Sedangkan ayah saya berprofesi sendiri adalah pegawai negeri sipil yang menekuni karier di Departemen Perindustrian dan juga Departemen Perdagangan. Sementara ibu saya adalah seorang ibu rumah tangga biasa yang juga senang menjahit dan sempat membuka usaha menjahit rumahan, serta menerima murid-murid yang ingin belajar menjahit.
Enam kakak saya dan seorang adik saya, semuanya bekerja di berbagai bidang dan hampir semuanya sebagai karyawan swasta. Kecuali kakak saya nomor dua yang mengikuti jejak ayah, menjadi pegawai negeri. Tetapi tak ada satu pun yang menjadi pewarta atau mengembangkan bakat dan hobi menulis.
Tetapi seperti telah saya sebutkan, akhirnya saya tahu dari mana saya mendapatkan bakat dan hobi menulis dan menjadi pewarta. Pengetahuan itu saya peroleh baru beberapa tahun ini, ketika sekitar 2014 atau 2015, saya berkunjung ke PNRI. Ketika mengamati daftar koleksi terbitan berkala yang dimiliki PNRI, tanpa sengaja saya membaca ada Majalah Maesa, majalah perkumpulan kaum muda asal Minahasa, Sulawesi Utara, yang diterbitkan di Jakarta.
Saya lalu teringat ayah saya yang pernah bercerita bahwa dia dulu pernah bercerita cukup aktif di Perkumpulan Olahraga (POR) Maesa. Inilah yang membuat saya akhirnya meminjam bundel majalah terbitan 1935 sampai 1940 itu. Di sana tercetak nama ayah, F.W. Sinaulan, yang ikut bermain dalam tim bola tangan (korf ball) dan tenis, sebagaimana terdapat pada berita olahraga majalah itu.
Hari ini, 4 Maret 2017 adalah tanggal kelahiran ayah saya. Kalau saja ayah masih hidup, saat ini ayah berusia 104 tahun. Namun ayah yang dilahirkan di Wiau Lapi, salah satu desa di Sulawesi Utara, telah meninggal dunia menjelang usianya yang ke-80. Justru setelah ayah wafat, baru saya tahu bahwa ayah pun pernah menjadi bagian dari dunia jurnalistik di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H