Satu lagi tokoh pers Indonesia mendahului kita. Beliau adalah Subagyo Priyosudjono yang lebih dikenal dengan nama yang tercantum dalam jajaran redaksi sebagai Subagyo Pr. Di antara rekan-rekan wartawan, termasuk saya yang masih junior ketika beliau sudah berkiprah sebagai wartawan senior dan menjabat Pemimpin Redaksi Harian Umum Sinar Harapan, memanggilnya dengan Pak Bagyo.
Dilahirkan di Mojowarno, Jombang, Jawa Timur, pada 30 April 1930, Pak Bagyo tutup usia pada Selasa, 6 Desember 2016 di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Beliau sempat dirawat di rumah sakit itu karena penyakit dan usia tuanya. Pernikahannya dengan istri tercinta, Ibu Ami Purnomowati yang pernah mengajar di sekolah taman kanak-kanak, menghasilkan empat puteri, dan sekarang ditambah dengan enam orang cucu.
Setelah lulus sekolah menengah, Pak Bagyo datang ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Teologia (STT). Hal itu dilakukannya karena ia ingin melanjutkan pekerjaan ayahnya sebagai seorang pendeta. Namun rupanya ketertarikannya pada dunia pers, membuat Pak Bagyo hanya bertahan dua tahun di STT.
Pak Bagyo kemudian bekerja sebagai karyawan di Radio Republik Indonesia (RRI). Ketika Sinar Harapan didirikan pada 27 April 1961 sebagai harian sore nasional di Jakarta, Pak Bagyo ikut bergabung. Hanya berselang beberapa bulan, Pak Bagyo diangkat menjadi anggota dewan redaksi. Bisa dibilang Pak Bagyo termasuk orang yang ikut membesarkan Sinar Harapan.
Tiga tahun kemudian, tepatnya 30 Mei 1964, Pak Bagyo diangkat menjadi Wakil II Pemimpin Redaksi. Selanjutnya, kariernya meningkat dan pada 1969, Pak Bagyo dipercaya memimpin suratkabar sore itu sebagai penanggung jawab dan sekaligus Pemimpin Redaksi. Suatu jabatan yang dipegangnya terus-menerus sampai akhirnya Sinar Harapan harus “menyerah” dibreidel Pemerintah Orde Baru pada Oktober 1986.
Dicabut izinnya
Departemen Penerangan RI melalui Menteri Harmoko mencabut izin terbit surat kabar sore itu, karena akumulasi kritik-kritik keras yang disampaikan dalam berbagai berita harian tersebut. Pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, Sinar Harapan memang merupakan salah satu surat kabar terpandang di Indonesia. Bersama Harian Umum Kompas yang terbit setiap pagi, maka masyarakat pembaca surat kabar disuguhi kelengkapan berita itu dengan hadirnya Sinar Harapan di sore hari.
Kabarnya, Presiden Soeharto marah dengan isi berita Sinar Harapan, sehingga izin terbit pun dicabut. Pihak PT Sinar Kasih yang menerbitkan Sinar Harapan mencoba me-lobby Pemerintah. Bahkan konon kabarnya, Radius Prawiro yang merupakan salah satu menteri pada masa Orde Baru ikut membantu upaya untuk menerbitkan kembali Sinar Harapan. Tetapi Harmoko tetap pada keputusannya. Izin terbit Sinar Harapan tidak diberikan kembali. “Als is voorbij,” kata Harmoko dalam Bahasa Belanda, yang artinya kira-kira “semua sudah berlalu”.
Satu-satunya cara agar wartawan dan karyawan PT Sinar Kasih dapat bekerja kembali adalah dengan menerbitkan harian baru, dengan nama surat kabar yang baru, dan perusahaan yang mengelolanya juga harus baru. Satu lagi, pimpinan-pimpinan lama harian itu tidak boleh menjabat lagi sebagai pimpinan. Begitulah persyaratan yang diberikan pemerintah kala itu.
Pak Bagyo bersama Pak HG Rorimpandey yang menjadi pemimpin umum harian itu, menunjukkan jiwa besar mereka. Bagi mereka, lebih baik mereka mundur, tetapi wartawan dan karyawan keseluruhan selamat. Maka, akhirnya wartawan dan karyawan PT Sinar Kasih dipindahkan menjadi karyawan PT Media Interaksi Utama, dan surat kabar sore baru dapat terbit lagi, dengan nama Suara Pembaruan.
Walaupun sudah berhenti dalam aktivitasnya sebagai pemimpin redaksi, Pak Bagyo masih terus memberikan kontribusi pada dunia pers Indonesia. Beliau terus menjadi pemerhati dan pengamat pada perkembangan pers Indonesia sampai tutup usia.
Memperhatikan Pramuka
Sebagai seorang yang aktif di Gerakan Pramuka sejak 1968, ada lagi catatan pribadi saya terhadap sosok Pak Bagyo. Beliau ternyata amat memperhatikan perkembangan Gerakan Pramuka, sebagai organisasi pendidikan nonformal yang melengkapi pendidikan informal di rumah dan masyarakat, serta pendidikan formal di sekolah.
Saat itu, saya baru saja pindah Gudep dari Gudep lama di Gudep 103 Jakarta Timur ke Gudep yang berpangkalan di PSKD tersebut. Alasannya, letak Gudep PSKD itu yang lebih dekat rumah, cukup berjalan kaki tak sampai lima menit dari rumah orangtua saya ke Gudep. Alasan lainnya, karena saya pernah menyelesaikan SD di SD Kwitang III PSKD itu.
Ketika baru berdiri, Gudep itu diberi nama Gudep Persiapan PSKD Jakarta Timur. Pak Bagyo yang anak-anaknya sekolah di SD tersebut, terpilih sebagai Ketua Majelis Pembimbing Gugus Depan (Mabigus). Setelah berdiri, Pak Bagyo juga yang terus-menerus membantu perkembangan Gudep tersebut, sehingga akhirnya pada 10 Februari 1975, Gudep Persiapan PSKD Jakarta Timur diresmikan menjadi Gudep 1131-1132 Jakarta Timur.
Ketika saya masuk dan menjadi wartawan Sinar Harapan, serta menulis berita dan features kepramukaan, Pak Bagyo ternyata membaca dengan teliti tulisan-tulisan saya yang telah disunting oleh redaktur dan dimuat di surat kabar sore itu. Salah satu kalimat yang saya ingat adalah, “Pramuka harus lebih banyak kegiatan di alam terbuka, ajak anak-anak mengenal kehidupan di alam bebas, melihat pemandangan dan menikmati keagungan ciptaan Tuhan”.
Belakangan, Pak Bagyo juga menjadi Ketua Dewan Juri Lomba Menulis Kepramukaan bagi Wartawan. Seingat saya, atas jasa-jasa beliau, pada Hari Pramuka 14 Agustus 1995 di Bumi Perkemahan Pramuka Wiladatika Cibubur, Jakarta Timur, Pak Bagyo mendapatkan penghargaan berupa Lencana Darma Bakti yang disematkan langsung oleh Presiden Soeharto.
Disuruh Pulang
Satu lagi yang masih saya ingat adalah sikapnya pada saya sebagai wartawan baru. Tahu status saya sebagai mahasiwa tingkat akhir Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dia sering menanyakan kapan saya menyelesaikan skripsi. Hal itu beberapa kali ditanyakannya, sampai pada Oktober 1985, saya dipanggil ke ruang kerja beliau.
Pak Bagyo kembali menanyakan apakah skripsi saya sudah selesai. Terus terang karena sudah mulai bekerja dan ternyata pekerjaan wartawan lumayan sibuk bahkan kadang sampai malam hari, penyelesaian skripsi saya masih tertunda juga.
Akhirnya Pak Bagyo mengambil keputusan, saya disuruh pulang dan menyelesaikan skripsi saya. “Kalau belum selesai, jangan masuk,” tegasnya.
Saya terperangah, tetapi mengikuti sarannya. Untungnya, selama tidak masuk pun, pihak perusahaan tetap menggaji saya. Hampir dua bulan saya mengebut menyelesaikan skripsi, sehingga tepat pada akhir tahun, yaitu pada 31 Desember 1985, saya berhasil lulus ujian dengan skripsi saya yang berjudul “Nagarakrtagama Sebuah Tinjauan Jurnalistik”.
Tak pelak dalam kata pengantar skripsi saya, ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada Bapak Subagyo Pr., Pemimpin Redaksi Harian Sinar Harapan, yang terus mendorong penyelesaian kuliah saya. Kini, Pak Bagyo telah pergi. Namun kenangan pada beliau tak bakal hilang. Selamat jalan Pak Bagyo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H