Kalau pusat-pusat perbelanjaan dalam bentuk gedung bertingkat dengan pendingin udara dan yang dijajakan adalah merk-merk terkenal dunia, maka di mana saja hampir sama. Datang ke kawasan Orchard Road di Singapura misalnya, isi pusat perbelanjaan hampir sama saja dengan di Plaza Senayan dan Grand Indonesia di Jakarta, sampai Summarecon Mall Serpongdi Tangerang Selatan. Tak ada yang beda. Kalau pun ada perbedaan, mungkin hanya dari bahasa yang digunakan pengunjung mall tersebut. Di Singapura didominasi oleh Bahasa Inggris, sedangkan di Indonesia didominasi oleh Bahasa Indonesia.
Tapi cobalah masuk ke “pasar basah” di berbagai negara. Keragaman penjual, cara berdagang, dan berbagai keunikan lain, akan dapat ditemui di situ. Termasuk produk-produk makanan lokal, baik yang masih bahan mentah maupun yang sudah matang, yang tentunya berbeda-beda di setiap negara.
Ketika penyelenggaraan acara di Bentara Budaya akhir tahun lalu itu, digagas usulan untuk mengadakan Hari Pasar Rakyat Nasional. Garin Nugroho yang menjadi semacam “pembawa acara” di awal acara mengatakan, “Coba kita lihat, ada Hari Batik, maka batik jadi ramai dipakai orang, ada Hari Film, maka film nasional ramai dibicarakan”.
Itulah sebabnya diusulkan, perlu adanya pula Hari Pasar Rakyat Nasional. Persoalannya, seberapa pentingkah peringatan semacam itu? Kalau hanya untuk mencari hari peringatan seremonial, sehingga tiap tanggal Hari Pasar Rakyat Nasional dapat diadakan berbagai acara, rasanya belum cukup relevan.
Seyogyanya, upaya mempertahankan dan bahkan meningkatkan kualitas pasar rakyat, harus terus dilakukan dan tidak hanya digaungkan saat perayaan Hari Pasar Rakyat Nasional. Apalagi kalau bicara kata “hari pasar” dan “pasar rakyat”, konotasinya bisa bermacam-macam. Sampai saat ini, di banyak daerah masih ada yang disebut “hari pasar’, yang ditentukan secara mufakat. Misalnya ada yang memilih “hari pasar” pada Rabu dan Sabtu, ada juga yang memilih Senin dan Kamis.
Bila nantinya Pemerintah menyetujui adanya Hari Pasar Rakyat Nasional, maka perlu diperjelas dulu apa maksud dan tujuannya. Jangan sampai rakyat kebanyakan – yang justru paling banyak berinteraksi dengan pasar rakyat – jadi bingung dengan pengertian “hari pasar” tersebut. Apalagi untuk masyarakat pedesaan yang masih memegang semangat “hari pasar” sesuai adat-istiadat setempat.
Begitu pula penyebutan “pasar rakyat” juga harus diperjelas, karena jangan sampai menimbulkan adanya anggapan ini “pasar rakyat” dan itu adalah “pasar non-rakyat” untuk menyebut supermarket dan sejenisnya. Suatu hal yang bila dibiarkan pertentangan itu, bisa menimbulkan “gesekan” yang berakibat kurang baik di kemudian hari.
Jadi tampaknya untuk menentukan “peresmian” Hari Pasar Rakyat Nasional harus melalui kajian yang lebih mendalam dan seksama. Jangan sampai niat baik untuk melestarikan dan meningkatkan kualitas pasar rakyat, menjadi kontraproduktif, apalagi bila hanya menjadi sekadar peringatan seremonial belaka.
Ayo ke pasar!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H