Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Money

Jadikan Hari Pasar Rakyat Nasional, Perlu Kajian Mendalam

27 Januari 2017   23:55 Diperbarui: 28 Januari 2017   00:05 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Festival Pasar Rakyat, akhir Desember 2016. (Foto: Kompasiana)

“Potato one kilo fifteen thousand plus corn seven thousand, twenty two thousand, onion twenty thousand, total forty two thousand, OK for you forty thousand, Mam.

Hitungan cepat dalam Bahasa Inggris itu terjadi di sebuah pasar. Bukan, bukan di pasar di negara berbahasa Inggris, tetapi di Indonesia. Tepatnya di Pasar Modern (Pasmod) Bintaro yang terletak di wilayah Tangerang Selatan.

Hampir setiap saat berkunjung ke Pasmod, selalu saja terdengar hitung-hitungan dari para pedagang sayur-mayur menggunakan Bahasa Inggris. Memang di kawasan Sektor VII sampai IX Bintaro Jaya, di mana Pasmod terletak, cukup banyak warga berkebangsaan asing. Mulai dari warga Inggris, Amerika Serikat, sampai warga Jepang, Korea, dan Filipina.

Tapi “gaya” hitung-hitungan berbahasa Inggris bukan hanya dilakukan ketika para pedagang sayur di Pasmod berhadapan dengan pembeli warga asing, bahkan kepada warga setempat pun – apalagi kalau si pedagang melihat gaya pembeli yang cukup terpelajar – tak jarang muncul hitung-hitungan harga dalam Bahasa Inggris.

Itulah sedikit keunikan Pasmod di Bintaro, yang seperti Pasmod di tempat lainnya, semakin banyak dikunjungi orang. Sebenarnya, Pasmod mirip dengan pasar rakyat tradisional. Ada lorong-lorong tempat penjual yang biasanya dikelompokkan sesuai jenis dagangan seperti kelompok sayuran, kelompok buah, kelompok daging, kelompok ikan, dan sebagainya, serta cara membelinya pun sebagian besar dilakukan dengan tawar-menawar.

Namun yang membuat Pasmod semakin banyak dikunjungi, karena selain lokasinya strategis, juga kondisinya jauh lebih bersih dari kebanyakan pasar rakyat tradisional yang ada. Dilengkapi pula dengan sejumlah kios makanan matang yang bisa langsung disantap di tempat, juga dalam kondisi yang bersih, sehingga cocok dengan semakin berkembangnya “kelas menengah” di Indonesia.

Apalagi, pada Pasmod kelengkapan seperti lapangan parkir yang mencukupi, gerai Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dari berbagai bank, sampai hal-hal yang juga dibutuhkan bila orang ke pasar, tersedia pula.

Salah satu kedai makanan yang menyajikan makanan khas setempat di Los Lambuang, Pasar Bukittinggi, Sumatera Barat. (Foto: BDHS)
Salah satu kedai makanan yang menyajikan makanan khas setempat di Los Lambuang, Pasar Bukittinggi, Sumatera Barat. (Foto: BDHS)
“Pasar Basah”

Hal semacam itu pula yang diceritakan dan diungkapkan oleh Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, maupun Ketua Dewan Pembina Yayasan Danamon Peduli, Bayu Krisnamurthi, saat penyelenggaraan “Festival Pasar Rakyat – Merayakan Harmoni Kehidupan” di Aula Serbaguna Bentara Budaya, Komplek Kompas Gramedia, Palmerah, Jakarta, 21 Desember 2016.

Keduanya sepakat bahwa pasar-pasar rakyat yang ada di Indonesia harus tetap dipertahankan keberadaannya, namun kualitasnya harus ditingkatkan seperti Pasmod yang kini tumbuh di sejumlah wilayah perumahan baru di seputaran Jabodetabek. Bahkan bukan tidak mungkin menjadi salah satu objek wisata bagi turis, seperti dicontohkan oleh Menteri Perdagangan sendiri.

Enggartiasto Lukita bercerita, setiap kali dia dan istrinya berpergian ke luar negeri, maka sang istri berusaha untuk mengunjungi pasar rakyat atau istilahnya “pasar basah” di negara yang dikunjungi itu. Di situlah memang denyut kehidupan rakyat suatu negara dapat terlihat jelas.

Kalau pusat-pusat perbelanjaan dalam bentuk gedung bertingkat dengan pendingin udara dan yang dijajakan adalah merk-merk terkenal dunia, maka di mana saja hampir sama. Datang ke kawasan Orchard Road di Singapura misalnya, isi pusat perbelanjaan hampir sama saja dengan di Plaza Senayan dan Grand Indonesia di Jakarta, sampai Summarecon Mall Serpongdi Tangerang Selatan. Tak ada yang beda. Kalau pun ada perbedaan, mungkin hanya dari bahasa yang digunakan pengunjung mall tersebut. Di Singapura didominasi oleh Bahasa Inggris, sedangkan di Indonesia didominasi oleh Bahasa Indonesia.

Tapi cobalah masuk ke “pasar basah” di berbagai negara. Keragaman penjual, cara berdagang, dan berbagai keunikan lain, akan dapat ditemui di situ. Termasuk produk-produk makanan lokal, baik yang masih bahan mentah maupun yang sudah matang, yang tentunya berbeda-beda di setiap negara.

Suasana saat Festival Pasar Rakyat di Bentara Budaya, akhir Desember 2016. (Foto: BDHS)
Suasana saat Festival Pasar Rakyat di Bentara Budaya, akhir Desember 2016. (Foto: BDHS)
Peringatan Seremonial

Ketika penyelenggaraan acara di Bentara Budaya akhir tahun lalu itu, digagas usulan untuk mengadakan Hari Pasar Rakyat Nasional. Garin Nugroho yang menjadi semacam “pembawa acara” di awal acara mengatakan, “Coba kita lihat, ada Hari Batik, maka batik jadi ramai dipakai orang, ada Hari Film, maka film nasional ramai dibicarakan”.

Itulah sebabnya diusulkan, perlu adanya pula Hari Pasar Rakyat Nasional. Persoalannya, seberapa pentingkah peringatan semacam itu? Kalau hanya untuk mencari hari peringatan seremonial, sehingga tiap tanggal Hari Pasar Rakyat Nasional dapat diadakan berbagai acara, rasanya belum cukup relevan.

Seyogyanya, upaya mempertahankan dan bahkan meningkatkan kualitas pasar rakyat, harus terus dilakukan dan tidak hanya digaungkan saat perayaan Hari Pasar Rakyat Nasional. Apalagi kalau bicara kata “hari pasar” dan “pasar rakyat”, konotasinya bisa bermacam-macam. Sampai saat ini, di banyak daerah masih ada yang disebut “hari pasar’, yang ditentukan secara mufakat. Misalnya ada yang memilih “hari pasar” pada Rabu dan Sabtu, ada juga yang memilih Senin dan Kamis. 

Bila nantinya Pemerintah menyetujui adanya Hari Pasar Rakyat Nasional, maka perlu diperjelas dulu apa maksud dan tujuannya. Jangan sampai rakyat kebanyakan – yang justru paling banyak berinteraksi dengan pasar rakyat – jadi bingung dengan pengertian “hari pasar” tersebut. Apalagi untuk masyarakat pedesaan yang masih memegang semangat “hari pasar” sesuai adat-istiadat setempat.

Begitu pula penyebutan “pasar rakyat” juga harus diperjelas, karena jangan sampai menimbulkan adanya anggapan ini “pasar rakyat” dan itu adalah “pasar non-rakyat” untuk menyebut supermarket dan sejenisnya. Suatu hal yang bila dibiarkan pertentangan itu, bisa menimbulkan “gesekan” yang berakibat kurang baik di kemudian hari.

Jadi tampaknya untuk menentukan “peresmian” Hari Pasar Rakyat Nasional harus melalui kajian yang lebih mendalam dan seksama. Jangan sampai niat baik untuk melestarikan dan meningkatkan kualitas pasar rakyat, menjadi kontraproduktif, apalagi bila hanya menjadi sekadar peringatan seremonial belaka.

Ayo ke pasar!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun