Gara-gara dengar berita Pasar Senen kebakaran, saya jadi meng-google dengan kata kunci “Pasar Senen”. Siapa sangka, saya justru menemukan tulisan-tulisan saya sendiri tentang Pasar Senen, sebuah pasar di bilangan Jakarta Pusat.
Salah satunya sudah saya muat pada Notes (Catatan-catatan) di akun Facebook saya. Judulnya adalah “Wikimu”, merujuk kepada wikimu.com, sebuah situs jurnalisme warga yang pernah cukup populer di Indonesia, namun kini telah tiada. Saya sempat menulis sekitar 700 tulisan di situs tersebut dalam kurun 2007 sampai 2013, sayangnya saya “malas” mendokumentasikan tulisan-tulisan saya, sehingga kini hampir-hampir tak ada satu pun dari 700 tulisan yang pernah saya buat itu, masih ada dalam dokumentasi saya.
Untung, seperti saya tuliskan dalam Notes tersebut, saya berhasil menemukan kembali beberapa di antaranya, yang di-copy paste oleh orang lain dan dimasukkan ke dalam blog atau situs web lain. Contohnya adalah tulisan berjudul “Kenangan di Pasar Senen” yang pernah dimuat di Wikimu pada Rabu, 26 Desember 2007 di Kanal Gaya Hidup.
Berikut ini, saya turunkan selengkapnya:
“Kenangan di Pasar Senen
Rabu, 26-12-2007 14:50:36 oleh: Berthold Sinaulan
Kanal: Gaya Hidup
Ini mungkin satu lagi contoh "kisah narsis" di Wikimu. Ya, gara-gara Mbak Mira Tj menulis "Jangan Sombong Kalau Masuk Pasar Senen" (http://www.wikimu.com/News/DisplayN...) , penulis jadi terkenang kembali dengan pengalaman-pengalaman penulis di kawasan pasar yang telah berusia ratusan tahun itu.
Pasar Senen memang telah ada sejak masa Hindia-Belanda. Setidaknya, ada dua pendapat mengenai penamaan pasar itu. Pertama, karena pada masa lalu pasar di sana memang hanya buka pada hari Senin (seperti juga Pasar Rebo yang buka di hari Rabu, Pasar Kamis buka di hari Kamis, Pasar Minggu di hari Minggu, dan sebagainya). Kedua, ada yang menganggap bahwa penamaan pasar itu berdasarkan nama tokoh yang kemungkinan besar juga menjadi tuan tanah pemilik kawasan itu.
Dalam tulisan saya "Mester, Mester, ..." yang dimuat di Wikimu pada 29 Maret 2007
(http://www.wikimu.com/News/Print.as...), penulis telah menyinggung sedikit mengenai seorang tokoh yang mempunyai tanah luas di kawasan yang saat ini dikenal dengan nama Jatinegara di Jakarta Timur. Pada masa Hindia-Belanda, Jatinegara disebut dengan Meester Cornelis.
Ini kutipan dari tulisan berjudul "Mester, Mester..." itu:
"Nama Meester Cornelis digunakan dengan merujuk kepada pemilik tanah di kawasan itu yang bernama Meester Cornelis Senen. Dia adalah seorang warga Pulau Lontar, Banda, yang dikirim ke Batavia (nama Jakarta saat itu) oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Jan Pieterzoon Coen pada tahun 1621. Pastor Adolf Heuken SJ menulis di dalam bukunya yang berjudul Gereja-gereja Tua di Jakarta (terbitan tahun 2003), bahwa Cornelis Senen adalah anak dari keluarga kaya di Pulau Lontar.
Di Batavia, Cornelis Senen menjadi seorang guru agama Kristen. Pada tahun 1635, Cornelis Senen membuka sekolah, memimpin doa, dan membaca khotbah dalam Bahasa Melayu. Selain mampu berbahasa daerahnya, Banda, dan Bahasa Melayu, Cornelis Senen, mempelajari juga Bahasa Portugis dan tentu saja Bahasa Belanda. Itulah sebabnya dia juga diberi kesempatan memimpin khotbah agama dalam Bahasa Portugis. Jabatannya sebagai guru (agama) itu yang membuat Cornelis Senen mendapat tambahan gelar Meester di depan namanya.
Setelah sepuluh tahun melayani umat Kristen berbahasa Melayu dan Portugis, maka dia diangkat menjadi proponent, calon pendeta. Saat akan menempuh ujian untuk menjadi seorang pendeta pada tahun 1657, dia ditolak oleh panitia ujian. Tak jelas sebabnya, namun bisa jadi karena Cornelis Senen adalah seorang bumiputera asli dan bukan bangsa Belanda.
Walaupun demikian, Meester Cornelis Senen masih diberikan hak istimewa untuk menebang pohon di tepi Kali Ciliwung yang letaknya sekitar 15 sampai 20 kilometer dari kota Batavia (kawasan Jakarta Kota saat ini). Di tempat itu, dia juga mempunyai sebuah tanah luas penuh pepohonan jati pada tahun 1661. Kayu dari pohon-pohon jati yang ditebang, dikirim ke kota dengan cara dihanyutkan lewat Kali Ciliwung. Kayu-kayu itu kemudian dipakai menjadi bahan untuk membangun rumah dan lainnya. Tanah luas penuh pepohonan jati itulah yang kemudian dikenal dengan Meester Cornelis dan karena pernah penuh dengan pohon-pohon jati, belakangan disebut pula Jatinegara."
Nah, ada yang menganggap bahwa Meester Cornelis Senen itu bukan hanya mempunyai tanah di kawasan Jatinegara sekarang, tetapi juga di kawasan yang kini dikenal dengan nama Senen di Jakarta Pusat.
Ah, entahlah. Namun yang pasti, penulis telah mengenal Pasar Senen itu sejak kecil. Dibandingkan dengan Suhu Tan atau mungkin juga Pak Mimbar, Ibu Nury dan Wikimuers lainnya yang telah lebih lama mengenal Jakarta, mungkin pengalaman yang telah penulis rasakan saat "bersinggungan" dengan pasar itu tak terlalu banyak.
Walaupun demikian, ada beberapa catatan penulis tentang pasar itu. Paling tidak di kawasan itulah, kalau tidak salah di Jalan Kenanga, penulis "berkenalan" dengan beragam produk peralatan olahraga, di samping toko-toko olahraga di Pasar Baru. Ada satu toko olahraga yang cukup terkenal di kalangan anak-anak dan remaja, yaitu "Siong Vo" (maaf, kalau salah penyebutannya). Toko itu terkenal dengan sepatu bolanya yang waktu itu belum banyak dijual di Jakarta.
Soal sepatu bola ini, penulis yang ketika SD sempat bergabung dengan klub sepakbola anak-anak "Putra Dewata" dan berlatih di lapangan sepakbola Manggarai, Jakarta Selatan, juga mempunyai pengalaman tersendiri. Suatu ketika, sepatu bola milik penulis ketinggalan di bangku sekolah di SD Kwitang III PSKD di Jalan Slamet Riyadi Raya, Jakarta Timur. Wah, padahal itu merupakan sepatu bola kesayangan penulis.
Semalaman penulis tak dapat tidur. Pagi-pagi sekali penulis berangkat ke sekolah, dan untunglah sepatu bola itu masih teronggok di bangku penulis. Pengalaman itu kemudian penulis kirimkan ke Harian Indonesia Raya yang kalau tidak salah dipimpin oleh wartawan senior Rosihan Anwar. Luar biasa, tulisan karya seorang siswa SD dimuat di harian ternama itu pada 1972 (ah, jadi ingin mencari tulisan itu, mungkin ada di koleksi Perpustakaan Nasional RI).
Kembali ke Pasar Senen, penulis semakin sering ke sana sewaktu duduk di bangku SMA di SMA III PSKD di Jalan Kwini I, Jakarta Pusat. Sekolah penulis persis bersebelahan dengan tempat tinggal penyanyi terkenal 1970-an Ade Manuhutu yang kemudian menjadi pendeta. Lagunya yang terkenal adalah Nona Anna, dan kami para siswa sering menirukan menyanyikannya. Baik di sekolah maupun saat pulang sekolah. Sepulang sekolah, penulis dan teman-teman yang pulangnya searah, menyeberang jalan dan menunggu bus kota di depan Pasar Senen, sambil bernyanyi, "Nona Anna, Nona Anna, engkau membuat semua pria...".
Waktu itu Mal Atrium Senen belum ada, dan Lapangan Banteng masih menjadi Terminal Bus Kota. Jadi kami para siswa, menunggu bus kota dari arah Lapangan Banteng yang melalui Pasar Senen dan menuju ke arah Matraman dan Jatinegara. Penulis sendiri akan turun di depan Apotik Djatinegara, lalu menyeberang menuju ke rumah di Jalan Slamet Riyadi IV.
Nah, ada kalanya sebelum pulang ke rumah, kami bermain-main dulu di Pasar Senen. Di sana ada toko Sincere Store, dan di toko itulah penulis membeli kamera Yashica, yang merupakan kamera foto pertama milik penulis, dengan uang tabungan yang penulis kumpulkan sedikit demi sedikit. Rasanya bangga, mempunyai kamera foto sendiri.
Sewaktu jatuh cinta, aha...!, penulis juga mengajak teman dekat wanita yang juga siswa SMA, ke Pasar Senenuntuk sekadar membelikan es shanghai atau makan mi bakso. Mungkin inilah yang namanya "cinta monyet", karena saat itu penulis memang sering membeli kacang goreng (bukankah monyet sering diasosiasikan makan kacang, he..he..he..).
Bagaimana dengan Wikimuers lainnya? Ada juga pengalaman di Pasar Senen?
Begitulah isi lengkapnya tulisan yang pernah dimuat di Wikimu tersebut. Sekadar tambahan catatan, setelah saya cek ulang, ternyata Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Rayabukanlah Rosihan Anwar seperti yang saya tulis di Wikimu, tetapi Mochtar Lubis. Apa pun itu, yang juga teringat adalah sewaktu masih Sekolah Dasar dan diajak orangtua ke Pasar Senen, di situ pun dijual suratkabar Harian Indonesia Raya.
Catatan tambahan, tulisan ini cukup unik – paling tidak dari pandangan saya sendiri – karena menggabungkan tiga tulisan dari tiga masa berbeda, tulisan di Wikimu yang ditulis pada 26 Desember 2007 dengan juga mengutip tulisan saya sebelumnya yang juga dimuat di Wikimu pada 29 Maret 2007, tulisan di Notes Facebook yang ditulis pada 2013, dan tulisan ini sekarang yang ditulis 19 Januari 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H