Seusai tugas, keduanya bergandeng tangan ke Plaza Indonesia. Di situ, di sebuah restoran khas makanan Jepang, Wanda bercerita bahwa suaminya sudah lama meninggalkan dirinya dan anak mereka, sang gadis kecil yang bernama Winda. Sepulang dari restoran, melewati toko-toko perhiasan, Benyamin mengajak Wanda masuk ke salah satu toko yang ada.
Dia membeli seuntai kalung dengan mata berlian dua setengah karat. Ketika Ben hendak memberikan kalung itu kepada Wanda, perempuan itu menolaknya. “Kita ‘kan baru bertemu kembali, Ben,” ujar Wanda, “Jangan terburu-buru”.
Pertemuan itu berlanjut dengan pertemuan-pertemuan berikutnya. Beberapa kali Benyamin ingin memberi kalung itu, tetapi Wanda belum mau menerimanya. Tetapi dalam dirinya, Benyamin yakin bahwa jalinan asmaranya dengan Wanda akan kembali pulih.
Sampai akhirnya Desember 2004, tubuh Wanda terbawa gelombang tsunami di Aceh, dan sampai kini tak ditemukan lagi. Maka kepada Winda, sebagai hadiah ulang tahunnya ke-22, Benyamin memberikan kalung bermata berlian itu.
“Ini buatmu, hadiah buatmu, hadiah yang Paman Ben siapkan untuk ibumu, yang pernah dan selalu mendapat tempat tersendiri di hati paman.”
Winda terisak menerimanya. “Jadi inilah lelaki itu, Paman Ben, yang menyimpan cinta hanya untuk ibuku seorang,” ucap Winda dalam hati sambil memeluk sang paman.
Neneknya, ikut membelai rambut Wanda. Sang nenek yang juga tahu kisah asmara Benyamin dan anaknya, Wanda, kisah asmara yang tiada terwujud.
Bintaro Sektor IX, 17 Februari 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H