitar 2014 atau 2015, saya berkunjung ke PNRI. Ketika mengamati daftar koleksi terbitan berkala yang dimiliki PNRI, tanpa sengaja saya membaca ada Majalah Maesa, majalah perkumpulan kaum muda asal Minahasa, Sulawesi Utara, yang diterbitkan di Jakarta.

Saya lalu teringat ayah saya yang pernah bercerita bahwa dia dulu pernah bercerita cukup aktif di Perkumpulan Olahraga (POR) Maesa. Inilah yang membuat saya akhirnya meminjam bundel majalah terbitan 1935 sampai 1940 itu. Di sana tercetak nama ayah, F.W. Sinaulan, yang ikut bermain dalam tim bola tangan (korf ball) dan tenis, sebagaimana terdapat pada berita olahraga majalah itu.

Nama F.W. Sinaulan, ayah saya, terdapat dalam daftar redaksi majalah
Nama F.W. Sinaulan, ayah saya, terdapat dalam daftar redaksi majalah
Namun bukan hanya itu. Di Majalah Maesa edisi Januari 1936, saya mendapati pula nama ayah ada di deretan daftar redaksi majalah itu. Tak disangka, ayah ternyata pernah pula bergelut di dunia jurnalistik dan menjadi redaksi suatu majalah. Sadarlah saya, bakat dan hobi menulis yang saya miliki dan kemudian menjadi seorang pewarta, ternyata menurun dari ayah kandung saya sendiri.

Hari ini, 4 Maret 2017 adalah tanggal kelahiran ayah saya. Kalau saja ayah masih hidup, saat ini ayah berusia 104 tahun. Namun ayah yang dilahirkan di Wiau Lapi, salah satu desa di Sulawesi Utara, telah meninggal dunia menjelang usianya yang ke-80. Justru setelah ayah wafat, baru saya tahu bahwa ayah pun pernah menjadi bagian dari dunia jurnalistik di Indonesia.

Kartu pers saya yang pertama sebagai seorang pewarta/jurnalis. (Foto: koleksi pribadi)
Kartu pers saya yang pertama sebagai seorang pewarta/jurnalis. (Foto: koleksi pribadi)
Walaupun demikian, saya merasa beruntung ada perpustakaan. Paling tidak dari perpustakaan saya mendapatkan informasi yang berharga tentang keluarga dan diri saya sendiri. Tak berlebihan kalau saya katakan, perpustakaan membantu menemukan “akar” diri saya sebagai pewarta, bakat dan hobi yang ternyata menurun dari ayah kandung saya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun