Izinkan Aku Menikahinya bercerita tentang dua pasangan di suatu tempat di Purbalingga. Mereka telah berpacaran sejak SMA, dan sang lelaki menjanjikan akan menikahi sang gadis bila kelak dia sudah berhasil merengkuh cita-citanya menjadi prajurit TNI. Namun sesuai peraturan, setiap prajurit TNI yang ingin menikah, harus meminta izin atasannya.
Apa daya, izin yang diminta ditolak. Dia tak boleh menikahi gadis pujaan hatinya. Pasalnya, sang gadis ternyata mempunyai orang tua/kakek yang terlibat G-30-S PKI, sejarah kelam bangsa Indonesia di tahun 1965. Suatu cerita yang konon diangkat dari kisah nyata seorang penduduk di sana. Bekas pasukan Cakrabirawa yang menjadi narapidana G-30-S PKI, mengalami kesulitan menikahkan anaknya dengan calon suami yang merupakan prajurit TNI.
Siapa sangka bahwa pelajar masakini yang sudah amat jauh dari peristiwa kelam 1965 itu, masih mau mencari data dan mem-film-kannya. Bahkan kabarnya, gara-gara membuat film itu, sampai ada tekanan terhadap pihak sekolah, sehingga para pelajar melakukan “gerilya” saat membuat film itu. Dan kata “gerilya” itu kemudian dibubuhkan menjadi nama pihak pembuat film, “GerilyaPakDirman Film”. Di akhir film, dituliskan pula ucapan terima kasih kepada para korban ’65.
Apa pun tak mengurangi kasih sayang Pak Djoyokardi yang bahkan ikut menyuapi Indah ketika makan. “Jadi anak yang baik ya, supaya nanti besar bisa berguna. Doakan bapak tidak meninggal dulu, supaya bapak bisa merawatmu sampai besar ya, nak,” begitu kata-kata Pak Djoyokardi sambil mengelus rambut Indah, yang membuat sebagian penonton meneteskan air mata mereka.
Sedangkan pemenang ketiga, Terminal, bercerita tentang kehidupan anak-anak jalanan di Terminal Mandalika di Lombok. Walau pun hidup dalam suasana yang “keras”, masih tetap ada kebaikan di hati mereka.
Dua karya lainnya, 2 Hari dan Kihung (Jalan Menikung), juga tak kalah menariknya. Film 2 Hari bercerita tentang ketakutan seorang remaja puteri yang pindah dari Jakarta ke Muara Enim untuk masuk sekolah di sana. Ternyata ketakutannya tidak beralasan, “kaya miskin itu sama, agama apa pun tidak dibeda-bedakan,” demikian kalimat pamungkas sang remaja puteri itu di akhir cerita mengisahkan tentang sekolah barunya.
Sedangan Kihung (Jalan Menikung ) adalah film dokumenter tentang suatu desa terpencil di Lampung yang anak-anaknya harus menempuh perjalanan cukup jauh untuk ke sekolah. Melewati jalan menikung yang menanjak dan menurun, serta harus pula melewati sungai yang jembatannya sudah rusak. Semangat anak-anak untuk mencari ilmu ditampilkan dengan bagusnya lewat film itu.
Benar-benar Berbeda
Seperti dikatakan Dewan Juri FFPI 2016, dalam festival kali ini memang tidak dibedakan. Boleh film fiksi, boleh film dokumenter. Tercatat di kategori SMA, ada 3 film fiksi, 1 semi dokumenter, dan 1 film dokumenter. Sedangkan di kategori mahasiswa, ada 4 film fiksi dan 1 film dokumenter. Menariknya, salah satu film fiksi yang masuk final kategori mahasiswa adalah film animasi.
Berjudul Different, film karya mahasiswa Universitas Bina Nusantara itu memang benar-benar different atau berbeda dibandingkan film-film lainnya. Penuh dengan perlambang, permainan warna abu-abu dan warna cerah, film itu mengisahkan hubungan antara lelaki dan wanita yang bisa terjalin kalau mau menembus berbagai halangan yang ada.