Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pasar Senen Riwayatmu Dulu

19 Januari 2017   15:54 Diperbarui: 19 Januari 2017   16:27 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini kutipan dari tulisan berjudul "Mester, Mester..." itu:

"Nama Meester Cornelis digunakan dengan merujuk kepada pemilik tanah di kawasan itu yang bernama Meester Cornelis Senen. Dia adalah seorang warga Pulau Lontar, Banda, yang dikirim ke Batavia (nama Jakarta saat itu) oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Jan Pieterzoon Coen pada tahun 1621.  Pastor Adolf Heuken SJ menulis di dalam bukunya yang berjudul Gereja-gereja Tua di Jakarta (terbitan tahun 2003), bahwa Cornelis Senen adalah anak dari keluarga kaya di Pulau Lontar.

Di Batavia, Cornelis Senen menjadi seorang guru agama Kristen. Pada tahun 1635, Cornelis Senen membuka sekolah, memimpin doa, dan membaca khotbah dalam Bahasa Melayu. Selain mampu berbahasa daerahnya, Banda, dan Bahasa Melayu, Cornelis Senen, mempelajari juga Bahasa Portugis dan tentu saja Bahasa Belanda. Itulah sebabnya dia juga diberi kesempatan memimpin khotbah agama dalam Bahasa Portugis. Jabatannya sebagai guru (agama) itu yang membuat Cornelis Senen mendapat tambahan gelar Meester di depan namanya.

Setelah sepuluh tahun melayani umat Kristen berbahasa Melayu dan Portugis, maka dia diangkat menjadi proponent, calon pendeta. Saat akan menempuh ujian untuk menjadi seorang pendeta pada tahun 1657, dia ditolak oleh panitia ujian. Tak jelas sebabnya, namun bisa jadi karena Cornelis Senen adalah seorang bumiputera asli dan bukan bangsa Belanda.

Walaupun demikian, Meester Cornelis Senen masih diberikan hak istimewa untuk menebang pohon di tepi Kali Ciliwung yang letaknya sekitar 15 sampai 20 kilometer dari kota Batavia (kawasan Jakarta Kota saat ini). Di tempat itu, dia juga mempunyai sebuah tanah luas penuh pepohonan jati pada tahun 1661. Kayu dari pohon-pohon jati yang ditebang, dikirim ke kota dengan cara dihanyutkan lewat Kali Ciliwung. Kayu-kayu itu kemudian dipakai menjadi bahan untuk membangun rumah dan lainnya. Tanah luas penuh pepohonan jati itulah yang kemudian dikenal dengan Meester Cornelis dan karena pernah penuh dengan pohon-pohon jati, belakangan disebut pula Jatinegara."

Nah, ada yang menganggap bahwa Meester Cornelis Senen itu bukan hanya mempunyai tanah di kawasan Jatinegara sekarang, tetapi juga di kawasan yang kini dikenal dengan nama Senen di Jakarta Pusat.

Ah, entahlah. Namun yang pasti, penulis telah mengenal Pasar Senen itu sejak kecil. Dibandingkan dengan Suhu Tan atau mungkin juga Pak Mimbar, Ibu Nury dan Wikimuers lainnya yang telah lebih lama mengenal Jakarta, mungkin pengalaman yang telah penulis rasakan saat "bersinggungan" dengan pasar itu tak terlalu banyak.

Walaupun demikian, ada beberapa catatan penulis tentang pasar itu. Paling tidak di kawasan itulah, kalau tidak salah di Jalan Kenanga, penulis "berkenalan" dengan beragam produk peralatan olahraga, di samping toko-toko olahraga di Pasar Baru. Ada satu toko olahraga yang cukup terkenal di kalangan anak-anak dan remaja, yaitu "Siong Vo" (maaf, kalau salah penyebutannya). Toko itu terkenal dengan sepatu bolanya yang waktu itu belum banyak dijual di Jakarta.

Soal sepatu bola ini, penulis yang ketika SD sempat bergabung dengan klub sepakbola anak-anak "Putra Dewata" dan berlatih di lapangan sepakbola Manggarai, Jakarta Selatan, juga mempunyai pengalaman tersendiri. Suatu ketika, sepatu bola milik penulis ketinggalan di bangku sekolah di SD Kwitang III PSKD di Jalan Slamet Riyadi Raya, Jakarta Timur. Wah, padahal itu merupakan sepatu bola kesayangan penulis.

Semalaman penulis tak dapat tidur. Pagi-pagi sekali penulis berangkat ke sekolah, dan untunglah sepatu bola itu masih teronggok di bangku penulis. Pengalaman itu kemudian penulis kirimkan ke Harian Indonesia Raya yang kalau tidak salah dipimpin oleh wartawan senior Rosihan Anwar. Luar biasa, tulisan karya seorang siswa SD dimuat di harian ternama itu pada 1972 (ah, jadi ingin mencari tulisan itu, mungkin ada di koleksi Perpustakaan Nasional RI).

Kembali ke Pasar Senen, penulis semakin sering ke sana sewaktu duduk di bangku SMA di SMA III PSKD di Jalan Kwini I, Jakarta Pusat. Sekolah penulis persis bersebelahan dengan tempat tinggal penyanyi terkenal 1970-an Ade Manuhutu yang kemudian menjadi pendeta. Lagunya yang terkenal adalah Nona Anna, dan kami para siswa sering menirukan menyanyikannya. Baik di sekolah maupun saat pulang sekolah. Sepulang sekolah, penulis dan teman-teman yang pulangnya searah, menyeberang jalan dan menunggu bus kota di depan Pasar Senen, sambil bernyanyi, "Nona Anna, Nona Anna, engkau membuat semua pria...".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun