Walaupun sudah berhenti dalam aktivitasnya sebagai pemimpin redaksi, Pak Bagyo masih terus memberikan kontribusi pada dunia pers Indonesia. Beliau terus menjadi pemerhati dan pengamat pada perkembangan pers Indonesia sampai tutup usia.
Memperhatikan Pramuka
Sebagai seorang yang aktif di Gerakan Pramuka sejak 1968, ada lagi catatan pribadi saya terhadap sosok Pak Bagyo. Beliau ternyata amat memperhatikan perkembangan Gerakan Pramuka, sebagai organisasi pendidikan nonformal yang melengkapi pendidikan informal di rumah dan masyarakat, serta pendidikan formal di sekolah.
Saat itu, saya baru saja pindah Gudep dari Gudep lama di Gudep 103 Jakarta Timur ke Gudep yang berpangkalan di PSKD tersebut. Alasannya, letak Gudep PSKD itu yang lebih dekat rumah, cukup berjalan kaki tak sampai lima menit dari rumah orangtua saya ke Gudep. Alasan lainnya, karena saya pernah menyelesaikan SD di SD Kwitang III PSKD itu.
Ketika baru berdiri, Gudep itu diberi nama Gudep Persiapan PSKD Jakarta Timur. Pak Bagyo yang anak-anaknya sekolah di SD tersebut, terpilih sebagai Ketua Majelis Pembimbing Gugus Depan (Mabigus). Setelah berdiri, Pak Bagyo juga yang terus-menerus membantu perkembangan Gudep tersebut, sehingga akhirnya pada 10 Februari 1975, Gudep Persiapan PSKD Jakarta Timur diresmikan menjadi Gudep 1131-1132 Jakarta Timur.
Ketika saya masuk dan menjadi wartawan Sinar Harapan, serta menulis berita dan features kepramukaan, Pak Bagyo ternyata membaca dengan teliti tulisan-tulisan saya yang telah disunting oleh redaktur dan dimuat di surat kabar sore itu. Salah satu kalimat yang saya ingat adalah, “Pramuka harus lebih banyak kegiatan di alam terbuka, ajak anak-anak mengenal kehidupan di alam bebas, melihat pemandangan dan menikmati keagungan ciptaan Tuhan”.
Belakangan, Pak Bagyo juga menjadi Ketua Dewan Juri Lomba Menulis Kepramukaan bagi Wartawan. Seingat saya, atas jasa-jasa beliau, pada Hari Pramuka 14 Agustus 1995 di Bumi Perkemahan Pramuka Wiladatika Cibubur, Jakarta Timur, Pak Bagyo mendapatkan penghargaan berupa Lencana Darma Bakti yang disematkan langsung oleh Presiden Soeharto.
Disuruh Pulang
Satu lagi yang masih saya ingat adalah sikapnya pada saya sebagai wartawan baru. Tahu status saya sebagai mahasiwa tingkat akhir Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dia sering menanyakan kapan saya menyelesaikan skripsi. Hal itu beberapa kali ditanyakannya, sampai pada Oktober 1985, saya dipanggil ke ruang kerja beliau.
Pak Bagyo kembali menanyakan apakah skripsi saya sudah selesai. Terus terang karena sudah mulai bekerja dan ternyata pekerjaan wartawan lumayan sibuk bahkan kadang sampai malam hari, penyelesaian skripsi saya masih tertunda juga.